Wanita itu menghelas nafas, kemudian menggeleng. Langkahnya menuju yang dimaksudkan, diambillah dari tempatnya yang tidak kelihatan. Monkey yang cepat – cepat berinisiasi membantunya, tapi sudah ditariknya sendirian.
“Ini lukisan anda?”
“Benar, Nona Desdemona. Saya tidak tahu bahwa itu pertama kalinya, tapi saya bukan orang yang suka memajang diri.”
Inspektur Duncan menaruh perhatian, sedangkan Monkey tangannya meraba – raba lukisan tersebut.
Angguknya, “Ini hampir sama.”
“Dari yang di gudang?”
“Nah, Inspektur Duncan, ini bagian menariknya.” Kemudian menoleh ke setiap orang. “Ini sama, namun tidak persis.”
“Anda jangan bercanda, meskipun yang tadi dengan topeng saya tahu kalau modelnya jelas berbeda.”
Monkey memandang kembali Inspektur Duncan dengan agak menyedihkan. Sekali lagi lagaknya menjadi sok ketika pikirannya menemui jawaban, sementara kepalanya digelengkan bermakna merendahkan.
“Oh, Inspektur Duncan yang bijak, bahkan anak kecil pun tahu kalau gaya rambutnya saja sudah berbeda. Saya menuju pada penilaian teknik, kesamaan, dan ide, benar, ini sama. Tapi membuatnya sehalus pendahulunya, saya kira itu tidak mungkin.”
“Anda membicarakan, Richard Selery? Mungkin saja keturunan? Ah benar! Anaknya!”
Monkey mengangguk tiga kali dengan cukup puas.
“Mungkin, mungkin. Saya lebih suka menyebutnya kerabat. Madame Antoinette?”
Ia masih memegangi lukisan tersebut.
“Trisa Selery. Seperti yang Tuan Monkey bilang.”
Desdemona meminta alamat dari seniman tersebut. Madame Antoinette menuliskan pada sepucuk kertas yang telah dimasukkan Monkey pada jasnya.
Inspektur Duncan akhirnya berdamai dengan pinggangnya, dijatuhkanlah tubuhnya dengan penuh kedamaian pada sofa sebelah rekannya.
Merasa informasi tersebut sudah cukup, lukisan itu ditaruh lagi pada tempat yang diinginkan wanita itu. Selanjutnya Monkey membenamkan diri sesaat, menikmati teh dan cemilan, sementara majikannya mengobrol ringan. Sebenarnya ada hal lain yang menjadi titik perhatian selain gambar tadi. Bisa dikatakan berada di tempat tersebut, tapi sebenarnya juga bukan.
“Anda betah kerja di sini?”
Nyonya Dornicle mengangguk dengan senyuman ramah.
“Sa—saya pikir o—orang di sini cukup ra—ramah. Saya memang pe—penyendiri dari awal. Sa—saya merasa co—cok.”
Desdemona mengangguk, senyumnya agak dipaksakan. Diliriknya Monkey yang dari tadi melakukan hal yang ditahannya. Gigi tonggos dan tompel yang mencolok dari wanita parubaya itu. Memandang jelas tidak boleh, tapi siapa yang mengizinkan untuk melirik? Tangannya menonjok tepat muka pelayannya itu, hanya saja secara imajinasi.
Nyonya Dornicle bercerita mengenai bagaimana ia dibawa ke sini hingga nasibnya yang kurang beruntung dengan suaminya. Sikap menyendirinya seringkali menjadi titik alasan bahan bulian. Ia dulunya assisten rumah tangga, sampai Madame Lorraine, sebelum menjadi Antoinette bertemu dengannya di pasar. Sesama pekerja keras tentunya cocok bila saling mengobrol, apalagi membahas keganjilan tuannya. Begitulah cerita – cerita menyedihkan yang menjadi alasan untuk Madame Antoinette yang sekarang mengajaknya, memberinya pekerjaan yang ringan. Lagipula beliau dulunya memiliki toko bunga.
“Permisi saya potong,” ditaruhnya cangkir yang kosong tersebut. “Saat malam anda… pernah melihat sebuah ruangan lampunya menyala sendiri? Erm… maksudnya melihat dari kebun?”
Wanita tersebut menggeleng.
“Ta—tapi saya pernah me—melihat salah satu lam—lampunya mati.”
“Mungkin mereka tidur lebih awal?”
Ia terdiam sesaat. Tiba – tiba mengangguk dengan cepat.
“Mung—kin.”
“Di mana dan berapa kali anda melihat kejadian tersebut?”
Satu – satunya jari telujuk tangan kanan Nyonya Dornicle terangkat.
“Lantai du—dua.”
“Terima kasih.”
Lalu mereka membolehkan Nyonya Dornicle untuk pulang. Ketiga orang itu mengajak Nyonya Antoinette untuk ke tempat kejadian. Melewati tangga tersebut, menuju koridor sisi lain. dua ruangan dan kamar mandi yang cukup luas dan memanjang. Tepat di sebelah kamar kosong dekat tangga, kamar mandi yang memanjang, menghadap ke arah kebun belakang. Kata Madame Antoinette, terdapat ruangan untuk berendam dan beberapa alat untuk terapi air hangat. Pintunya terbagi menjadi dua, simbol lelaki dan perempuan. Sebelum menuju tempat berendam dan ruangan untuk membersihkan diri, haruslah melewati bagian toiletnya terlebih dahulu. Wastafel dengan kaca lebar seperti di hotel – hotel, lengkap dengan perlengkapan pembersih lainnya diatur rapi di atasnya.
Tidak jauh dari wastafel tersebut, bekas di bawah tersebut dibuat pola di lantainya. Tidak jauh dari pintu masuk yang bersimbol laki – laki. Didekatnya tidak ditemukan apa – apa, bahkan boleh jadi memang sangat rapi. Keluar dari tempat itu, lagi – lagi tepat di seberangnya, ruangan yang panjangnya dari sudut kamar kosong digabungkan dengan kamar mandi memanjang, yang tertulis Armand Antoinette.
Ruangan itu termasuk paling luas diantara kamar tidur lainnya. Beberapa pajangan gagak dan merpati juga di sana. Sebuah perapian dan kursi goyang, serta dua rak buku yang berisi seni, geografi, dan psikologi. Monkey memandangi langit – langit, dilihatnya dua lampu gantung. Beberapa pajangannya juga kebanyakan bisa menyala, ditambah dengan lampu tidur. Kejanggalannya masih berlanjut.
Selain kotak brankas berukuran sedang ditenggelamkan di dalam aquarium, ditemukan sebuah buku hitam dalam kulkasnya. Buku hitam tersebut tidak mengatakan apa – apa, seluruh isinya putih seperti baru. Sementara Inspektur Duncan harus merelakan mantelnya sedikit basah, mengangkat kotak brankas tersebut ditaruhnya pada meja terdekatnya. Tentu saja menemukan barang di tempat aneh tidak sama mudahnya dengan mencari alasan dibalik itu. Brankas itu terkunci, Madame Antoinette juga terkejut sama dengan ketiga orang tersebut. Sekali lagi Desdemona melirik arlojinya, semakin dicepatkan niatnya untuk menyelesaikan investigasinya. Terpaksa mereka menunda pikirannya dari sesuatu yang masih belum jelas.
ns52.15.220.116da2