Wajahku tersenyum jahat, aku terpikirkan cara yang tepat untuk menyelesaikan dengan si cerdik sialan ini. Sebenarnya aku sudah menduga siapa dan apa alasannya bersembunyi di sini. Termasuk kelemahannya, tentunya kecerdikan dilawan dengan kecerdikan.
Kuraba – raba bagian selimut yang permukaannya aneh itu sambil mengeluarkan suara – suara hantu. Awalnya tak ada reaksi yang sempat menghentikanku, kupikir aku melakukan kepandiran. Perlahan – lahan gerakan panik menjauhi tangan usilku, seperti ada suara jeritan yang ditahan, keras kepala juga, pikirku. Kujatuhkan diriku seakan – akan yang melakukan ini hantu sungguhan.
Sesuatu keluar dari dalam selimut, terjatuh ringan dari kasurnya, dan menjerit agak lama. Cukup terdengar untuk memanggil Bibi Kath yang kemudian menarik telingaku atas tuduhannya menakut – nakuti. Setelah kujelaskan, barulah semuanya selesai dengan rukun. Benar – benar Si Kera, sampai akhir permainan ia masih cerdik. Lalu semua kamar kumasuki kecuali pintu tua yang bertuliskan gudang dan terkunci. Tak ada tanda – tanda mencurigakan, diikuti dua orang yang berhasil kutemukan. Mereka hanya mengikutiku, tidak boleh membantu, itulah peraturannya. Di lantai berikutnya pun tak kutemukan seorang. Permainan masih berlanjut, namun pencarianku sudah tak kulanjutkan, memeriksa yang Keledai lakukan.
Dari atas kami memandangi, Si Keledai masih mencari saudaraku yang satunya itu, menuju ke pekarangan. Ditemani oleh Si Babi yang berhasil ditemukan, kami hanya ketawa – ketawa saja di atas. Dengan jelas terlihat saudaraku itu sama sekali tak bersembunyi. Menggunakan sepatu boot, mantel coklat yang agak kebesaran, menutupinya dengan koran seakan – akan dikira membacanya, dan tubuhnya yang bersandar dengan santainya di sofa. Penyamaran yang bagus, kecuali siapapun melihatnya dari atas pasti ketahuan. Persis sekali seperti beberapa tamu yang sedang berkunjung di rumah. Saudaraku yang satunya itu memang tak bisa dipredeksi. Sederetan cara selalu tak terpikirkan oleh kami, pasti dilakukannya terlebih dahulu.
Tak tega rasanya melihat mereka, segera menuruni tangga, memanggil mereka agak keras. Hendak melakukan itu, terlihat Si Babi merusak aturan mainnya. Pasti yang dilakukannya di dalam tadi juga sama. Hanya saja bodoh sekali, meskipun sudah begitu tetap tak bisa menemukan saudaraku itu. Kupanggilah mereka dan nasehatku sedikit lama. Lalu kami melanjutkan hingga hari agak larut.
Tanpa Bibi yang mengomel, kami sepakat untuk langsung membersihkan diri, berganti pakaian, lalu menuju ke ruang makan. Kamar mandi kami cukup luas namun terpisah, berbilik – bilik seperti di hotel. Milik Ayah dan Ibu di lantai paling atas, lebih luas dan cukup memanjakan untuk satu atau dua orang. Aku berpapasan dengan saudaraku, dan mereka para hewan, Si Babi, Si Keledai, dan Si Kera.
Biasanya aku memakai bilik yang paling pojok. Kubuka pintunya, langsung shower kunyalakan. Terlihat air yang berjatuhan, membasuh seluruh rambut dan tubuhku, tiba – tiba aku teringat ibu. Agaknya menyesal menengoknya sesekali sebelum mandi, asyiknya bermain sampai terlupakan olehku. ‘Pencet botol yang wangi, tangan menengadah, tambahkan sedikit tangisan shower. Setelahnya tangan menggesek, dengan busa yang banyak, menjangkau seluruh anggota tubuh.’ kuperagakan apa yang diajarkan kepada ibu saat masih bandel dulu. Rindu memang kadang datang di saat – saat tak menentu, hingga ke tempat – tempat yang tak terpikirkan sekalipun. Tanpa berlama – lama, menyisakan sedikit waktu sebelum makan malam, setelah selesai yang katanya Bibi ‘membersihkan tubuh’, dipikiranku adalah menaiki tangga dulu. Agak cepat dengan penuh kehati – hatian, larilah aku ke koridor, menuju kamarnya. Di depan, terlihat pintu agak terbuka sedikit. Kudekatkan wajahku, bola mataku bergerak – gerak panik. Terlihat induk hewan itu berjalan ke arah pintu, matanya tidak memancarkan kebaikan. Hal itu memperparah rasa curigaku.
Dibukanya pintu tersebut, aku bergegas menghindar dan menaruh sikap agar mendapati kesan ‘mengunjungi’ bukan ‘mengintip’. Pintu dibukanya, badannya langsung dicondongkan ke arahku, ia menghadap ke bawah dengan tatapan tanpa belas kasihan. Lalu tangan kanan wanita itu menyeka kaca matanya, dengan cepat kerutan – kerutan di sekitar dahinya hilang. Setelah itu berjalan melewatiku tanpa sapa sedikit pun. Lalu aku pun masuk.
ns3.22.79.2da2