Tiba – tiba ibu membuka suaranya, “Sayang, kelak nanti, kalian ingin jadi apa?”
“Entahlah, bu. Tapi saat ini aku sangat senang sekali menggambar,” balas saudaraku dengan tenang yang tangannya masih memijat bahu ibu dengan mantapnya.
“Ah benar begitu? Ibu tidak sabar melihat karyamu di masa depan!” suaranya yang semangat, senyumnya ramah namun tak mengubah fakta ia masih memprihatinkan. Ibu menoleh ke saudaraku yang memijat kakinya, menunggu reaksinya.
“Giliranku ya, ah benar juga. Saat ini aku asyik sekali menulis cerita. Tangan – tanganku selalu usil apabila disandingkan dengan alat tulis.”
“Wah indahnya! Ibu tidak sabar menunggu kalian bekerja sama nanti!”
Ibu menungguku menjawab. Mulanya aku ingin bilang menjadi pendongeng yang hebat. Namun, aku kaget bahwa saudaraku mempunyai minat yang hampir sama denganku. Mereka membuatku iri, cita – citanya hebat. Tanganku masih melaksanakan tugasnya, sedangkan pikiranku yang tenggelam dalam lamunannya. Lalu aku berpikir tenang lagi, lagipula yang mereka impikan tidak mengubah keadaan ibu menjadi lebih baik.
Aku pun mulai mengingat – ingat buku yang terjatuh di perpustakaan, lipatan alisku mulai terlihat. Seperti kata buku – buku detektif yang pernah kubaca ‘sel abu – abu kecilku bekerja’ dengan masifnya, kali ini terpaksa harus berpikir keras. Dengan tenang sebuah warna hijau, agak usang mulai tergambarkan. Tulisannya agak besar, perlahan – lahan mulai tertulis jelas. Buku itu mungkin Herbal Antibiotics,sebuah buku tua dan agak tebal. Sejujurnya saja, aku sama sekali tak mengerti, bahkan judul tersebut sudah cukup membuatku berpaling membacanya. Satu hal yang kumengerti, ini bisa menjadi jawaban atas kondisi ibu sekarang. Meskipun agak mustahil, tapi kata ibu, tidak akan pernah berhasil kalau takut memulainya. Bahkan kegagalan sepele terasa seperti titik terakhir bagi mereka yang gagal.
“Aku ingin jadi dokter! Supaya ibu bisa sembuh!” tanpa pertimbangan, omong kosongku diucapkan.
Saudaraku kaget, mereka menoleh ke arahku diikuti ibu. Setelah diam sejenak, mereka mengolokku dengan maksud bercanda, atas otakku yang tidak dapat menjangkau hal itu. Dengan keras kepala aku menerangkan kepada mereka, wajahku merah padam. Namun pada akhirnya mereka terlihat lega atas apa yang kuimpikan.
Ibu mengusap kepalaku dengan lembut, tersenyum tipis.
“Hebat sekali, honey! itu sangat mulia!”
Pandangannya mengarah ke jendela, kaki langit malam yang ditujunya.
“Ibu akan selalu memperhatikanmu,” tambahnya dengan lembut, “Sampai saat itu, tolong lakukanlah dengan sabar dan ikhlas.”
Matanya yang berkunang – kunang, senyumannya terlihat sedih. Aku hanya terkesan dengan kata – kata ibu barusan. Hanya saja, saudaraku sama – sama memandang dengan ekspresi lelah tanpa harapan. Setelah itu, kami menghabiskan malam bersama, sedikit lebih lama. Berbagi sesuatu hal dengan obrolan – obrolan atau candaan – candaan bersamaaan dengan tangan kami tanpa lelah memijat. Hingga wanita itu terbenam, yang selalu mengusap perutnya dan seiring waktu semakin kupandangi dengan penuh kejutan, tambah besar. Matanya terpejam, lelahnya membungkam seutuhnya, seakan – akan sudah tak bertenaga. Ibu sudah tertidur, yang berarti tugas kami adalah mengikutinya.
Ditariklah selimut itu ke atas menutupi badan ibu, dengan langkah pelan, menuju pintu yang kami buka penuh perasaan. Agak jauh dari kamar ibu, kami berhenti sejenak.
“Ibu akan baik – baik saja, kan? tanyaku khawatir.
“Kita hanya bisa berharap.”
Dengan mata terpejam dan tenang, “Jangan bicara yang tidak – tidak! tentu saja akan baik – baik saja kok!” jelasnya dengan tegas dan penuh keyakinan.
Aku dan saudaraku satunya tersenyum ringan, sambil meyakinkan jawaban itu terulang – ulang di telinga kami. Aku menuruni tangga, bersama saudaraku yang bijak tadi. Kamar kami berada di lantai yang sama yang dipisah dengan tangga. Ia menuju kamarnya, aku berhenti sejenak. Saat hendak membuka pintu, ia mengusap matanya sebanyak dua kali, diiringi suara dengusan. Pikirku saat itu, “Apakah dia masuk angin?”
***
ns3.22.79.2da2