Mereka berjalan berbalik lagi arah menuju dapur. Tepat sebelum ruang makan, mereka berbelok pada sebuah pintu. Saat gagangnya diangkat, itu tidak seperti yang diharapkan. Monkey terlihat agak putus asa.
“Anda mau masuk ke sini?”
Ia mengangguk.
Wanita itu merogoh saku baju pelayannya. Sesuatu yang dikeluarkan itu membuat wajah Monkey tampak lebih baik.
“Tat—taraa!” Ia keceplosan.
“Sstttsss!”
“Sssstss!” Wanita itu mengikuti Monkey.
Saat pintu itu dibuka suasana semakin terasa berat. Normalnya, ruangan itu cukup menyeramkan di jam – jam setelah makan malam, apalagi tengah malam. Ditambah lampu – lampu di korridor yang mati. Ruangan itu menjadi lebih pekat gelapnya. Monkey mengangkat langkahnya masuk ke ruangan itu, namun wanita di belakangnya tubuhnya agak merinding.
“Ki—kita akan masuk?” Nona Dana yang terpekik ketakutan.
“Ini tidak akan lama.”
Melewati tempat yang sesak dan agak berdebu. Mereka berjalan sampai pada rak buku yang saling berhadapan. Tiba – tiba suara seperti dobrakan kecil mengagetkan wanita itu.
“Ada apa?”
Tunjuk Nona Dana pada lemari yang dikunci dengan gembok rapat, wajahnya ngeri.
“Saya tadi melempar sesuatu.”
“Eh? Benarkah?”
“Karena anda fokus pada cahaya, saat itu tangan kiri saya melempar sesuatu.”
Ia tidak punya pilihan lain selain percaya pada Monkey. Lalu mereka tiba. Monkey menyuruh wanita itu memegang lampu senter ponselnya. Monkey menarik meja lalu menaikinya.
“Anda akan belajar banyak setelah ini.” Kata Monkey.
Wanita itu memandang apa yang hendak dilakukan Monkey. Kini ketakutannya terhadap ruangan gelap berkurang setengahnya. Sisanya ia tertarik dan dipenuhi penasaran.
Monkey mengangkat benda tersebut, lalu digantinya dengan benda yang diambil dari sakunya. Secara mengagetkan sesuatu terbuka.
Wanita itu terkejut. Monkey menaruh telunjuk pada mulutnya mengisyaratkan untuk diam. Ia kemudian menggunakan bahasa isyarat. Monkey pun masuk, sementara wanita itu menunggu dan mulai dipenuhi ketakutan. Suara – suara dobrakan kecil berasal dari lemari yang tergembok rapat mulai terdengar. Semakin lama semakin interval dobrakan itu kecil.
Yang dirasakannya adalah udara bertambah berat. Dinginnya ruangan bahkan tidak dipengaruhi oleh angin. Nona Dana menyipitkan matanya untuk membatasi pandangannya. Sambil bergumam hal lain. Tubuhnya semakin lama bergetar ketakutan. Pandangannya membeku terhadap sumber suara.
Sesuatu memegang pundaknya, ia pun kaget.
“Anda baik – baik saja?”
“Tu—tuan Monkey? Ia menghembuskan nafasnya dengan lega.
Monkey pun segera mengembalikan kondisinya seperti semua. Ia mengambil alih senter tersebut dan menggenggam wanita yang masih ketakutan.
Sampai di luar, degup jantungnya sudah lebih baik. Kesekian kalinya ia menghirup udara dalam – dalam dan mengeluarkannya perlahan – lahan. Kemudian ruangan itu di kunci lagi.
“Ta—tadi a—ada suara! Se—semakin lama, se—makin cepat!” Nadanya agak terputus – putus.
“Saya mengerti wanita memang takut dengan tikus.” Ia menepuk – nepuk ringan punggung wanita itu.
“Ti—tikus? Bagaimana anda seyakin itu?”
“Saya sempat melihat beberapa hari yang lalu. Bagian bawah lemari itu ada lubang kecil.” Kata Monkey dengan ramah sambil membersihkan debu – debu pakaiannya.
“Eh?”
“Di lorong tadi saya membiarkan satu tikus kecil kabur, maaf.” Monkey tertawa kecil.
Mendengar hal itu ia tidak begitu ketakutan lagi. Lalu Monkey mengantarnya kembali ke kamarnya. Namun sesaat sebelumnya ia sempat memandangi pintu ruangan tadi dengan sangat tajam.
Setelah itu Monkey berniat untuk merenung, duduk – duduk di teras memandang bunga – bunga di bawah rembulan boleh jadi mencairkan beberapa hal yang membeku dalam akalnya. Terutama satu hal yang paling sulit ia pastikan.
Melewati perpustakaan kecil, lalu membuka pintu belakang. Di teras ia melihat seseorang yang memandang taman bunga dengan penuh kecurigaan.
“Tuan Keith? Belum tidur?”
ns3.22.79.2da2