“Empat nyawa yang terambil tidak dibayar lunas,” tambahnya. “Dari kata ‘yang terambil’ maksudnya adalah yang diambil. Tidak termasuk Nona Edelyn.”
“Eh?”
“Dengan begitu kita akan mengacu pada kasus yang telah lama. Anda pasti sangat ingat, seseorang mati tersetrum dengan hairdryernya, sangat mengenaskan.”
“Tante Roslyn!”
Kata wanita itu spontan lalu dengan cepat menutup mulutnya.
Pandangan semua orang tertuju padanya yang wajahnya dipenuhi kepanikan dan keraguan.
“Tante?” Tanya Steve yang berada di sebelahnya.
Monkey mengambil surat tersebut. Ia membaca seluruh isinya hingga tuntas. Semua orang tertuju pada inisial yang baru saja dibacakan.
Ia berjalan mendekat.
“Ini bukan hal baru bagi saya, namun… tidak bagi semua orang. E. E. adalah Ebony Edinburgh. Anak dari Bibi Kathryn.” Kata Monkey tanpa ragu sedikitpun.
“Eh? Bagaimana anda bisa begitu yakin?”
“Pengalaman adalah pelajaran yang paling baik. Namun lebih baik lagi adalah pengalaman orang lain…”
Monkey menceritakan rincinya.
“Baik tapi mungkin saja itu kebetulan?”
Pria itu dengan cepat melempar buku hitamnya pada wanita itu. Kemudian ia berlari membawa sebuah pisau yang hendak menikamnya. Suasana menjadi agak kacau saat orang – orang berteriak.
Seketika pisau itu ditangkisnya. Dengan bantuan tangan kirinya yang telah mengambil buku hitam itu dan melemparnya balik. Namun saat pisau itu jatuh tidak menimbulkan suara logam. Roman muka yang dibuat bukanlah kemenangan karena selamat dari serangan yang tiba – tiba, malah menjadi semakin yakin.
Wanita itu menangis. Ia semakin pasrah.
“Maaf, saya memang bersalah sudah sepantasnya saya tidak merahasiakan ini.”
Monkey pun berbalik dan mengambil jubah hitam, sementara Nyonya Dornicle dipersilahkan duduk. Suasana berubah drastis diliputi kebingungan, bersamaan dengan wanita yang baru saja identitasnya terungkap. Terutama Tuan Periwinkle yang terlihat kurang setujut pada awalnya. Namun setelah melihat pertahanan kidalnya, ia semakin yakin.
Monkey menarik lengan wanita itu dengan ramah, lalu hendak menaruh jubah hitam itu. Namun ia terhenti.
“Anda bisa duduk.”
“Makudnya?”
“Saya yakin anda punya alasan sendiri.” Tutur Monkey lemah lembut pada wanita yang barusan terpojok itu.
Kemudian ia berbalik mendekati papan putih itu lagi, dihapusnya seluruh nama, begitu pula coretan – coretannya hingga kembali putih bersih seperti sedia kala. Lalu ia mulai menuliskan lagi nama – nama korban. Sementara itu jubah hitam tersebut ditaruhnya di bawah, Nyonya Lorraine yang meninggalkan seribu pertanyaan, kembali duduk.
“Kita kesampingkan hal itu, mari kita lanjutkan.”
Seseorang mengacungkan tangan.
“Ya, Nona Lilia?”
“Lanjutkan? Bukannya kata anda barusan Edelyn adalah dalang dibalik semua ini?”
“Tidak, tidak, tidak, Nona Lilia. Begitulah tampaknya. Bagaimanapun juga saya tidak akan pernah membiarkan pelaku seenaknya. Hari ini adalah hari terakhir baginya. Untuk mewujudkan itu saya harus membuat anda semua setuju dan memahami apa yang sebenarnya terjadi,” tambahnya mendekati Nona Chrome. “Saya hampir lupa, setelah insiden yang menimpa Nona Edelyn, saya menyadari karakteristik terakhirnya, sangat dekat.”
Monkey mulai menggerakan lagi spidolnya.
“Sebenarnya sejak awal kami menduga, mencari motif dan bukti dari orang ini sangatlah sulit. Apalagi tidak satu atau dua, melainkan semua orang di rumah ini hampir punya tuduhan. Karena itu salah satu caranya adalah menganalis karakter pelaku yang ternyata itu sangatlah efektif, tentu saja tidak akan salah. Semua karakteristik tersebut harus ada, tidak memenuhi syarat salah satunya maka sudah pasti bukan,” ia mengetok spidolnya pada tiap poin tulisan di papan. “Setiap nama akan dicocokan dengan sifatnya, anda semua hanya perlu setuju atau tidak. Ingat… satu saja ketidakcocokan maka kita harus setuju bahwa orang tersebut adalah bukan pelakunya.”
Setiap orang memperhatikan dengan penuh kesadaran.
Monkey menulis sebuah nama tepat di bagian atas tengah papan, sementara empat tulisan yang berisi poin – poin itu berada agak bawah.
“Saya mulai dari Nyonya Dornicle. Apakah anda setuju kalau beliau orang yang cerdik?”
Setiap orang menanyakan satu sama lain. Beberapa lainnya mengangguk ringan.
Ia mencentang poin pertama.
“Well, setelah ia tertangkap. Kalaupun tidak, maka sudah dipastikan orang yang cerdik. Lalu bagaimana dengan poin kedua?”
Semua orang masih merasakan hal yang sama.
Ia mencentang poin kedua. Begitu pula poin yang ketiga setelah ternyata setiap orang tidak satupun menyanggah.
“Baik, bagaimana dengan poin keempat?”
Nyonya Lorraine spontan menjawab.
“Saya keberatan. Beliau bukan orang dekat.”
ns3.22.79.2da2