“Kurang lebih. Beberapa tahun yang lalu ayah membeli dari seorang seniman muda, Richard Selery. Katanya, pria itu nafasnya agak terengah – engah, matanya memiliki katup berlapis, kulitnya agak pucat. Terduduk dengan putus asa di pojokan gedung, tangannya masih bau cat dan ada bekas semen,” tangan pria berponi tanda koma itu meraba bagian kepala pada relief tersebut. ”Melihat beberapa karyanya, ayah langsung menawarinya beberapa pekerjaan. Saya tidak tahu siapa model wanita dibalik topeng itu, yang jelas Richard Selery menerima empat puluh ribu pounds tunai dari ayah setelah lukisan ini dan satunya selesai sekitar dua bulan. Ayah bilang dia adalah seniman berbakat.”
“Satunya lagi?”
“Benar, ada di kamar kosong di lantai tiga.”
Inspektur Duncan melongo sambil mengucap nominal tunai tersebut dengan tergagap.
“Baiklah, tapi siapakah si Richard ini?”
Edelyn mengangkat bahunya.
“Bukan siapa – siapa, mungkin? Tapi ayah bilang mereka bertemu secara kebetulan di Pusat Seni North Wall.”
Monkey lebih memerhatikan sudut – sudut lukisan itu, tangannya menekan – nekan.
“Sebuah karya bisa berarti keindahan bagi sudut pandang penikmatnya, Inspektur Duncan. Misalnya satu orang berpendapat brilian, satunya lagi berpendapat sebaliknya. Ada juga yang menilai pada tekniknya, ada pula yang menitikberatkan pada hal baru, revolusioner, benar.”
“Itulah alasan mengapa karya seni selalu menjadi bias bagi penikmatnya. Tidak heran sebuah masterpiece dilahirkan dari tangan siapapun, sekalipun gelandangan. Berbeda dengan sains yang lebih logis, sehingga tertuju pada orang tertentu.” Jelas Desdemona.
Tambah Edelyn dengan senyuman lebar. “Saya sangat setuju dengan penjelasan itu. Kurang lebih hampir sama dengan yang ayah ceritakan.”
“Oh saya mengira – mengira berapa kali ia mandi uang?” Inspektur Duncan menoleh ke arah Monkey. “Benar kan, Tuan Monkey?”
Monkey hanya tersenyum kecil. Kemudian tangannya meraba bagian topeng. Wajahnya menaruh kesan keberatan.
“Ada yang aneh, Tuan Monkey?” Tanya Steve.
“Tidak, tidak, tidak, tidak, ini luar biasa! Tapi saya melihat ketidakharmonisan antara—gaun yang indah ini—tentu anda tahu maksudnya, benar?”
“Entahlah, saya tidak menaruh pusing. Tapi saya mengerti dengan perasaan anda. Agak begitu tanggung juga kalau dipikir – pikir.”
“Nah, itu.”
“Anda akan sama bingung kalau lihat yang keduanya nanti.”
Monkey terdiam sejenak.
“Ah, saya pikir juga begitu.”
Terpaksa rasa penasarannya diurungkan, lebih dulu yang menjadi prioritas utama adalah empat lemari besar itu. Setelah meninggalkan lukisan indah itu, terlihat lemari besar pada pojok kiri atas. Perasaan – perasaan janggal timbul saat melihat perbedaan dari yang lainnya.
“Digembok? Lalu kenapa harus ada rantai?”
Inspektur Duncan menarik pintu tersebut dengan paksa. Gembok itu dipegangnya. Jenis gembok yang aneh lubang kuncinya, matanya dipicingkan pada lubang tersebut. Lemari itu agak bergetar dan menjatuhkan sepucuk kertas lusuh. Sayangnya pintu tak kunjung terbuka.
Mata setiap orang memperhatikan usaha keras Inspektur Duncan, sedangkan Monkey mengambil kertas tersebut.
“Saya rasa ini tidak mudah. Selama karir, ini baru pertama kalinya dilecehkan oleh gembok kuno!” Kepalanya menggeleng menyerah. Dipa
Monkey menepuk punggungnya perlahan, wajahnya mengatakan untuk bersabar.
“Lebih dari lukisan yang tadi anda semua lihat, bagi kami ini yang paling mencurigakan.” Nona Edelyn menekan kacamatanya, wajahnya agak serius.
“Benar. Dari awal ayah membeli lemari tersebut sudah seperti ini. Ayah tidak bilang apa – apa selain lemari kuno.”
Desdemona memperhatikan Monkey yang membuka selembar kertas.
“Apa yang anda temukan?”
“Disini tertulis…” Monkey melirik sesaat pada lemari itu. “Biarkan istirahat setelah berperang. Sang gagak dalam ketenangan. Semoga Morrigan memberkati kalian.”
Edelyn hanya mengangkat bahunya, sedangkan Inspektur Duncan dalam kebingungan.
“Mungkin maksudnya Dewi Morrigan? Baru – baru ini saya tertarik membaca buku tentang paganisme. Salah satunya saya menemukan Morrigan, Ratu besar.”
“Tapi saya rasa ada hubungannya dengan kesukaan ayah anda. Maksud saya—lihatlah berbagai motif tembok?”
Steve mengangguk pasti.
“Ah, bila dibilang dari sudut pandang itu, benar. Morrigan katanya diwujudkan dalam bentuk gagak atau dewi gagak.”
Setiap orang mengangguk paham tanpa terkecuali. Setidaknya satu fakta mengenai lemari itu sudah terjawab. Walaupun pada kenyataannya belum menjawab sekalipun menebak apa isi lemari tersebut.
“Baiklah, saya kira masalah itu nanti saja,” Desdemona membalikkan pandangannya menuju lemari terakhir, pojok kiri bawah. “Mari kita persingkat waktunya.”
Melewati lantai yang dipijak akan meninggalkan jejak, sedangkan kepalan harus mengawasi bila sarang laba – laba itu tertabrak. Lagipula ruangan itu seharusnya tempat paling akhir yang ingin dicari tahu, lalu menjadikannya tempat yang paling cepat ingin ditinggalkan.
Sampailah mereka pada lemari terakhir. Masih dengan perasaan sebalnya, Inspektur Duncan tak berlama – lama membuka lemari tersebut. Lagi – lagi isinya cukup mengejutkan. Sesuatu yang seharusnya Nona Edelyn dan Tuan Steve lakukan sebelum mencari tiap kerdus, sedangkan jumlahnya tidak karuan, seperti penonton dalam pertandingan bola basket.
“Saya pikir ini semua pakaian wanita?”
ns3.12.165.112da2