Angin yang meniup, memasuki celah - celah, membuka jendela dengan perlahan dan sopan. Tirai pun ikut melambai - lambai, seakan meniru rambutku yang berdansa. Tiupan yang sejuk, menenangkan gugupku tanpa mengusap keringat. Sebilah pisau yang terangkat dengan tanganku yang penuh arogan dan kesiapan. Diayunkan dengan tidak teratur, sesuatu terciprat mengenai wajahku, tepatnya pipiku. Hingga noda merah menghiasi baju dan celanaku. Karena suara gaduh yang serampangan, telingaku menangkap suara langkah kaki dengan tergesa – gesa mendekat.
“Honey! Apa yang kamu lakukan?” Ibu menghampiriku dengan khawatir. “Ingat? lakukanlah dengan perlahan. Jika bajumu begini, kau hanya membuat Bibi Kath repot, mengerti?”
“Honey, biar ibu contohkan,” Ucap ibu dengan lembut sambil memegang tanganku, memotongkan tomat itu dengan perlahan dan tenang. “Bagaimana? mudah kan? kau pasti bisa!”
“Tapi, tapi, ibu! orang itu memotongnya sangat cepat! bahkan dilakukan dengan cermat, jadinya sangat rapi. Padahal aku sudah mencontohnya, ini aneh sekali. Apakah momentumku kurang, bu?” Tolehku kebelakang dengan menyanggah pendapat ibu.
“Tidak, tidak begitu, honey! memasak bukanlah fisika,” ia menunduk ke bawah meraih kepalaku, ibu jarinya kanannya memegang hidungku. “Memasak itu menggunakan hati. Mana mungkin kamu bisa melihat hati orang yang memasak di TV, bukan?”
Dahiku mengerut, diikuti alisku naik salah satunya. Konsentrasiku sangat tidak menjangkau kemungkinan yang ada. Rasanya butuh stimulan sedikit lagi, pencerahan.
Tanpa ragu ibu mengelus kepalaku, “Jangan terburu – buru, honey. Semua hitungan diawali dengan angka satu, angka yang kecil. Tidak ada seseorang yang memulai sesuatu, dengan segala keberuntunganya, menjadi hebat. Proses itu diperlukan, honey.”
“Ingat, honey! proses tidak mengkhianati hasil, dan… itu akan membuktikan peningkatan. Yang artinya… semakin meningkat, semakin baik!” Ia mengangkatku dengan tawa dan senyuman cerah. Wajahku tampak lugu, mataku penuh keingintahuan, namun di dalam sini, kupegang dadaku, terasa kehangatan yang tanpa sadar kubutuhkan. Ibu memang mengajarkanku banyak hal. Terkadang otakku menggapai hal – hal yang terlalu dini dan sebaliknya pula, seringkali gagal menangkap hal - hal sepele. Tanpanya, aku seperti daging beruang berkualitas yang kokinya tidak bisa memasakku dengan mudahnya.
Sebenarnya, aku sedikit berbohong saat melihat di TV. Nyatanya tak sulit mencari orang seperti itu, kenapa harus repot – repot? di rumah kami punya satu. Dia adalah Tuan Kuda yang tangannya memiliki lekukan aneh seperti akar pohon yang menjalar. Perangainya sangat menyilaukan, melihatnya saja sudah membuatku lelah. Melihat keterampilannya yang boleh jadi bukan amatir, mencontohnya pun akan tidak mudah. Seperti kata ibu “Hitungan dimulai dari angka satu.” yang nilai angka tersebut tidak kutemukan pada orang ini. Mengusiknya dengan kehadiranku yang cukup merepotkan, atas keingintahuanku yang tidak pantas dipuji, aku seringkali bertanya padanya.
“Paman! mau bikin apa?” kulihat ia seperti merebus sesuatu yang bewarna merah. “Paman, merah itu tidak baik loh.” Sebenarnya aku tahu, hanya saja kuberharap mendapatkan jawaban yang teratur dan kronologis. Kesukaanku terhadap hal – hal yang mengusik keingintahuan sel – sel otakku adalah kebiasaan burukku.
“Nak, Kemarilah!” dengan senyuman yang tulus, tangannya menggendongku dengan semangat. “Bukannya tadi kamu minta tambah, eh? dari sesuatu merah yang kamu bilang tidak baik? Itu akan sangat menyedihkan bagi tomat.”
“Tapi paman, tomat tidak bisa bersedih.”
“Mengapa tidak, nak?”
“Karena mereka hanya sayuran. Takdirnya hanya untuk dimakan dan dicerna.”
“Mungkin memang tidak. Misalnya saja kalau dibuang atau dimuntahkan, kau bisa membuat petani tomat di seluruh inggris menangis. Bagaimana?”
346Please respect copyright.PENANAh2EOgpW44s
Tatapanku terhadap Tuan Kuda agak sebal seperti anak kecil yang tak mau mengalah, karena jawabanku berhasil ia bantah. Sedangkan kemenangannya adalah, aku tak tahu harus membalas seperti apa. Bukannya aku jadi membencinya, tapi aku justru menyukainya. Selain itu, tak pernah sekalipun makanan darinya kutolak. Ibu suka pada masakannya, tak ada alasanku menolaknya. Lagipula rasanya lebih istimewa dari yang pernah kumakan saat liburan ke Scarborough. Menginap di salon Tall Storeys, dan kami makan malam di Princess Street.
Namun tidak menutup kemungkinan, tentu saja ada orang yang memuntahkan hasil jerih payah Tuan Kuda. Mereka itu memang hewan yang menyebalkan, seperti ketika ibu menceritakan sebuah kisah padaku, Cinderella. Keras kepala seperti ibu tiri, sedangkan sifatnya yang terlalu manja, seperti anaknya. Terkadang aku mendidih sendiri, tanganku mengenggam erat – erat, menggigit gigiku sendiri. Ibu selalu berkata “Tenanglah, itu hanya cerita fiktif, nikmati saja alurnya.” dengan suara ramahnya, tangannya yang mengusap kepalaku, dan ekspresinya dengan agak mengantuk.
Biasanya hari – hari yang kuhabiskan lebih berarti dari yang kukira, terkadang ada sesuatu yang baru. Setelah mengusik ketenangan Tuan Kuda, bermain dengan saudaraku dan para hewan itu, Si Babi, Si Kera, dan Si Keledai. Induk mereka ternyata lebih tegas dari yang kukira. Pandangannya yang ketat dan tajam, nadanya sedikit menyentak kalau – kalau sesuatu salah di matanya, apalagi jatuh pada selain dari darahnya, lebih menakutkan. Terkadang ia membuat kerutan di alisnya. Yang tak kupahami adalah, sifat orang ini tidak menurun pada anaknya. Cukup dewasa, tegas, dan prinsip responnya yang efisien. Berbeda dengan ibu, yang suka menambahkan nasehat dan sedikit kisah yang menarik bagiku, wanita itu lebih singkat tapi tidak lebih cepat dari orang yang cuek.
Saat itu gerimis, dan saudaraku serta Si Keledai, Si Kera dan Si Babi, para hewan itu sudah masuk. Dengan sedikit ide yang cemerlang, terbesit pada diriku untuk menguji kesabaran induk mereka. Kugerakkan tubuhku menjauhi bangunan yang teduh, saat ia berjalan di sana. Celakanya adalah, sesuatu yang tidak melalui alur rencanaku terjadi. Terjatuh lah aku saat sedikit berlarian.
“Nak, apa – apaan kau ini? Lihatlah dirimu! Penuh dengan lumpur yang kotor! Hanny tak akan tahan melihatmu begini!” Ia mengernyitkan dahinya, membuat ekspresi seram, dan membentakku. Ia mengusap – usap celanaku seperti sedang memukul – mukul kecil pantatku yang penuh warna coklat yang tidak nyaman dipandang.
“Kau akan sakit bila basah kuyup begini!” tambahnya dengan nada memperingatkan.
Saat ia membawaku, dengan niatnya yang tergesa – gesa, berjalan cukup cepat tanpa ada keramahan secuil pun, untuk memandikanku. Berpapasan dengan ibu. Induk itu mengatakan hal – hal yang cukup jahat. Sebagaimana yang kuingat saat itu adalah “Kau harus mendidiknya dengan benar!”, aku merasa tidak sepantasnya ia mengatakan itu. Kesalahanku terletak pada kebodohanku, ibu tak ada sangkut pautnya. Walaupun begitu, ibuku tetap tersenyum.
“Maafkan aku, Lyn. Selanjutnya biar aku yang urus, kau cukuplah beristirahat, terima kasih sudah menjaga bocah nakal ini.” Ibu mengambil alih peran yang akan dilakukan wanita itu. Anehnya, wanita itu membalasnya dengan efisien dan ramah. Anggukannya yang sopan menimbulkan kesan bahwa ia tidak masalah dengan hal itu. Padahal saat itu, ia masih mengernyitkan dahinya, bahkan saat berbicara seperti itu pada ibu.
Setelah itu, ekspresi ibu yang lain sangat menakutkan. Lebih menakutkan dari wanita yang memukul – mukul ringan pantatku. Tidak memancarkan kemarahan yang seperti dilakukannya, seperti Ibu tiri Cinderella ataupun nenek sihir. Ibu cuma tersenyum dengan ramah, tangannya mencengkramku, dan mencubit satu per satu di tangan, kaki, pipi dan bagian tubuhku lainnya. Ia terhenti sebentar, dengan nadanya yang tak ganjil sama sekali, namun bel dalam diriku mengisyaratkan tanda bahaya. Hanya ibu yang dapat melakukannya.
“Honey, dengar, kamu tidak boleh mengulangi lagi ya? janji?” ibu menatapku dengan ramah dan penuh maksud. Namun aku membuang muka dengan ekspresiku mengejek, sangat mudah kailnya terpancing. Lalu ibu menatap lebih dekat padaku, mengulangi kata “janji?” seperti ada kegelapan dalam wajahnya.
“Janji bu. Aku sayang ibu.” Ucapku dengan manis
“Bagus! Itu baru anak ibu. Sekarang mandi dulu, dan bersiaplah karena kita akan makan malam.” Ibu melanjutkan perannya. Berkatnya, bersihnya diriku dari coklat – coklat yang tak nyaman, juga dari kepandiranku.
ns3.12.165.112da2