Delapan…
Delapan… Sembilan… Sepuluh! Siap atau tidak, permainan sudah dimulai. Aku adalah yang terbaik dari yang terbaik. Dua saudaraku tentu saja mengerti hal itu, namun tidak pada mereka, para penjajah. Benar kok, penjajah, hehehe…. Tidak, tidak juga kami tidak bermusuhan. Hanya saja dibagi menjadi dua kubu, itu yang membuat permainan ini terasa menyenangkan. Lebih serius, lebih hidup dan lebih menjiwai. Tapi lebih tepatnya karena ibu bilang, permusuhan tidak diperlukan. Karena aku merpati yang bijak, maka para jantan menganggapku yang terbaik. Jadi percayalah padaku, ok?
Tidak percaya? Baik mari kujelaskan. Tapi pertama – tama, aku paling lemah untuk menjelaskan sesuatu, karena itulah guru bukanlah pekerjaan yang kuinginkan di masa mendatang. Yang kedua, aku tak pernah memaksa siapapun memercayaiku. Lagipula aku bukanlah merpati yang bertuan? Tugasku hanya bermain hingga menikmati hidup! Merpati yang bebas!
Cepat atau lambat pasti kutemukan! Bersembunyilah sampai putus asa! Hahaha! Pasukanku dan para penjajah itu mencari aman. Dengan kebijakanku, mata ini mungkin tertutup tapi sebenarnya aku mampu menerawang. Ada yang di taman, dalam lemari, gudang, sampai di tempat paling tak terpikirkan. Dua orang yang mencari termasuk diriku sendiri, satunya adalah bagian dari penjajah. Begitulah aturannya, begitulah cara mainnya. Tapi karena kami dalam satu kelompok berbeda kubu, aku mengikuti caraku sendiri. Sedangkan dia ke arah yang berlawanan.
Pikirku betapa bodohnya! Tidakkah dia memperhatikan itu? Maksudku pak tua itu memegang koran terbalik, tidakkah itu aneh? Koran itu dipakai sebagai saksi bisu untuk menutupi anak kecil. Padahal kami memulai dari lantai satu? Bagi burung, siapapun yang lebih tinggi posisinya, lebih banyak mengetahui dari yang lebih rendah. Lagipula di baliknya adalah dari kubu yang sama, untuk apa aku membantu para penjajah? Biarkan mereka mencari kebenarannya. Aku merpati yang idealis!
Masih juga tak percaya? Padahal sudah kujelaskan kalau kami hanya bermain. Terlalu jahat? Oh tentu tidak. Merpati tidak pernah kejam terhadap siapapun, begitupun diriku.
Ngomong – ngomong tentang jahat, hal yang paling tidak kuinginkan. Aku lumayan gemar membaca buku dongeng. Katakanlah Alice in Wonderland? Ceritanya menarik! Seperti berpetualang di negeri impian. Atau memang benar negeri tersebut tak pernah ada? Ibu juga pernah menceritakan buku yang separuhnya sudah kubaca. Katanya memang benar negeri itu tak pernah ada.
“Setidaknya ku—kucing bu? Pasti mereka bisa berbicara, kan?”
Ibukku mengangguk, matanya dialihkan ke arah jendela. Pembuktian terhadap pertanyaanku barusan, seekor kucing melongo dari sana.
Ibu membuka jendela tersebut, membiarkan masuk seekor kucing hitam yang agak kedinginan.
“Nah, cobalah berbicara pada kucing.”
Namanya saja masih kecil, kan? mungkin terdengar senewen saat dewasa membaca ini, tapi hey? Merpati tidak bodoh, bukan? Bahkan sejak awal aku sudah menyatakan diriku yang terbaik dari yang terbaik.
Ternyata setelah kutanya beberapa kali, sampai tangan indahku turun mengelusnya, mereka tetap tak sama seperti buku yang kubaca. Kau tahu? Menjadi yang terbaik cukup sulit, kebohongan kecil seperti ini cukup membuat buku tersebut tak kulanjutkan tepat di bagian tengah – tengah. Itulah kejahatan yang kualami. Membohongi merpati yang polos!
Setelah nada protesku pada ibu, ia hanya mengelus kepalaku dengan ramah.
“Lihat? Dia berbicara!”
Aku semakin bingung karena pada kenyataannya itu hanya berbunyi.
“Yang mana? Meong? Itu sudah sepantasnya suara kucing.”
Ibu menggeleng.
“Dia berbicara, kau hanya tak memahaminya.”
Saat itu aku baru sadar, hehehe! Sesuatu yang terang melintasi pikiranku. Ternyata ibu memang benar. Buku dongeng memang sejak awal tidak nyata. Sebagai merpati yang bijak, aku tetap menerima kekalahan. Siapa yang tahu? Kekalahan itu membukakan dunia baru!
Baiklah, baiklah! Ini kuncinya. Karena aku tak bisa membaca sesuatu yang tak nyata, maka merpati yang pintar ini mencari cara lain untuk menikmati buku itu, benar sampulnya! Dimulai dari situ dunia ini menurut idealku adalah berpaku pada keindahan. Sebuah ekspresi yang bisa diperlihatkan, kesan pertama di mata yang lain adalah penampilan. Terus dan terus belajar, menggali lebih dalam. Akhirnya dari situlah, aku mengerti merpati tak perlu bijaksana. Terus terang aku harus memberikan sepenuhnya gelar itu pada sang gagak yang sedari awal, memang tetaplah konsisten pada pikirannya. Sedangkan merpati? Hm… Merpati adalah burung yang indah.
Bosan? Itu masih belum jelas? Hm… aneh sekali. Tapi baiklah aku mencoba yang terbaik, meskipun tidak pernah terpikirkan olehku menjadi guru. Mungkin itu tidak ada kaitannya, memang benar, tapi hey? Setidaknya ini yang pertama kalinya? Sebuah tulisan usil, hehehe. Karena aku sudah melepaskan gelar bijak, pasti aku agak merindukannya. Walaupun aku sudah cukup puas sebagai burung yang indah, hihihi. Ngomong – ngomong, aku benci sekali menghabiskan waktu kalian tehadap tulisan bodoh ini.
Mari bermain? Tidak? kali ini saja, oke? Baik – baik. Aturannya cukup ringan kurasa, tidak jauh – jauh dari tebak – tebakan? Semua orang pasti suka kok!
Pertama, merpati yang baik selalu meminta maaf pada coretan yang tak beraturan ini, karena ini pertama kalinya. Karena kalian pemaaf, aku juga memaafkan atas kebodohan kalian! Menyebalkan? Tentu tidak!
Kedua, merpati yang baik selalu meminta maaf pada tulisan yang terakhir kalinya ia buat, mungkin? Merpati tidak pernah menulis sesuatu yang menyedihkan, karena aku ini indah. Bagaimana mungkin? Aku yang terbaik dari yang terbaik, sesuatu yang indah tidak mungkin menyedihkan!
Ketiga, karena minyak tidak pernah bersatu dengan air dalam satu wadah, namun bukannya berarti itu bermusuhan, kan? Bagaimana aku tahu itu? Karena aku merpati yang bijak.
Lalu mungkin kau bertanya, mengapa harus ada lagi setelah yang kedua? Entahlah? Tapi aku tak akan menulis bila tak diminta. Merpati haruslah bebas!
Delapan…
Untuk harapan…
***
ns3.22.79.2da2