“Itu angka yang cukup besar, Tuan Steve!” Desdemona menaruh kalengnya. “Ada lagi yang anda temukan?”
“Beberapa hari yang lalu, saya menemukan kertas cek sebesar lima ribu pounds ditujukan atas nama Henrietta. Kertas itu diselipkan pada buku pribadinya. Saya hanya memungut buku tersebut ketika tiba - tiba terjatuh dari tempat tidurnya.”
Kedua orang dihadapan pria itu mengangguk, sementara Monkey mengambil kaleng warna hijau. Katanya dengan sopan, “Permisi.”
“Anda lumayan dekat dengan mereka, bukankah begitu? Sedekat apa anda dengan mereka? Maksud saya beberapa orang menaruh benci terhadap yang lainnya.”
Pria itu mengangguk.
“Biasanya hanya sekedar mengobrol. Kadang saya hanya memberi saran. Pernah sesekali Edelyn dibuat bingung dengan persiapannya rapat besar dengan beberapa partner. Ia meminta saya mencarikan jasa catering yang enak dan sebisa mungkin menahan biaya. Terlepas dari fakta bahwa saya seringkali mengunci diri di kamar, terkadang saya mencari inspirasi di luar. Untuk menyenangkan hati, biasanya saya mengunjungi kuliner di beberapa daerah. Dari pengalaman itu, saya berpikir itu tidaklah sulit. Syukurnya itu berjalan lancar.”
“Mengenai katering itu?”
“Ah, saya memesan kebab di toko Omar grill, Oundle Road, Petersborough. Saya pernah makan di sana sekitar dua kali. Rasanya tidak lebih baik dari yang pernah saya coba pada restoran yang mengaku buatan turki, tepatnya di London. Tapi sejujurnya mengingat harganya yang sepertiga, saya pikir itu adalah jawaban yang tepat. Lagipula buatan pakistan tidak boleh dianggap remeh.”
Inspektur Duncan memandang dengan heran, alisnya sedikit naik.
“Well saya justru melihat hal itu luar biasa. Mereka mudah sekali menaruh kesan ketika hal yang berurusan dengan perut tidak berjalan lancar.”
Desdemona mengambil kalengnya untuk dihabiskan. Kemudian dibuangnya kaleng itu di tempat sampah dekat perapian.
“Lalu, bagaimana dengan Madame Antoinette?”
“Dia orang yang baik, tidak macam – macam maupun berlebihan. Tentunya saya bersyukur ayah menikahi perempuan seperti dia.”
Desdemona melihat arloji di tangannya.
“Mari kita persingkat, Tuan Steve. Menurut sudut pandang anda, siapa yang paling mungkin?”
Pria itu mengangkat bahunya, pandangannya menjadi ragu – ragu lagi.
“Sekali lagi saya tidak suka menaruh prasangka. Yang terpenting saya sudah memberikan keterangan. Selanjutnya anda yang berpendapat.”
Ketiga orang itu tidak bertindak lebih jauh, tampaknya tidak ada lagi yang bisa dibagikan. Mereka berterima kasih atas kerjasama dari pemilik kamar tersebut, seorang penulis. Mengingat hari sudah semakin malam, setidaknya tinggal satu orang lagi. Pekerjaan mereka menjadi lebih terbantu karena ruangan seseorang yang ingin dinterogasinya ada tepat di depan pintu ukiran kepala gagak. Sesekali Monkey menoleh ke arah jam tersebut, kepalanya menggeleng kecil dua kali.
Desdemona mengetuk pintu tersebut.
“Itu menakutkan, bukan?” Bisik Monkey.
“Saya tidak menyanggah hal itu, Inspektur Duncan. Tapi saya hanya merasa aneh.”
“Sebenarnya orang kaya kebanyakan memiliki selera yang unik.”
Monkey mengangguk, tapi pandannganya masih tajam ke arah jam tersebut.
“Kurang lebih. Ngomong – ngomong,” ia menoleh. “Apakah anda bisa tidur tenang malam ini?”
Inspektur Duncan meregangkan tangannya, pinggulnya di goyang – goyangkan sambil merintih kesakitan.
“Tulang – tulang saya menangis. Tidak setelah mengoleskan minyak pegal dan segelas susu hangat. Ya tentu, saya bisa. Setidaknya tinggal seorang lagi, tak akan lama. Anda sendiri?”
Monkey menggeleng sedih.
“Anda melupakan tukang kebun.”
“Oh, jangan ingatkan saya.”
Pintu itu terbuka dengan agak mengagetkan. Kamar terbuka oleh bukan pemiliknya. Seorang wanita parubaya, rambutnya agak keputihan diatur ikat kebelakang poni yang tidak menutupi bagian muka.
“Anda siapa?”
“Biarkan mereka masuk.” Suara dari dalam kamar yang tampak familiar.
“Silahkan.”
Lagi – lagi kamar yang nyaman lainnya. Sejauh ini tidak ada yang mengecewakan, pikir Desdemona setelah matanya memandang sekitarnya. Meja telah disiapkan dengan beberapa cemilan serta teh hangat. Api unggun yang dinyalakan, tepat di sebelah pemilik kamar, wanita parubaya itu duduk. Pakaiannya agak lusuh, jaket polyester hijau tua, dan dua kertas putih asing yang menempel di lehernya. Inspektur Duncan melihat bingkai foto yang ditidurkan, sedangkan Monkey menuju arah jendela.
“Maaf saya lupa mengenalkannya, beliau sekarang tukang kebun di rumah ini, Nyonya Dornicle.”
“Saya Mordred Desdemona, detektif swasta, apa kabar?”
Tangannya bersalaman dengan wanita parubaya itu.
“Se—senang bertemu anda, Tesha Dor—dornicle.” Katanya agak gagap, namun senyumannya melembut.
“Maaf saya penasaran, tapi…” Tangan kanan Desdemona memegang belakang lehernya, menyiratkan maksudnya bertanya.
Wanita tua itu ikut memegang belakang lehernya, lalu mengangguk agak dipaksakan.
“A—ah! Ini obat tempel. Cara ker—kerjanya seperti mi—minyak o—oles,” senyumnya ramah, kemudian menoleh ke sebelah. “Nyo—nyonya yang memberikannya.”
Desdemona mengangguk dengan senyuman. Sedikit menaruh perhatian padanya.
“Saya tak tega setiap selesai beliau memegangi lehernya dari kemarin. Saya pikir masih menyimpan beberapa lembar pada kotak obat.”
“Sebenarnya saya juga merasakannya di sebelah sini,” tunjuk Inspektur Duncan bagian pinggangnya.
“Anda juga mau?”
“Tidak perlu, lagipula…” ia menunjukkan foto tersebut. “Anda dulu bekerja di restoran?”
“Benar,” diseruputnya teh hangat itu. “Saat itu lumayan menyenangkan di Scarborough.”
Monkey masih berjalan kecil seperti biasanya.
“A—anu… yang di—sana itu?”
Desdemona mengikuti arah Nyonya Dornicle.
“Ah, Madame Dornicle, maaf. Saya pelayan Nona Desdemona.”
“Permisi, Madame Antoinette,” langkahnya mendekati. “Saya pikir anda menyimpannya kurang tepat. Sedikit bingkainya masih terlihat.” Tunjuk Monkey di bagian bawah dekat tempat tidur.
ns3.22.79.2da2