Wanita itu menoleh, roman mukanya menyiratkan pasrah, tidak punya pilihan lain.
“Silahkan bila anda tidak keberatan.” Tawar Monkey sambil menepuk – nepuk kursi di sebelahnya.
Ia pun menghampiri Monkey dan duduk.
“Kalau tau dari kemarin tempat ini menyenangkan, saya lebih memilih untuk tidur di sini.”
“Saya tidak yakin, Tuan Monkey. Angin malam bisa membunuh anda.”
“Ah, benar juga.”
Wanita itu kemudian diam lagi, memandangi bunga – bunga yang tak bisa membalas apa yang dirasakannya sekarang. Bahkan oleh Monkey. Mereka sama – sama bersantai menikmati angin, namun dengan perasaan yang berbeda.
“Saya tidak percaya anda yang melakukan itu.”
Wanita itu menoleh sedikit.
“Maksudnya?”
“Surat itu.”
Ia menghela nafas.
“Meskipun saya sudah menuduh kalian berdua?”
Giliran Monkey menghela nafas.
“Entahlah, saya tidak mengerti yang soal itu. Lagipula alasan saya sudah cukup bila itu masuk akal. Tidak melibatkan dendam atau amarah.”
Wanita itu kembali memandang bunga – bunga.
“Anda ini aneh. Tapi setidaknya itu melegakan kalau mendengar alasannya.”
“Mudah saja.”
“Mudah bagi anda.”
Monkey menggeleng.
“Mudah dimengerti. Saya hanya merasa surat itu tidak perlu. Selain itu kamar anda juga dekat, mungkin seseorang satu atau dua kali melihat anda. Memberi tahu dari mulut ke mulut lebih mudah, tapi lebih efektif lagi menggunakan ponsel. Lagipula surat itu bukanlah tipe yang isinya harus dicetak, tidak punya tanda tangan ataupun stempel,’ tambahnya. “Walaupun saya masih menerima isinya. Katakanlah pada saya bila anda berkenan, milady.”
“Lalu soal kettle itu?” Balik tanya Nona Henrietta.
Monkey berhenti. Roman wajahnya yang masih memberatkan cepat disadari wanita itu
“Saat ini saya sedang mencari alasannya. Saya masih lima puluh banding lima puluh.”
Wanita itu agak lega, namun kata – katanya masih agak ragu.
“Ba—baik, itu masuk akal. Akan saya katakan…”
“Anda katakan?”
Kesekian kalinya ia mengangkat mulutnya lalu tidak jadi. Monkey menatapnya dengan maksud meyakinkannya.
“Se—sebenarnya sesuai isi surat itu. Kami sempat melakukan perjanjian. Terus terang saya butuh madu dan lilinnya untuk produk kosmetik, makanya perjanjian itu dibuat. Purchasing ordernya memang saya bisa memberi wewenang. Terutama memudahkan Chester mengambil sesuatu. Tapi tidak pernah terjadi kepalsuan seperti kemarin, percayalah padaku Tuan Monkey!”
“Berarti bukan anda yang melakukan?”
“Tidak, bukan saya!”
Monkey pun diam.
“Ada dua kemungkinan. Seseorang mendengar rencana anda, dan…” tambahnya. “Katakanlah, apakah stempel itu selalu selalu berada di dekat anda?”
“Saya punya dua, di kantor dan dalam tas saya. Saya tidak pernah merasa kehilangan sebelumnya. Beberapa minggu yang lalu saya pernah mengobrol di kamar Edelyn, dengannya dan Lilia mengenai komposisi. Karena internet menurut saya kurang terpercaya sumbernya, selain jurnal saya pun harus melalui obrolan para wanita. Sedangkan Steve terbarimg nyenyak sejak sore di sofa Edelyn.”
“Lalu perjanjian dengan Tuan Chester?”
Wanita itu mengangguk yakin.
“Sebelum itu. Makanya saya selalu menagihnya.”
Monkey pun diam, ia jadi tambah bingung. Tapi kemudian teringat sesuatu.
“Kebetulan saya punya pertanyaan. Mobil di garasi mengapa warnanya berganti?”
Nona Henrietta terkejut dengan pertanyaan Monkey.
“Mengapa anda bisa tahu?”
“Seseorang memberitahu dan menunjukkan.”
Ia berdiam, pandangan matanya bergerak – gerak.
“Baik, baik, anda sudah memegang rahasia saya. Bagaimana saya harus percaya pada anda?”
“Well, saya tertarik menyimpan setidaknya satu atau dua. Anda bisa bilang orang tua yang sudah bau tanah ini menjaga sikapnya hingga ajal menjemput.” Jelas Monkey dengan percaya diri, yang selanjutnya wanita itu mengangguk yakin.
“Beberapa hari yang lalu, saya terburu – buru. Chester menghubungi mendadak. Tanpa sadar saya menerobos lampu merah di sebuah perempatan, kalau tidak salah St Bernard. Setelah urusan selesai, saya langsung mencari dealer modifikasi mobil.” Nadanya agak panik.
“Menarik.”
Monkey pun diam. Waktu semakin berlalu setengahnya dari per jam. Tidak terasa mereka habiskan. Terutama Monkey yang dari pemandangan siang hingga sore.
Wanita itu kemudian berdiri dari tempat duduknya.
“Terima kasih, Tuan Monkey. Setidaknya saya lega bila anda percaya dari suatu hal yang paling sulit.”
Monkey mengangguk.
“Anda juga yang sudah jujur meskipun sulit.”
Nona Henrietta yang wajahnya sudah lebih baik dari sebelumnya yang penuh keraguan, ia hendak kembali ke kamarnya untuk mengisi baterai ponselnya yang sudah menipis.
“Ah, saya masih hanya berpikir itu menakjubkan.”
“Soal apa?”
“Bukan apa – apa. Hanya saja kurang hati – hati. Padahal kami saling menelepon terlebih dahulu sebelum bertemu. Setidaknya kami kurang memperhatikan sekitar. Sampai nanti.”
Wanita itu pergi meninggalkan Monkey.
***
ns18.223.121.54da2