Sekali lagi, angin meniup jendela kamarku, karakternya sangat tak ramah. Menusuk tubuhku saat berganti baju, dibuatnya mengigil setengah mati. Cepat – cepat kuselesaikan kancingnya, dan urusan bawah yang kupakai. Kututup jendela dengan bantuan kursi sebagai pijakanku, agak sulit tapi berhasil. Kupandang dari jendela, luar cukup gelap. Hening, tenang, dan tak banyak aturan yang mengikat hewan – hewan untuk bertahan hidup, misalnya mencari urusan perutnya. Lampu – lampu menerangi jalan, terlihat sedikit gerimis pada cahaya minimnya, menjadi sorotan bagi yang ditempatinya. Sedikit yang dapat dilihat, namun cukup banyak yang dapat kurasakan. Tenang sekali.
Setelah cukup puas menerima bantuan kursi, kukembalikan pada tempat asalnya, sambil mengusap – usap dulu bagian yang telah kupijak. Mengakhiri tatapanku ke luar jendela, artinya awalku bergegas menuju ruang makan. Membuka pintu, berjalan di koridor, menuruni tangga, menghilangkan kecemasan ibu yang menungguku di sana. Semua orang menyambutku dengan hangat, induk para hewan itu juga.
Piring – piring dibagikan memutari meja makan, menerimanya berurutan. Setelahnya, hidangan disiapkan. Selalu kuawali dengan sup tomat kesukaan ibu, tanpa menyesal telah mengambilnya dua mangkuk. Kemampuan Tuan Kuda kuperhatikan tak pernah menyusut, tangan terampilnya masih menghasilkan kepuasan dalam perut kami tak terkecuali induk para hewan juga. Lain dari yang lain, Si Keledai agak enggan menyeruput sup jagung dan brokoli. Aku menoleh ke arah Tuan Kuda, masih tersenyum di pojokkan. Tapi pasti dalam hati pria itu, tersimpan sebuah jalan buntu untuk memuaskan seluruh anggota keluarga di rumah ini. Cukup sedih bagiku, Tuan Kuda sudah berjuang di titik yang tak bisa dibayangkan. Terceletuklah diriku untuk membantunya, tak tega ia mengulang - ulang menarik napas dan membuang secara perlahan. Hewan memanglah hewan, tak akan tahu sampai kapan mereka harus menyebalkan.
Beranjak dari kursi, aku berjalan ke arah Si Keledai.
“Dik, cobalah ini! Enaknya bukan main loh!” bujukku pada Si Keledai. Dengan menirukan aktor, tak sulit bagiku karena yang kucicipi memang diterima lidahku. Matanya yang berkaca – kaca, padahal ia tidak terperanjat. Hanya saja kerongkongannya yang menelan ludah. Mungkin bentuknya yang tidak bisa diterima, aku hanya perlu memasukan ke mulutnya.
“Tidak enak! warna kuning adalah yang ada di toilet. Aku tak suka yang ada toilet!”
“Tunggu dulu! Warna kuning yang satu ini ada di dapur. Paman bermuka lucu itu yang membuatnya!” kutunjuk Tuan Kuda sambil mencoba membuatnya yakin.
“Paman itu bau keringat! Mu-Mungkin saja itu keringatnya!”
“Sudahlah, coba ini!” tanganku bergerak tanpa sadar menyuapinya dengan ramah dan sopan.
Matanya terperanjat, namun masih berkunang – kunang, mulutnya terlanjur dimasuki makanan yang tak dikehendakinya. Semua orang tak terkecuali memandangku dengan aneh, terutama kerutan dahi induk mereka, melihat sesuatu yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Aku menyebutnya secret move. Dengan mengunyah secara perlahan, menelannya dengan tenang dan penuh kenikmatan. Si Keledai akhirnya memahami keistimewaan seni yang Tuan Kuda buat. Tentu saja itu menularkan diantara saudaranya yang lain karena Si Keledai adalah yang paling pintar diantara mereka. Si Babi dan Si Kera juga ikut mencoba sup itu. Menaklukan yang paling kuat, setelahnya pasti akan lebih mudah. Sebelumnya, mereka kebanyakan makan di luar, sama sekali tak menganut prinsip hemat. Melihat hal yang telah kulakukan, semua orang tertawa, ada perasaan cukup lega dari induknya. Yang terpenting ibu puas melihat aksiku. Segalanyalah untuknya. Semoga dengan hal ini, para hewan itu tak mengecewakan Tuan Kuda lagi.
Kejadian setelahnya aku menghampiri kamar ibu untuk kisah yang kutunggu ia menceritakannya padaku. Biasanya ibu menghampiri kamarku, untuk sementara tidak bisa begitu. Aku sedikit bisa mengerti melihatnya memegang – megang perutnya yang tampaknya biasa saja bagiku, tak gendut ataupun buncit.
Keadaannya sering mual, dan kadang pucat. Bagiku tak masalah kalau aku yang harus datang. Ia menceritakanku sebuah kisah Hamlet & Ophelia, dibawa buku sebagai referensinya. Agak bersemangat namun agak letih, jadinya kenikmatan itu berkurang. Diceritakannya agak singkat, tapi tentu tak ada masalah. Ibu agak mengantuk sambil memegang perutnya.
“Honey, ingatlah satu hal,” Tangan lainnya memegang pundakku. ”Jangan ada keburukkan di hatimu, pandanglah seseorang dari berbagai sudut kebaikannya, walaupun seburuk apapun yang dilakukan.”
“Apa maksud ibu?” tanyaku penuh keheranan.
“Yang terpenting, kendalikan dirimu. Tak semua yang mata memandang adalah hal yang sebenarnya terjadi. Sama seperti kamu melihat pamanmu memasak.”
“Dan sampai saat dia datang, sampai saat itu jagalah keharmonisan keluarga ini.” Ucap ibu dengan wajah yang letih dan mata berkatup. Sambil mengelus kepalaku, ia sudah tertidur. Kukembalikan tangannya pada posisi yang nyaman. Sejenak kurenungkan beberapa kata yang diucapnya. Saat itulah kesadaranku memberiku informasi, tak ada yang bisa kusembunyikan darinya. Hingga dibagian akhir yang disampaikannya, sel – sel otakku mendidih, tak secuil jawaban kutemukan. Dengan maksud tidak ingin mengganggu istirahatnya, aku bergegas keluar dari kamarnya. Menjauhi kamar itu, terlihat olehku wanita yang memergokiku tadi. Berjalan ke arah kamar yang barusan ku menjauh darinya. Dengan mengernyitkan dahi, telunjuknya menekan kacamatanya sesuai posisi yang diinginkan. Melihat ke arahku sebentar, lalu ia masuk. Sedikit mengusik keingintahuanku, tapi kuputuskan untuk mengakhiri hari ini.
Tak pernah terpikir sebelumnya olehku, hari demi hari durasi ibu menemaniku semakin memendek. Lebih singkat dari biasanya, agak capek dari sebelumnya. Seringkali mengusap perutnya dengan penuh kesabaran. Wajahnya yang agak pucat pasi, tapi tidak lebih sedikit ia tersenyum padaku. Memuntahkan masakan Tuan Kuda tanpa disengaja, apakah ibu baik – baik saja?
***
ns3.133.115.157da2