Dengan acak tanpa sadar, digerayanginya tubuhnya dengan lemas, menyiratkan kebingungannya. Kepalanya yang perlahan mulai bangkit, menggeleng dua kali secara cepat, mencoba mendapatkan kesadarannya dengan maksimal. Diuceklah kedua matanya dari kantuknya, mulutnya menguap dua kali. Digeliatkan tubuhnya dengan mantap, terdengar suara gemeretak tulang penuh kedamaian. Yang disayangkan adalah, Nona Flemming yang tiba – tiba saja wajahnya bertemu dengan pandangannya yang masih agak ke bawah, posisi tubuhnya masih membungkuk dan tidak sempurna, membuatnya terperanjat dan kursi memandunya jungkir balik sembilan puluh derajat ke belakang. Sungguh kesunyian paginya yang dirusak dengan kurangnya moral, pikirnya.
“Kau tentunya sangat menikmati ini, Rachel.” Ucapnya dengan nada memelas. Tubuhnya dibelokkan arah, mencoba bangkit, diusap – usapkanlah debu imajinasinya.
Wanita itu tertawa terbahak – bahak. Tangannya diulurkan, ekspresinya tersenyum ramah menyiratkan maksud puas atas komedi yang ditontonnya. Pria itu masih agak merintih, matanya menyipit saat tangannya memegang pinggangnya. Ia merangkulnya, menuntunnya menuruni tangga, alih – alih menghibur setelah menertawakannya.
“Meskipun Countess Hestia Madelaine memelukku, mengajaku makan, tak sedikit pun membuatku gembira bila ia menertawakanku sejak awal!” Nadanya yang jengkel seakan mengutarakan kekesalannya.
Wanita itu menahan tawanya, lalu memandangnya dengan belas kasihan. Tapi tentu saja pria malang itu tak menggubrisnya. Sambil menuruni tangga, ia merasakan sedikit getaran, getaran tawa wanita itu yang ditahan. Pikirnya, pagi ini menyambutnya dengan penghinaan.
Dilihatnya sarapan sudah siap, di tempat yang sama ketika makan malam kemarin. Kelegaan yang sedikit mengobati lukanya atas penghinaan yang diterimanya. Tapi sebelum itu, Rolling door ditariknya agar sinar pagi menjenguk seisi bangunannya itu melewati jendela dan celah ventilasi atas. Wastafel dan toilet adalah yang dituju setelahnya.
“Hm… telur dadar, kacang polong dan dua sosis? Kau boleh juga,” Ditepuklah tangannya dengan senang.
segera ia menempati tempat duduknya.
“Aku mengerti kau tidak bisa makan bacon atau sejenisnya. Alkohol pun tak kau sentuh.”
“Benar. Aku mengikuti budaya timur tengah,” tambahnya sambil memotong sosis. “Kau tahu? Gaya hidup sehat tidak dimulai saat tua, Rachel.”
Wanita itu mulai dari kacang polong.
“Aku tidak butuh nasehat! Lagipula prinsip kita tak sama. Aku suka dengan caraku, dan kau dengan caramu.”
“Begitupun aku, Rachel. Tak henti – hentinya menegurmu, dan kau? Tak henti – hentinya memberontak.”
“Oh ayolah, Moncef! Ini hanya bacon! Hanya bacon!”
Pria itu berhenti sejenak, menatap dengan wajah sedih.
“Kalau yang itu terserah padamu, poinku membicarakan hal lain.”
“Alkohol? Di inggris semua orang meminumnya. Kau hanyalah yang minoritas!”
“Well kurang tepat, tapi lebih bagus bila itu dilakukan. Baiklah, misalnya saja hidung ini, sama sekali tidak menghendaki hasil dari tembakau yang dibakar, hm?” Nada Cake penuh sindiran.
Wanita itu terdiam tanpa bisa menjawab. Roman mukanya menjadi sebal, suasana jadi sunyi untuk sesaat. Hanya suara pisau dan piring yang bertabrakan yang mengisinya. Lalu hembusan nafas lemas dari pria itu mengawali kalimatnya saat mereka menyelesaikan sarapannya.
“Terserah padamu, memaksa bukanlah hobiku. Tapi sebisa mungkin, ambilah tengahnya.” Ucapnya dengan sopan, sikapnya sudah menyerah pada wanita itu.
Detektif Cake bangkit dari tempatnya, membawa piring – piring tersebut menuju tempat cucian.
“Mau pudding?”
“Strawberry saus coklat.”
Pria itu mengerang.
“Sayangnya, kita kehabisan strawberry,” tambahnya dengan guyonan merengek tangis yang dramatis. “Oh tidak! Labu sisa di kulkas akan menangis bila tidak dihabiskan.” Ekspresi wajahnya mengandung tipu drama teater.
Wanita itu diam sejenak. Bertambahnya sebal atas guyonan pria itu, tangannya menggenggam dan bergetar, siap menonjok muka pria yang kelewatan itu. Untung saja dihalau niatnya.
“Setuju, tapi sausnya tetap coklat.”
“Dimengerti, milady.”
Dengan kebiasaannya setelah sarapan, seringkali wanita itu menghisapnya dengan bebas. Rokok memang kenyamanan tersendiri bagi bibirnya. Mata wanita itu bersiaga, membelakangi Cake dengan langkah yang hati – hati menuju ke tas yang tergantung pada pegangan tangga. Digerayangilah dalam - dalam, pandangannya masih waspada ke arah pria yang tak mengamatinya itu.
Setelah berhasil, dengan langkah yang sama menuju pintu depan. Dilihatnya sekotak rokok, tapi telinganya terngiang – ngiang atas sindiran pria tadi. Kesangsiannya coba untuk dibinasakan. Lalu ditolehnya ke arah pematik elegan berbahan kulit yang dibordir dengan inisial R. F. Suara pria itu masih menggema di pikirannya. Kali ini ia mencoba mendukung nasehat itu, dipandanginya pria itu dari belakang. Masih menyiapkan pudding. Tangannya bergetar, kemudian mengenggam pematik dengan eratnya, matanya terpejam. Berakhirlah sudah kesangsiannya saat sesosok wajah di masa lalu membayanginya. Ditaruhlah ke tempat semula rokok dan pematik tersebut, diurungkanlah niat menghisapnya. Ia kembali duduk, badannya dicondongkan ke arah jendela dekat pintu masuk, dilihatnya pemandangan luar. Gumamnya, “Mungkin lain kali, sobat.”
ns18.118.27.44da2