“Persis! Tanpa perlu skrip yang terlalu panjang. Ini hanya masalah teknik yang anda bilang sangat beresiko.”
“Sungguh menggelikan. Semakin banyak resiko, semakin banyak uang, kan?”
“Dan menjadi terkenal. Pamor adalah poinnya Nona Flemming. Jangan lupakan itu.”
“Ya, ya, dua wajah, dua personal dan dua suara. Sungguh menggelikan.”
Cake masih berkeliling di sekitar, roman wajahnya masih belum puas. Ia sangat ingin sekali melihat sesuatu yang berbeda.
Lalu lewatlah seseorang yang berjas di hadapannya.
“Mohon maaf, Tuan. Dimanakah saya dapat melihat suatu karya besar, namun dari—yang kurang terkenal?”
Pria itu diam sejenak, kepalanya sesekali menoleh ke arah belakang.
“Seharusnya ada, Tuan. Tapi sayang sekali, orang tersebut sudah meninggal bertahun – tahun yang lalu. Sayangnya keluarga alrmarhum entah mengapa membenci kami dan melarang mempublisitas karyanya.”
Cake mengangguk paham.
“Karyanya adalah Impurity Waterfall. Sebuah patung tiga dimensi, seorang wanita mandi di air terjun dengan membelakangi audien. Jika saya manajer pada saat itu, pasti orang tersebut sudah kaya raya.”
“Saya kira orang tersebut terkena permainan?”
Bisik pria berjas itu, matanya melirik kesana kemari, “Benar.”
“Saya permisi, tuan.”
“Merci.”
Cake sedikit kecewa dengan hal tersebut. Fakta bahwa seni tersebut tidak dapat dilihatnya juga nasib seniman yang sangat tidak beruntung itu. Namun pikirannya tak terlalu sedih, beberapa karya yang dilihatnya tadi sudah cukup membangun minatnya.
Setelah dipuaskan dari beberapa tontonan di gedung itu, Nona Flemming sangat ingin ditemani rekannya itu menuju ke Kebun Botani Oxford. Pria itu melihat arlojinya, kepalanya mengangguk pelan. Tanpa berani menolak, dipanggilnya taksi melalui ponselnya, dan berangkat ke tujuan.
Di sana mereka hanya duduk – duduk di sekitaran taman, memandang yang hijau – hijau. Melakukan obrolan kecil, ditemani botol bertuliskan Teh Oolongyang digenggam pria itu, sedangkan kaleng soda jeruk adalah pilihan rekannya.
“Saya harap nanti berjalan dengan lancar, Nona Flemming.” kata pria itu seraya memandang kaki langit sejuk agak mendung.
“Saya harap juga begitu.”
Pria itu tiba – tiba membungkuk, kepalanya disanggahkan pada kedua tangannya yang saling menggenggam.
“Ada dua hal, Nona Flemming.”
“Dua hal?”
“Satu,” Sambil menghela nafas, matanya terpejam, “Hal yang paling menyulitkan nantinya adalah bukti.”
“Meskipun nanti kau mengetahui pelakunya?”
“Bahkan sekarang pun saya seribu persen yakin pada orang tersebut.”
Wanita itu terperanjat. Tanpa menunda, tubuhnya dicondongkan kepada pria yang berada di tengah kesangsiannya. Ia hendak mengangkat mulutnya namun sudah dipotong lebih dulu.
Ucap detektif itu dengan memohon, “Tolong jangan paksa saya untuk mengisi keingintahuan anda. Ada banyak hal yang masih perlu diketahui.”
Wanita itu mengangguk setuju. Hanya saja roman wajahnya menyiratkan kebingungan.
“Dan yang kedua?”
“Anda.”
“Maksudmu?”
“Tidaklah sulit membungkam polisi ataupun detektif, apalagi kita maju ke sarangnya. Lagipula saya menduga motifnya tidak bisa diperkirakan.”
Tiba – tiba kesunyian sekejap diikuti wajah penuh kesangsian dari keduanya. Hembusan angin pun tidak hanya dirasakan oleh kulit, telingapun mendengarnya dengan baik. Setelah beberapa menit menikmati kesunyian, pria itu mengangkat matanya, tubuhnya bangkit.
“Begini – begini saya mewarisi kecerdikan Zhuge Liang,” tambahnya dengan penuh percaya diri. “Mungkin pelaku masih berjalan separuhnya dari lingkaran penuh, dan saya? Saya yang membuka kedoknya pada sudut seratus delapan puluh derajat mendahuluinya.”
Mendengar ucapan yang penuh percaya diri dan sedikit arogan, menenggelamkan kekhawatirannya. Lalu dengan gemas ia mencubit pinggang pria yang tengah berada di atas kepercayaan dirinya. Pria itu merintih, wajahnya kehilangan wibawanya sekejap. Tawa kecil dari wanita yang tengah menggodanya.
Gumamnya dengan memelas, “Anda hobi main fisik ya?”
ns3.22.79.2da2