“Selain suamiku yang bodoh itu. Well, kira – kira saya bisa bilang lumayan beresiko. Selain gulma, saya juga khawatir dengan hama. Sementara pestisida harganya cukup tidak masuk akal, bahkan beberapa bunga bisa kena dampaknya di saat panen. Selain itu kami sangat bergantung pada musim.”
“Ah iya juga musim dingin pastinya cukup merepotkan.”
“Musim dingin? Tidak juga. Malah penjualan agak ramai – ramainya pada musim itu. Anda tahu, kan? Banyak perayaan pada musim – musim itu.”
Monkey secara spontan mengangguk setuju. Sesuatu mengetuk akalnya.
“Benar juga. Saya pikir mereka hanya pada musim semi hingga gugur saja.”
Wadah plastik itu sudah agak penuh.
“Dan yang terpenting karena cuaca dingin, mereka cenderung membeli daripada menanam sendiri. Lagipula berdiam diri di dekat perapian sambil minum coklat panas sangat sering dilakukan. Dari sana rejeki saya mengalir.”
“Tapi memangnya apa saja yang anda jual saat musim dingin?”
“Bermacam – macam. Rekomendasi saya sih bunga snapdragon. Bila seseorang itu maunya yang warna – warni yang indah seperti pernak pernik pansy mungkin cocok, atau yang lebih kuat seperti aster. Ada juga orang yang suka bunganya, camelia mungkin bagus, atau sweet pea bila mereka menjaga hewan peliharaannya dengan baik?”
“Mengapa harus menjaga?”
“Sweet pea beracun bagi hewan – hewan seperti itu. Mungkin bisa ditolerir oleh manusia, walaupun saya belum pernah mencoba. Lagipula orang bodoh mana yang mau mencoba sesuatu yang jelas – jelas dikatakan beracun?”
Mereka kemudian membawa wadah – wadah plastik yang penuh itu untuk ditaruh pada pojokkan dekat pagar.
“Memang kadang – kadang seseorang perlu percaya sesuatu hal yang sudah disepakati benar, tanpa mencobanya terlebih dahulu,” tambahnya. “Tapi bukannya seharusnya anda menghindari tanaman yang berbahaya itu?”
“Saat itu bisnis sedang bagus – bagusnya. Tentu saja saya tidak menanam bila tidak dipesan, apalagi tanaman beracun. Yang saya tanam haruslah tanpa resiko apapun,” tambahnya sambil mengangguk. “Hey tapi yang anda katakan juga ada benarnya.”
“Maksudnya?”
Langkah mereka berhenti.
“Benar, ada yang sepenuhnya saya hindari.”
“Ada? Apa itu?” Tanya Monkey kembali dengan heran.
“Bunga Poppy.”
Pembicaraan itu terus berlangsung hingga shiftnya selesai. Waktu telah menunjukkan tengah siang hari. Monkey kemudian mengajak Nyonya Dornicle untuk makan siang. Ia kemudian bertemu Steve dan berhenti sesaat, lalu menyuruh Nyonya Dornicle duluan.
Pria itu menoleh ke segala arah dengn hati – hati seolah – olah informan terpecaya. Tangan kirinya dengan cepat menyelipkan sesuatu.
“Apa ini?”
“Yang anda ingin cari kemarin!” bisik pria itu. “Setelah makan siang, ikut saya.”
Monkey mengangguk, lalu mereka menuju ruang makan.
Di sana cukup sepi, beberapa orang seperti Nyonya Lorraine, pria berponi tanda koma, Nyonya Dornicle, dan dirinya. Wanita yang saat ini sebagai kepala rumah tangga itu menjelaskan pada Monkey bahwa memang makan siang tidak perlu berkumpul atau diskusi seperti makan malam. Lalu ia menyuruh semua pembantu dan koki untuk makan bersama.
Setelah itu Monkey diajak pria berambut poni tanda koma untuk mengikutinya. Sementara Nyonya Dornicle berpamitan untuk pulang lalu akan kembali lagi pada shiftnya malam. Melewai kamar para pembantu, tepat bagian pojokan terdapat pintu lain. Pria itu menekan saklar lampu.
“Garasi?” Tanya Monkey dengan heran.
Pria itu tidak menggubris sambil terus berjalan menuju salah satu dari tiga mobil yang warnanya hitam.
“Jadi, apa yang ingin anda tunjukkan?”
“Mobil ini.”
Monkey mengeliling mobil mewah itu sambil menaruh kesan.
“Jaguar XF? Mobil yang bagus, cukup jarang, beberapa orang lebih suka merek sebelah. Ada yang aneh?”
“Sebenarnya di rumah ini punya dua mobil kembar, punya Chester dan Henrietta. Sedangkan SUV itu milik ayah yang sekarang milik Lorraine, biasanya Edelyn yang menyetir.”
Monkey mengangguk lalu menunggu.
“Sebenarnya kemarin saya meminta izin Edelyn untuk meminjam mobil ayah. Waktu saya turun ke sini saya kaget, ada yang aneh. Harusnya satu mobil warna putih.”
“Eh?”
Pria berambut poni tanda koma itu mengangguk.
Monkey pun mengelilingi kedua mobil yang katanya kembar, ia sambil memandang bagian dalamnya. Sayangnya tidak mendapat petunjuk. Sebelum keluar dari sana, Monkey sempat membuka selembar foto yang diberikannya tadi.
“Dimana anda menemukan ini?”
“Awalnya saya agak penasaran dengan beberapa tumpukan kertas, tapi ternyata isinya tidak penting. Tadi saya ke kamar Edelyn. Saya tertarik pada isi lacinya, lalu menunggu ia keluar sebentar, di situlah saya beraksi!”
Monkey memperhatikan foto tersebut dengan hati – hati. Wanita berambut hitam dikuncir pendek mirip sekretaris kantoran tersenyum bersama anak – anak kecil. Poninya sedikit terlempar secara spontan dan tidak sengaja memperlihatkan tahi lalatnya dekat mata dan di pipi sebelah kiri. Tertulis delapan juli.
“Ini…”
“Ibu kami.”
“Nyonya Hannah?”
Pria itu mengangguk, Monkey masih mengerutkan dahinya.
“Sedikit rindu rasanya,” tambahnya masih agak sedih. “Saya akan usahakan mencarikan yang lain.”
“Terima kasih.”
Lalu mereka pun akhirnya keluar dari sana.
Sambil menunggu hasil koroner tim patologi, dari ponselnya mengabarkan bahwa Nona Desdemona akan hadir sebelum jam makan malam. Terpaksa ia harus membunuh beberapa waktu kedepannya. Lalu ke ruangan Steve untuk meminjam beberapa buku. Setelah itu ia menuju teras dekat taman, setidaknya ia bisa bersantai dalam beberapa jam. Sebelumnya ia bertemu Dana yang sedang membersihkan perpustakaan kecil dekat pintu menuju taman. Saat Monkey memandangnya, ia hanya menggeleng. Lalu balasnya mengangguk sambil tersenyum kecil. Kini ia pun duduk di teras sambil memandangi bunga dari luar. Angin siang hari di bulan september bertiup, lembar demi lembar buku itu dibuka. Ia tenggelam dalam plot buku tersebut.
ns3.144.84.11da2