Monkey yang terbawa dengan emosinya, ia bergerak dengan kecepatan yang tidak terduga. Kedua tanganyan mengeluarkan otot – otot, mengangkat kerah baju pria itu dengan kasar dan kuat.
“Anda telah menjadi pembunuh berantai, Tuan Steve! Lebih buruk dari apapun, anda telah menjadi monster itu sendiri.”
Tak selang beberapa lama, pria itu memandang putus asa. Wajahnya sama sekali kosong, pandangan matanya tidak menunjukan motif aapun Monkey seolah – olah mengerti maksud dari tatapannya itu. Dengan sadar ia menurunkannya.
Pria itu memejamkan matanya sambil tersenyum damai. Ia berbalik arah dan berjalan menuju tempat duduknya. Semua orang memandangnya kasihan. Daripada memandangnya seorang pembunuh, mereka berpikir dengan terbuka. Mungkin saja ada alasan kuat hingga ia melakukan hal itu.
“Steve… kenapa kau melakukan itu?” tanya Nona Lilia yang matanya telah berkaca – kaca, “Seharusnya ada hal yang sebaiknya tidak seperti ini.”
Pria itu duduk.
“Semua itu untuk kebaikan, Lilia. Orang mempunyai sudut pandang sendiri – sendiri dalam menginterpretasikan perhatiannya,” tambahnya. “Ngomong – ngomong saya masih tidak mengerti mengapa Nona Desdemona bisa keracunan?”
Nyonya Lorraine lebih terkejut mendengar itu daripada beberapa orang di tempat.
“Benar, karena memang itu tidak terjadi.”
Monkey berjalan ke samping, ia meraih topi Nona Chrome.
Wajah yang tampak familiar, rambutnya red velvet yang dikuncir serapi mungkin dibuat sangat pendek. Daripada terkejut mereka lebih merasa lega. Terutama pelaku itu yang wajahnya terlihat agak berkaca – kaca.
Desdemona berdiri.
“Maaf saya membuat anda semua cemas. Mari saya perkenalkan lagi. Mordre—bukan. Saya Rachel Flemming, ahli forensik yang tidak terikat. Namun saat ini saya berada pada tim koroner dan pathologi kepolisian Oxford. Saya yakin Tuan Monkey punya penjelasannya sendiri.” Ia pun duduk kembali.
Monkey pun melepas janggut putihnya.
“Semua sandiwara ini telah saya rencakan di awal. Nama saya tidak ada yang aneh dan tetap sama. Namun saya masih punya satu pertanyaan lagi, Tuan Steve. Bagaimana anda melakukannya pada Nyonya Roslyn?”
“Kau juga pelakunya?” Tanya Lorraine spontan.
Ia hanya mengangguk.
“Wanita itu luarnya muda tapi dalamnya sudah rapuh. Meskipun pada akhirnya saya menyesal. Padanya, begitu pula pada Tuan Morgens.” Katanya sambil memandang bawah.
“Karena anda salah paham.”
“Well, saya baru mengerti ketika merampas beberapa kertas dari loker pria itu. Termasuk foto yang saya berikan kepada anda. Lagipula ia sampai akhir tidak pernah jujur pada saya.”
Setelah beberapa saat pria itu berdiri lagi. Ia memanggil salah satu pembantu muda itu. Nona Dana menoleh sesaat ke arah Monkey, ia agak ketakutan. Namun pria itu mengangguk, kemudian ia berjalan dengan pelan menuju pria lain yang memanggilnya.
“Kuharap cita – citamu tercapai.” Pria itu tersenyum sambil menyerahkan sebuah kunci. Nona Dana menerima dengan kedua tangannya, matanya memandang kebingungan. Ia pun langsung kembali.
“Yang terakhir. Bagaimana anda bisa tahu tentang kue itu ditukar?”
“Pertanyaan yang bagus. Saya sebenarnya tidak tahu, namun saya menduga. Kasus kriminal perlu detil yang kuat. Lagipula di lemari Nona Edelyn saya mencium bau yang familiar. Sifat Nona Edelyn adalah salah satu wanita yang tidak terlalu ribet. Sebuah gaun mawar dengan wangi melati,” tambahnya. “Atau mantel coklat tua beraroma kopi. Sayangnya saya tak menemukan janggut palsu itu. Setidaknya anda perlu mengawasi sekitar.”
Steve memandang wajah Monkey dengan cermat. Ia terdiam ditemani seribu perkiraan dan pikiran. Kemudian ia tersenyum puas saat baru saja menyadari sesuatu.
“Ah, anda kenal dengan wanita tua itu? Pantas saja.”
“Saya selalu menaruh hormat pada semua orang di sekitar, Tuan Steve.”
Pria berambut tanda koma itu mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
“Kue itu cukup lembut, teksturnya seperti meregenerasi kembali saat jarum ini melaksanakan tugasnya. Saya menyesal tidak menikmatinya dengan cara yang benar,” tambahnya yang hendak mengayunkan jarum itu. “Anda tahu, kan? Mata dibalas mata…”
Waktu adalah penguasa yang tidak bisa diajak negosiasi. Ketika persiapan itu dipikirkan, maka beberapa hal yang di luar perkiraan juga terbawa oleh waktu. Sepersekian mikron detik, Monkey baru mencerna maksudnya. Matanya yang buas dipenuhi kekhawatiran dan firasat tidak enak, memperhatikan ayunan tangan pria itu yang mengarah pada leher kirinya.
Suasana seakan – akan seperti tim penjinak bom. Dimana bom tesebut bisa meledak kapanpun dengan cara apapun. Masalahnya saat itu akan meledak, akan terlihat deretan informasi waktu yang dihitung mundur. Yang tentu saja meninggalkan perasaan penuh kekhawatiran dan kejutan, tentunya dalam sisi negatif.
Sama seperti pelaku. Dengan ciri – ciri tatapannya yang Monkey sendiri sudah sadar sejak awal. Bahkan beberapa alasan yang mengungkapkan penyesalannya. Memanfaatkan waktu sepersekian detik itu untuk berpikir dan bergerak. Kini kedua otaknya saling bersinergi untuk mencegah pria itu menghukum dirinya sendiri. Bertindak dari awal hingga akhir, seperti cerita dalam novelnya. Dengan wajah puas dan ikhlas, jarum itu kini telah mendekat sepersekian centimeter mendekati kulit epidermisnya.
Bagaimanapun juga…
Pada akhirnya situasi menjadi hening.
Beberapa orang menaruh sedih, bahkan Nona Lilia yang hendak melakukan hal yang sama seperti Monkey dihalangi oleh kedua tangan Bibi Kathryn yang menahannya kuat. Suasana seakan – akan berada pada alur pria itu, tepatnya sama seperti novel yang ia buat. Menempatkan pelaku seakan – akan seorang pahlawan.
Monkey yang tidak bisa mengontrol gerakannya berhasil membuat pria itu terjatuh. Namun jarum itu telah melaksanakan tugasnya dengan mengantarkan cairan – cairan itu, menaruh bom aktif dalam diri pria itu. Isinya telah kosong. Tak membutuhkan waktu yang lama, pria itu menggunakan sisa terakhir tenaganya. Mulut – mulutnya berusaha terangkat.
“Ia berhasil menangkap beberapa komplotan pembunuhan. Lady Evest beristirahat dengan tenang. Novel ke tiga belas…”
Monkey menahannya lalu mencabut isi jarum itu yang tinggal wadahnya. Monkey dengan panik menyuruh tim medis. Situasi sangat kacau.
Nafasnya terengah – engah. Kemudian tersenyum dengan damai.
Hingga ia mengucapkan sekali lagi, kata – kata yang pelan seperti bisikan. Hanya terdengar oleh Monkey yang sedang memegangi tubuhnya diambang sekarat.
“Wise plot.”
***
ns3.22.79.2da2