Ketika sampai pada seperempat halaman, orang yang dikenalnya membersihkan bagian teras.
“Ah, Tuan Monkey!” Katanya agak semringah.
“Nona Dana. Saya kira setelahnya anda menuju bagian dalam.”
Wanita itu menggeleng, sambil membersihkan jendela – jendela.
“Anda suka membaca novel?”
Monkey mengangkat bahunya.
“Entahlah, ini baru yang pertama. Tapi anda benar pada kata ‘membaca’ itu.”
“Oh, seringkah? Apa yang anda suka?”
“Kadang kalau mengisi waktu luang. Misalnya essay dari Nona Sontag, melawan interpretasi. Daripada fiksi, kritik lebih seru.”
Wanita itu kemudian membersihkan mejanya.
“Benarkah? Saya tidak terlalu memahami bahasa yang terlalu tinggi. Lagipula pendidikan membutuhkan biaya yang cukup banyak.”
“Dan waktu.” Tambah Monkey yang masih berurusan dengan bukunya.
Wanita itu mengangguk.
Lembar itu dibalikkan kesekian kalinya.
“Saya bisa mengajukan pertanyaan yang sama.”
Ia berhenti lalu menoleh pada Monkey.
“Saya? Dulunya sih tidak,” ia meraih bagian bawah. “Permisi.”
Monkey berdiri sesaat dan berjalan agak minggir.
“Saya baru menyadari sekarang kalau dulu saya aneh. Hanya berpikir untuk bekerja dan yang penting dapat makanan. Selama itu saya tidak pernah memikirkan hal lain. Contohnya buku.”
“Karena tidak bisa dimakan?”
Wanita itu tertawa kecil.
“Agak aneh, kan?”
Monkey masih membalik halaman lagi, namun perhatiannya dialihkan sesaat.
“Tidak aneh menurut saya.”
“Tidak?”
Monkey kembali duduk pada tempatnya, wanita itu menggeret timba dengan alat pelnya. Ia berniat membersihkan lantai – lantai sekitar.
“Katakanlah hidup adalah perjalanan. Perjalanan itu tidaklah singkat. Manusia secara primitif kebutuhannya memang makan, setelah itu baru pakaian. Kemudian ilmu pengetahuan berkembang. Lambat laun berbagai hiburan hingga benda tersier diciptakan. Saat itulah mereka mulai menambah objektif mereka. Tapi justru itu bagus untuk anda, terutama masih muda.”
“Oh, itu bagus?”
“Saat mulai mengenal, berarti anda menginjak hal baru. Tapi ketika mulai tertarik dan mengusahakan, maka anda telah berproses menjadi manusia yang berkembang. Setidaknya itu yang saya percaya. Ngomong – ngomong anda suka novel?”
“Saat ini saya menganggapnya menakjubkan.”
Monkey memandang hal lain.
“Karena itu fiksi?”
Wanita itu bingung.
“Fiksi?”
“Itu berarti cerita tidak nyata.”
“O—oh…” tambahnya agak malu. “Saya kira itu nama buku.”
Setelah itu alat pelnya dikembalikan pada timba plastik. Lalu ia mengambil kain lap untuk membersihkan pagar – pagar kecil teras.
“Tuan Steve meminjamkan buku novelnya pada saya. Dia berbicara—banyak, tapi saya mulai dari miliknya. Anu—saya selalu merasa tertarik pada hal yang kurang penting. Bila membaca buku milik penulisnya langsung lebih terasa istimewa, entah— bagai—mana menggambarkannya. Itu sedikit—agak aneh.”
“Itu lumrah. Sudah berapa buku miliknya yang anda baca?”
“Semuanya. Dia merekomendasikan buku misteri yang lain, tapi saya selalu tidak punya waktu. Lalu saya putuskan saja untuk menunggu yang ke tiga belas, yang terakhir. Cukup disayangkan, padahal saya ingin jadi salah satunya.”
Monkey menoleh padanya.
“Novelis?””
“Penulis.” Balas wanita itu dengan yakin.
“Sama saja.”
“Ma—maaf.”
“Santai saja, tak masalah.”
Wanita itu kini telah menyelesaikan pekerjaannya di sekitar Monkey bersantai.
“Kalau begitu saya permisi.”
Saat ia hendak pergi, Monkey menyela.
“Tunggu, Nona Dana.”
“Ya?”
“Mari kita bicara lagi lain waktu.”
“Tentu.” Balasnya mengangguk lalu pergi.
Kini Monkey kembali berdamai pada tiga buku yang dipinjanya. Akhirnya ia punya cara santai selain tidur, ditambah tangan bunga yang kadang baunya tertiup angin. Sejak beberapa menit teman obrolnya pergi, ia sudah mencapai halaman yang cukup jauh.
Ia sedikit terpikirkan sekali lagi kata – kata fiksi. Kemudian akalnya menangkap suatu hal yang membuatnya sedikit tertarik. Ia kemudian tertawa kecil ketika suatu hal yang dipikirkan menjadi agak lucu. Bahkan boleh jadi setiap lembaran yang dibaliknya, ia lumayan menertawakan bagaimana sebuah petunjuk dalam buku novel fiksi bisa secepat itu terjadi. Saat dipertemukan kasusnya pun, ia sudah berani mengambil kesimpulan sendiri. Instingnya yang sudah beberapa tahun menjadi anjing kepolisian menurutnya lebih kompeten dibandingkan alur fiktif yang memuakkan.
Tidak sadar sudah hampir dua jam lebih saat ia melihat arlojinya. Halaman pada novel itu kini sudah semakin diujung. Lembar demi lembar dibaliknya lagi, alisnya semakin berkerut, matanya sama sekali tidak berkedip. Pada akhirnya ia agak kecewa saat dugaannya salah. Salah satu yang baru dibacanya, Bitter Migdale of Sweet, ditumpuk pada kedua buku lainnya.
“Well, pengalaman tidak bisa mengalahkan logika fiksi, huh? Menggelikan. Setidaknya itu mustahil.” Gumamnya agak sebal.
Setelah itu tibalah seseorang wanita agak bengong berdiri memandang bunga. Wanita yang rambutnya hampir sebahu, gaya bob retro, yang dari awal seperti membawa ke era 20 an. Senyumannya yang kemarin hangat, kini wajahnya didominasi kecemberutan.
“Nona Henreitta?” Kata Monkey memanggil.
ns52.15.220.116da2