Keesokan harinya Monkey masih terbangun dari sofa meskipun tempat tidur itu kosong. Pikirnya sofa lebih menarik perhatiannya tanpa alasan yang lebih. Seperti biasa setelah bersiap – siap, ia langsung menuju tempat untuk sarapan. Suasana terasa sangat berbeda. Kadang ia berpikir sarapan dengan tenang adalah hal yang paling masuk akal, bahkan itu berkaitan dengan etika dan tradisi turun temurun. Di sisi lain ia merasa agak terganggu, selain hubungan keluarga itu semakin renggang, bertambahnya mayat mengusik pikirannya. Namun ia tidak menggubris hal itu lebih dalam. Lebih tepatnya ia masih mencoba. Sarapan bersama itu selesai tanpa diskusi apapun. Roman wajah setiap orang sangat muram, di sisi lainnya ada yang tertuduh.
Selanjutnya Monkey mengambil sisa dua potong kue dalam lemari es dapur, lalu ia menuju kamar seseorang. Orang yang kata Inspektur Duncan alibinya tidak terkonfirmasi sama sekali, walaupun ia telah menyanggahnya. Seperti biasanya pintu itu diketuk sopan.
“Tuan Monkey? Silahkan.”
Wanita kemudian menjelaskan bahwa setelah terakhir ia diinterogasi tubuhnya agak lemah. Sampai pada kemarin ia sama sekali tidak produktif. Monkey tidak punya alasan atau petunjuk lagi untuk tidak setuju dengan pernyataannya. Obrolan itu tidak menghasilkan petunjuk sama sekali, segeralah ia mengakhiri. Lagipula wanita itu kondisinya masih proses pemulihan.
Setelah itu ia kehabisan petunjuk. Alih - alih daripada kemajuan yang sedikit, saat ini malah berhenti. Kemudian ia pergilah ke taman belakang. Dilihatnya seorang wanita parubaya yang penampilannya agak mencolok. Gigi tonggosnya dan tompel di pipinya itu. Ia menghampiri wanita sedang membersihkan rumput liar.
“Nyonya Dornicle?”
“Tuan Monkey? Ada yang bisa dibantu?”
“Ah, tidak. Saya hanya mencoba menikmati ketenangan. Biasanya kalau sudah begitu berarti pikiran sedang buntu. Tapi rasanya kalau melihat bunga – bunga entah kenapa saya merasa lega.” Katanya menaruh canda.
Wanita itu menarik rumput yang akarnya agak panjang. Monkey lalu agak berjongkok agar pandangan mereka setara.
“Ada benarnya. Tapi bagi saya yang sudah lama dengan bunga, ini agak membuat saya mual.”
Monkey meraih rumput itu.
“Kebanyakan memang tidak bagus sama sekali. Porsinya harus cukup. Tapi apa memang benar anda dulunya punya toko bunga?”
Wanita itu mengangguk, namun tangannya seakan – akan terlihat terampil mencabut satu per satu.
“Bahkan dulu saya punya taman bunga. Mengurusnya saja cukup menyebalkan. Seperti yang anda lihat, menanam bunga akan sulit tanpa rumputnya.”
Kata – kata itu membuat ia berpikir.
“Apakah itu sebuah kiasan?”
“Eh?”
Kemudian rumput – rumput yang ditaruh begitu saja setelah dicabut, dikumpulkan olehnya dan ditaruh pada sebuah wadah plastik. Lalu ia berjalan ke tempat lain, Monkey setelahnya.
“Ini seperti anda kalau menanam padi. Tidak akan pernah mungkin anda benar – benar murni menanam padi. Setelah itu tumbuh, maka rumput pun juga sama. Seakan – akan mereka menjual sepaket dengan gulmanya.”
“Ah, teman saya juga pernah mengatakan hal yang sama. Tapi saya tetap tidak menyangka itu terjadi pada bunga.”
Mereka berjongkok dan melakukan hal yang sama, mencabuti rumput di sisi lain.
“Benar, selain pengecekan rutin terhadap gulma, saya juga harus menyeimbangkan pupuknya. Meskipun bisa dibilang rumput – rumput ini bisa dijadikan kompos. Lebih rendah pengeluran, tapi sedikit merepotkan. Walaupun masih saja tidak bisa menghindar dari musim. Contoh lain seperti ini,” tambahnya sambil menarik ngos – ngosan. “Bila terlewat beberapa hari saja, akar – akar rumput ini bisa sebegitunya merepotkan.”
Monkey pun membantunya dan benar saja akarnya memang menjalar panjang bukan main.
“Terima kasih.”
Monkey masih melanjutkan cabut menyabut bagiannya.
“Saya juga berpikiran sama. Bila anda bangkrut, apakah memang bisnis bunga seburuk itu?”
Nyonya Dornicle menghela nafas.
ns3.22.79.2da2