“Anda harus tenang. Bekerja akan tidak akan produktif bila anda kelelahan. Lagipula anda harus bersyukur masih diberi kepercayaan dan memegang anak buah.” Kata Monkey
“Anda benar juga.”
Inspektur itu yang awalnya terlihat frustasi, sekarang terlihat lebih tenang. Monkey menyadari itu.
“Ngomong – ngomong soal wanita itu?”
Mereka berhenti dekat pintu lantai dasar.
“Ah itu pembantu muda. Wajahnya kalem agak bodoh, matanya agak polos. Rambutnya hitam sebahu.”
“Oh, Nona Dana.”
“Wanita jaman sekarang sangat tajam. Tapi saya hanya merasa tak cocok bila ia pembantu.”
“Mengapa begitu?”
“Anda ingat saat saya melihat gaun yang wanita itu buat? Saya kadang membayangkan wanita ketika memakai gaun tersebut. Contohnya istriku.”
“Dan menurut anda?”
Ia menoleh kenan dan kiri, lalu arah belakang.
“Tidak cocok. Tapi wanita itu berbeda,” tambahnya saat membuka pintu. “Jangan bilang pada istriku, tolong.”
“Ah, tentu saja.” Monkey tersenyum.
Mengingat waktu sudah agak malam, seorang Inspektur wajahnya muram bercampur bingung sebenarnya masih bersihkukuh ingin mencari petunjuk. Jauh dalam hatinya malam ini seharusnya menjadi yang terakhir bagi pelaku. Tapi mengingat pekerjaannya bersama tim dan anak buah, pria itu tidak bisa mementingkan egonya. Lagipula tim forensik sudah bekerja sangat baik, begitu pula rekan – rekannya.
Sementara Monkey yang berkali – kali otaknya disentuh dengan iseng. Kini ia mengetahui tebing yang besar itu sudah dipanjatnya sekitar delapan puluh persen. Semakin tinggi tebingnya, maka semakin menakutkan melihat ke bawah. Tinggal mencari batu tertentu yang kuat dan tidak rapuh. Dalam benaknya ia sudah mempunyai setidaknya gambaran dan persiapan, namun satu hal yang disadari bahwa kemajuannya sangat lambat.
Ia sesaat mengambil sebuah foto dari sakunya.
“Ini hanyalah masalah waktu, Nona Desdemona.” Gumamnya dengan tenang sambil memandang sesuatu yang dibawanya dengan tajam.
Nafasnya agak lebih berat dari biasanya, temponya lebih panjang. Foto itu dikembalikan lagi pada sakunya, ia berjalan dengan menatap ke depan. Keringat di dahinya yang terhenti seperti ketakutan. Mata merahnya tenang namun terlihat seakan – akan lebih menyala. Ekspresinya seolah – olah tidak akan pernah memberi ampun.
Status kasus ini pasti dengan keyakinan penuhnya diselesaikan dengan tepat dan cermat. Semakin banyak korban bertambah, semakin kuat keinginannya membuka kedok si pelaku. Namun hasratnya masih lebih kecil dibandingkan objektif, sehingga cara kedua itu tidak akan dilakukannya.
Seperti yang ia sadari, daripada menarik ujungnya dengan paksa ia lebih memilih hati – hati. Daripada pintar ia lebih memlih cerdik. Dan daripada moral, ego lebih mendominasi. Ini hanya mengenai ujian. Tapi karena ujian itu ada bagi detektif, maka itu ada juga bagi pelaku. Semua objektif sudah tertulis di dalam otaknya, bahkan ia tahu kebenaran itu sudah sejengkal. Sisanya adalah mengganggu sarang lebah. Apakah mereka berusaha melawan? Atau menyerahkan madu dengan rela?
***
ns3.12.165.112da2