Beberapa menit yang lalu akhirnya, mobil telah melewati bundaran wolvercote. Monkey bernafas lega, sedangkan wanita remaja itu agak terpekik. Namun sialnya mobil itu harus terhenti dari keramaian.
“Hey, pak tua! Tidak adakah jalur alternatif—dari Bundaran Peartree?”
Monkey kembali konsentrasinya pada lembaran kertas yang ia pegang tadi, tasnya yang mengangkut barang milik Nona Edelyn juga diamankan di sambingnya. Namun ia tidak bisa mengabaikan wanita yang agak bocah itu.
“Ah, saya kira tidak. Tapi jalur ini seharusnya membawa kita lewat tol.”
Wanita itu semakin terperanjat tanpa sepatah kata.
“He—hey bagaimana kalau tarif—”
Monkey menyela sambil melipat kertas tersebut kembali tidur dalam sakunya.
“Tidak perlu cemas. Saya yang akan membayar bensin anda, tol dan makanan. Bahkan sesuatu yang anda paling bingungkan saat ini.” jelasnya dengan tenang.
Wanita itu sempat mengangkat mulutnya namun tidak dilakukan.
Mobil semakin melaju kencang seiring dengan waktu yang berjalan. Wanita itu tidak gusar lagi sehingga melewati bundaran pearltree mobil dengan kecepatan konstan melaju ke jalur A34 dengan tenang.
“Anda sendiri tinggal di mana?”
“Market street Cambridge.”
Wanita itu mengangguk, sementara kecepatan mobil sedan hitam yang ditumpangi Monkey menyalip mobil warna warna abu – abu.
“Anda punya SIM?”
Tanpa menjawab tangannya menunjukkan surat izin yang diambil dari laci sopir.
Suasana menjadi sangat tenang dan nyaman, jalur A34 memang sangat panjang dan amatlah lurus.
“Anda hidup sendiri?”
“Dengan ibu. Leukimia membunuhnya meninggal setahun yang lalu. Menyisakan mobil ini.” kata wanita itu yang sesaat memandang dengan agak sedih.
“Saya mengerti,” tambahnya sambil mengangguk. “Rasanya pasti sulit. Kadang – kadang tetangga ikut turun tangan, tapi dalam diri seperti rasa sungkan, tidak berguna dan lain – lain.”
Rem diinjaknya dengan lembut, daripada menyalip lebih baik mengalah pada truk bertanda mudah terbakar yang melaju cukup kencang. Pohon – pohon dan rumput – rumput berlarian ke arah yang berlawanan dengan cepat dari pemandangan kaca mobil.
“Begitulah, pada awalnya kepala rasanya seperti di tusuk tapi tidak menyakitkan,” jelasnya sambil menginjak gas. “Seperti kosong, linglung, tak tahu harus melakukan apa. Anda juga begitu?”
Angguk Monkey.
“Leukimia, huh? Harga obatnya tidak main – main.”
“Aku sulit mengingat nama obatnya, tapi dari penampilannya itu adalah pil hijau gelap yang bisa dibuka untuk diambil isinya. Kami wajib membeli 1 kaplet. Per tabletnya kira – kira empat puluh pounds.” Katanya sambil menggeleng – geleng.
“Bila itu sepuluh, anda sudah menghabiskan sekitar empat ratus pounds, angka yang besar!” tambahnya. “Belum juga dihitung kebutuhan yang lain.”
Jari telunjuk wanita itu digerak – gerakan.
“Oh tentu tidak. Masih ada yang lain seperti peredam nyeri atau vitamin. Terus terang saat itu makanan hanya mengandalkan dari tetangga.”
Dari kaca depan sudah tampak persimpangan bundaran wendlebury yang menandakan ujung dari jalan A34. Namun mereka mengambil jalur ke kiri melanjutkan rute M40. Kurang lebih 30 menit karena beberapa kemacetan yang seharusnya bisa ditempuh pada waktu 17 menit. Dari rute ini Monkey terlelap, wanita itu sempat melirik dari spion tengah.
“Kakek yang aneh.” Gumamnya.
Suasana hampir sama dari rute sebelumnya, lurus mengikuti arah, tenang dan damai. Setidaknya sopir tidak berpikir macam – macam lagi setelah penumpangnya memastikan beberapa keadaan. Melewati rumah klub perahu Universitas Warwick, tampak juga jalur sepeda di dekat bukit – bukit. Mata wanita itu tampak lebih bersemangat saat melewati Longbridge island, bundaran yang pemandangannya cukup bagus, setidaknya tidak monoton. Waktu sudah agak lama dihabiskan melewati bermacam – macam persimpangan yang menghubungkan jalan lain. Saat mobil tidak lagi mengalami rute yang lurus. Jalur ke kiri harus diambilnya, sehingga rute saat ini menjadi M42. Masih jauh dari tempat tujuan.
Beberapa waktu berlalu, si sopir wanita menengok ke belakang.
“Ini seharusnya bukan salahku.” Gumamnya.
Ekspresinya ragu – ragu saat hendak membangunkan pria tua yang terlelap. Namun karena beberapa kata yang tadi dilontarkan, pikirannya adalah kesepakatan. Artinya mau tidak mau, tetap harus sepakat.
“Kek, bangun!”
Tangannya kirinya menjawil.
Tanpa memerlukan waktu yang lama, pria itu terbangun. Tidak hanya dengan jawilan barusan, tapi pikirannya secara matang ditanamkan alarm. Alarm kewaspadaan.
“Ah, sudah empat setengah jam. Sudah dekat.”
“Belum! Kita akan masuk tol M6. Anda tahu maksudnya, benar?”
Diambilnya sapu tangan untuk diusapkan mukanya, matanya berkedip dengan cepat. Setelah menguap, diambilnya uang dalam sakunya delapan pounds lalu diserahkan pada wanita itu.
“Kalau tadi ingin mampir di mini market, anda bisa bangunkan saya lebih awal.”
“Pasti nanti saya tagih, anda tak perlu khawatir!” balasnya mengejek.
Sementara keadaannya masih agak mengantuk, Monkey menguap lagi.
Mobil mengantri tepat pada barisan ke empat setelah mobil sport abu – abu.
“Semenjak daritadi mengobrol, saya belum mengenal wanita tomboy seperti anda.”
Wanita itu menoleh sesaat, lalu pandangannya kembali ke arah depan. Mobilnya sekarang berada pada barisan ke tiga.
Ia masih diam saja, sementara gasnya diinjak perlahan. Monkey mengambil ponsel pada sakunya.
“Honey.” kata wanita cab itu tiba - tiba.
ns3.12.165.112da2