Paginya seperti biasa Rolling door itu dibuka, tentunya setelah mandi. Ia memulai tokonya dengan bersih – bersih, sementara Tuan Periwinkle menyiapkan sarapan.
“Anda seharusnya menggaji saya.” Kata Tuan Periwinkle penuh canda.
“Tidak hanya itu, bahkan saya memperkerjakan orang tua. Beberapa pasal mungkin cukup membuat saya mendiami penjara.”
Mereka kemudian sarapan di tempat yang sama, dekat mesin minuman.
“Saya selalu penasaran dengan ini,” kakek tua itu memegang badan vending machine itu.
“Masukkan koin, pencet nomornya dan selesai.”
Tuan Periwinkle yang pura – pura paham itu akhirnya memasukkan koinnya. Monkey membantunya.
Sebuah minuman terjatuh.
“Oh? Sesimpel itu? Kalau begitu terjawab sudah kalau anda memang tidak membutuhkan pegawai.”
“Setengah benar.”
Kemudian mereka menikmati sarapan. Tuan Periwinkle yang baru pertama kalinya menggunakan vending machine itu mengambil teh apel. Sementara Monkey tidak pernah berpaling dari rutinitas tisanenya.
Dua jam kemudian sinar matahari mulai bersinar cukup terang. Beberapa orang terlihat sedang berjalan, bahkan pemilik – pemilik toko telah memulai harinya.
“Anda yakin ingin membantu? Tentu saja saya membayar pekerja harian.”
“Hey jangan mengatakan hal yang menyedihkan begitu. Justru seiring bertambahnya umur, saya tidak suka hanya diam. Lagipula pensiunan pelayan tidak begitu buruk kalau hanya membuat kue.” Kata pria tua itu agak kecewa.
“Well, kalau anda tidak keberatan.”
Tiga orang wanita muda mengantri. Saat ini Monkey mencatat pesanan mereka. Pria itu sebenarnya cukup kuwalahan bila sendirian. Dengan bantuan Tuan Periwinkle seperti mengaduk adonan, mencuci peralatan dan hal – hal kecil lainnya, hal itu tentunya menjadi lebih cepat. Tentunya lebih cepat dua puluh menit dari yang ia biasanya sendiri lakukan. Pria tua itu senyum – senyum sendiri melihat pria yang lebih muda darinya melayani pembelinya.
Monkey pun kembali setelah pesanan tiga wanita yang mengantri tadi selesai.
“Ada apa, Tuan Periwinkle?”
“Saya bisa mengerti kalau pada akhirnya anda akan ditusuk oleh kecemburuan.”
“Hey itu mengerikan , Tuan Periwinkle.”
Kemudian ia berbisik, sambil melirik ke kanan dan kiri.
“Saya bisa merasakan api cemburu dari nona berdada besar kemarin.”
“Nona Flemming? Well, ia memang terlalu melodramatis.”
“Huh? Itu adalah kata – kata pria yang pada akhirnya seperti saya ini.”
Monkey menghela nafas.
“Hey ayolah, jangan masukkan saya ke dalam masa lalu anda.”
Setelah mereka bercanda dan saling bercanda, sebuah mobil jepang hitam pun berhenti. Nona Flemming dan Egremont datang memasuki toko itu.
“Aku tahu Cake memang begitu, Tuan Periwinkle. Orang yang memanfaatkan orang lain.” Ejeknya.
“Jadi ini maksudnya bukan hal yang besar?” Nona Egremong memencet – mencet bel dekat elalase kue.
Tuan Periwinkle hanya tersenyum kecil.
“Bisa saya catat pesanan anda sekalian?” Monkey yang siap dengan pulpennya namun tidak dengan ekspresi wajahnya. Untungnya mereka tidak berbuat usil lebih jauh dan langsung duduk. Beberapa saat kemudian pancake madu yang dipesannya selesai. Nona Egremont memasukkan koinnya untuk mengambil susu. Kemudian mereka berdua duduk di tengah.
Seseorang kemudian datang lagi, namun bukan muda – mudi.
“Selamat datang.”
“Oh, akhirnya anda buka lagi?” Katanya dengan wajah datar.
“Ada sesuatu yang harus saya selesaikan, begitulah.” Kata Monkey sambil tersenyum.
Tangan kiri wanita tua itu menyerahkan uangnya.
“Teh hitam satu teko,” tambahnya. “Anda punya rekomendasi lain?”
Monkey memberikan rekomendasi. Namun nenek tua itu berpikir sesaat, lalu mengangguk yakin. Ia kemudian duduk di pinggir berlawanan arah dengan mesin minuman sambil memandang depan. Teh hitam yang dipesannya kemudian diantarkan.
Monkey yang masih sibuk membersihkan, Tuan Periwinkle mengambil inisiasi untuk mengantarkan kue tersebut.
“Mohon maaf saya agak terlambat, Madame.”
Makanan itu ditaruh tepat di mejanya.
“Terima kasih,” katanya yang masih memandang luar dengan tatapan kosong.
“Eh, maaf saya kira anda….”
Ia akhirnya menoleh sedikit.
“Tidak masalah, anda bisa…”
Mereka saling menatap dan membeku. Terutama Tuan Periwinkle yang matanya semakin lama semakin berkaca – kaca. Begitu tua nenek itu, mulutnya yang menganga tidak bisa berkata – kata.
“Oh tuhan… Wilyn!”
“Nona Avery!”
Mereka pun berpelukan dengan erat seperti cairan lilin yang begitu menetes lalu memadat. Air mata rindu jatuh pada momentum yang tepat, wajahnya yang datar kini mulai terukir kebahagiaan yang murni. Bahkan itu disadari oleh Tuan Periwinkle yang masih saja dengan erat enggan melepas pelukannya.
Nona Flemming dan Nona Egremont bingung.
Guman Monkey yang memandang dari kejauhan dengan kelegaan maksimal. “Akhirnya lempar batu, kena tiga burung.”
Monkey mengambil buku catatan hitamnya dengan pulpennya.
“Wanita tua suka pahit? Tidak, tidak.” tambahnya sambil mencoret dengan pulpennya. “Tidak bahkan bagi yang kidal sekalipun. Hm…”
-END-
ns18.223.121.54da2