“Cukup mengesalkan.”
“Benar,” tambahnya. “Sisanya Chester. Saya kurang suka membicarakan orang lain, tapi mulut ini bisa dibuktikan saat anda bertemu dengan orangnya sendiri.”
Inspektur Duncan mengangkat suara.
“Jadwal giliran itu apa?”
“Tuan Antoinette hobi sekali makan kue. Setiap hari kue dibelikan oleh orang yang berbeda. Jadwal tersebut dibuat secara bergiliran, setiap anggota keluarga mendapat satu kali giliran tiap minggu. Kecuali asisten rumah tangga.”
“Lalu Nona Henrietta ini mengacaukannya?”
“Benar. Beberapa ada yang bilang dengan sukarela menggantikan, tapi entahlah. Saya hanya tidak yakin,” tambahnya dengan nada sedih. “Terutama Tuan Keith. Minggu lalu hampir seminggu ia menerima jadwal itu. Anda tahu? Seorang dokter sangatlah sibuk.”
“Sependapat, Bibi Kath. Istri saya pun begitu.”
Wanita parubaya itu terkejut mendengar hal tersebut. Pembicaraan sedikit melenceng sedikit. Ia memberi saran terhadap Inspektur Duncan agar sering – sering meluangkan waktu untuk istrinya. Lalu pembicaraan kembali kearah yang diinginkan.
“Anak itu kelihatan tegar meskipun dalamnya rapuh,” tambah Bibi Kathryn dengan murung. “Padahal dulu anak itu sangat bersemangat. Tuan Keith pasti sudah lelah.”
“Saya dengar, Tuan Keith adalah satu – satunya orang yang tidak hadir pada malam kemarin?”
“Sore tadi barusan datang dari Rumah Sakit Ipswich, katanya kekurangan dokter. Hal ini sudah biasa dilakukan Tuan Keith.”
“Tentunya saat ini dia sangat lelah.”
“Benar, Nona Desdemona. Sebisa mungkin nanti saya harap interogasi ini tidak terlalu menekan Tuan Keith.”
Kedua orang itu mengangguk paham. Diikuti dengan Inspektur Duncan yang kemudian menjelaskan prosedur penyidikan yang harus dijalani.
Nona Desdemona menyeruput jeruk hangat.
“Lalu soal kueitu? siapa yang membelinya kemarin?”
Nada Bibi Kathryn agak meninggi.
“Chester! Dia yang membeli kue itu! Kemarin adalah gilirannya.”
“Apakah korban menginginkan kue dengan kriteria tertentu?”
“Tuan besar? Tidak. Beliau tidak pernah menyuruh ke tempat yang jauh atau tempat yang spesial. Kalau Tuan Steve biasanya membeli di sekitar St Clement’s street atau pernah juga di Speedwell street.”
Inspektur Duncan mengangguk ramah, “Jaraknya lumayan dari sini. Orang yang paham detilnya.”
“Benar, Tuan Steve tahu sudut tempat makanan yang enak. Selain itu dia adalah orang yang paling ramah di rumah ini. Perangainya seperti Tuan besar yang menurunkan langsung sifat mulianya.”
Nona Desdemona menghela nafas. Ia masih bingung terhadap banyak hal. Terutama banyaknya keganjilan. Setiap salah satu yang menurutnya mencurigakan, secara langsung akan muncul yang lainnya lagi. Namun karena kata ‘speedwell street’ yang barusan terdengar, terbesit olehnya untuk menanyakan sesuatu. Ada beberapa hal yang ingin dipastikan.
“Oh? Kami juga barusan ini mencoba kue dari Speedwell street.” Ucap Nona Desdemona sambil mengambil gelasnya.
“Lalu siapa yang mengantarkan kue tersebut ke meja korban?”
“Biasanya kedua pembantu muda itu. Tapi saya tak tega. Mereka seharian bersih – bersih separuh terakhir lantai satu dan lantai dua keseluruhan,” ucapnya dengan ragu – ragu. “Untung lantai dasar sudah selesai. Sa—saya yang mengantarkan.”
“Tapi apa mungkin kue tersebut tiga buah? Dan beberapa saus toppingnya pula?”
Wanita parubaya itu menggelengkan kepalanya.
“Saya ragu bahwa kue itu tidak yang seperti anda bicarakan. Tanpa saus topping dan tidak tiga buah. Tapi satu kue yang agak besar. Aromanya lebih mewah dari yang biasanya saya kira.”
Nona Desdemona wajahnya melesu, mata malasnya mulai terlihat. Informasi yang sangat tidak menarik itu sangat mematahkan semangatnya.
“Pada jam berapa anda mengantarkan kue itu?” tanya Inspektur Duncan yang ingin mengalihan hal lain.
“Saat pukul tujuh kurang sepuluh menit. Saat itu Nyonya telah selesai bermain ular tangga. Saya dan Nyonya keluar dari ruangan itu bersama.”
“Bersamaan dengan soda anggur yang habis itu, korban lalu berlari menuju toilet dan kejadiannya seperti saat ini?”
“Mungkin saja, Inspektur Duncan.”
“Berarti anda dan Nyonya besar terakhir melihat korban?
Bibi Kathryn mengangguk sederhana.
“Lalu jam itu, saya melihat Nyonya Antoinette tadi agak sangsi mengenai jam—saya menyebutnya mata gagak.”
“Mungkin saja jam itu sangat berbeda dengan jam di lantai bawahnya.”
Nona Desdemona menjadi fokus lagi.
“Ada berapa jam di rumah ini?”
“Secara fisik ada dua, namun tidak mengherankan ponsel dibawa oleh setiap orang, bukan?” tambahnya. “Tepat setelah naik lantai satu. Khusus di lantai dua, jam itu diukir di atas pintu ruang pribadi Tuan Antoinette. Lagipula sangat dekat dengan tangga.”
ns3.22.79.2da2