“Saya tidak memandang hal itu salah. Ngomong – ngomong maaf bila saya agak lancang, anda ini sakit sejak kapan?”
Wanita itu hendak berdiri, lalu berjalan ke arah belakang.
“Santai saja, pak tua. Padahal awalnya cuma kelelahan. Sekitar beberapa hari sebelum ayah meninggal. Sementara Keith terlihat agak sibuk, lalu saya berpikir apa gunanya saudara, kan?” tambahnya saat membuka lemari es. “Anda mau minum?”
“Tidak usah, saya tidak lama.”
Wanita itu kembali tanpa membawa apapun.
“Anda meminta bantuan yang lain?”
“Tidak juga. Tapi mereka yang memberi. Katanya obat mahal. Saat bangun kadang pusing, badan rasanya agak berat eh rasanya agak linglung atau entahlah bagaimana menjelaskannya,” tambahnya sambil menghela nafas. “Bahkan saya memarahi wanita polos itu. Kasihan sekali.” Nadanya berubah jadi agak melodramatis.
Monkey diam sesaat. Ia membandingkan perubahan sikap dari yang kemarin agak kaku dan tegas. Namun saat ini wanita itu terlihat lebih bersemangat. Mungkin pernyataannya memang benar.
“Tapi bagaimana Nona Dana tahu obat yang anda perlukan?”
“Eh? Saya tidak tahu mengapa itu menjadi hal sulit, tapi saya tinggal bilang demam, pegal – pegal, atau semacamnya. Kalau soal vitamin itu tidak perlu. Katanya ia ambil dari stok kotak obat – obatan di kamarnya.”
“Oh, saya kira juga begitu.”
Monkey kemudian langsung pada poinnya, sama seperti yang ditanyakan pada Tuan Halberd. Wanita bernama Lilia Antoinette itu mengangguk. Ia mengakui masih sangat ingat dan bahkan saling menghubungi satu sama lainnya. Menurut pernyataannya seseorang yang dicari Monkey tidak ada hubungannya saat ini.
“Tapi, mengapa anda begitu yakin?” Tanya Monkey agak memaksa.
“Karena saya sahabatnya. Lagipula katanya dia berada di luar negeri, Denmark.”
“Baiklah,” tambahnya. “Pengalaman apa yang paling mengesankan dengan sahabat anda?
Wanita itu berpikir.
“Kami biasanya main bulu tangkis agak sore,” tambahnya sambil mengangkat dan memutar – mutar lengan kirinya. “Lengannya sangat kuat. Saya berkali – kali kalah karena pukulan smashnya.”
“Ah, begitu. Terima kasih. Saya mohon pamit., permisi.”
“Bagaimana kondisi Nona Desdemona?”
Monkey berhenti.
“Saya kira sedang membaik.”
Setelah keluar dari kamar itu, ia harus menghentikan objektifnya itu. Mengingat hari sudah tambah malam, moral dan egonya diatur berjalan seiringan dengan nilai rasional. Setidaknya ia mendapat kemajuan pesat terhadap informasi yang dimiliki saat ini. Meskipun begitu, otaknya belum mengizinkan untuk istirahat. Jantungnya seakan berdegup kencang mengingat keingintahuannya terhadap beberapa hal yang tadi diberikan oleh Nona Wilson.
Ia memutuskan untuk duduk dan merenung beberapa hal. Teras dekat taman memang pilihan yang ideal.
Dari sakunya diambil sebuah amplop kecil warnanya agak usang, tertulis inisial E. E. Pikirannya mulai dipenuhi pernyataan – pernyataan setiap orang. Saat amplop itu dibuka, kalimat demi kalimat yang ia baca pada surat itu memberinya harapan. Sesuatu yang boleh jadi mengakuratkan objektifnya saat ini.
Ia kemudian teringat kata – kata Nyonya Dornicle, barang kali ia akan melihat kejadian aneh seperti yang dikatakannya. Ia melangkah masuk ke taman, pandangannya menghadap ke belakang memandang rumah itu. Sayangnya sudah agak malam, lampu – lampu memang semuanya telah dimatikan.
Ia kemudian sedikit kaget saat pintu gagang pintu bergerak – gerak. Ia langsung bergegas untuk membuka pintu tersebut.
“Nona Dana?” katanya setelah pintu itu dibuka. “Mengapa anda malam – malam?”
“Mau ngobrol?”
Pintu itu kembali ditutupnya, lalu mengikuti wanita itu yang hendak menaruh cangkir dan kettle ke meja.
“Bagaimana anda tahu saya di sini?” tambah Monkey setelah menyeruput teh hangat. “Ngomong – ngomong terima kasih tehnya.”
Wanita yang rambut hitamnya sebahu itu hanya tertawa kecil.
“Hehe ma—maaf. Saya kebetulan melihat anda keluar dari kamar Nona Lilia…” tambahnya. “Sebelumnya juga ke kamar Tuan Halberd… Ah anda juga menerima sesuatu dari Kak Shelby.”
“Kebetulan macam apa itu?” tambah Monkey sambil memasang wajah agak kesal. “Membuntuti seseorang bukan hal yang bagus.”
Sekali lagi senyuman bodoh Nona Dana.
“Nak, dengarlah. Bukan berarti saya menjamin keselamatan lalu anda beresiko berkeliaran sembarangan.”
“Ti—tidak! yang ini akan jadi tanggung jawab saya!”
“Saya bisa membayangkan kalau Bibi Kathryn marah pada anda. Katanya beliau tegas, kan?
Wanita itu menyeruput teh hangat itu.
“Benar, itu cukup menyeramkan. Bahkan saya pernah melihat Nyonya Antoinette memijat bahu Bibi Kathryn. Kalau mengingat dulu waktu saya baru bekerja, peraturannya cukup ketat. Saya tidak boleh keluar pada jam – jam bekerja, harus tepat waktu, harus bersih, dan lain – lain. Awalnya saya mau menyerah dan keluar saja, tapi karena dorongan Kakak Shelby, saya tetap melanjutkan.”
Monkey diam, alisnya mulai berkerut.
“Tapi kalau dipikir – pikir memang benar. Tidak peduli sesulit apapun, mereka tak pernah memberi kami makanan sisa. Selalu ada jatah yang baru bahkan untuk pembantu. Gajinya agak berlebih. Kalau sudah terbiasa dengan jam – jam kerja, saya malah merasa pekerjaan ini lebih banyak menganggurnya. Kedepannya bila uang tabungan cukup, saya akan kuliah saja. Seperti kata anda, pendidikan itu penting.” Jelasnya.
“Nona Dana, yang barusan anda katakan tadi?” Tanya Monkey sambil melongo.
“Pekerjaan ini lebih banyak menganggurnya?”
“Tidak, sebelumnya.”
“Saya sempat keluar?”
Monkey meminta ia mengulangi sampai pada bagian yang ia maksud. Kemudian wanita itu menjelaskan dengan singkat.
“Anda mendengar?”
“Kadang saya kira dapur sudah kosong. Saya perlu memastikan kalau itu bukan hantu, karena saya takut. Saat itu saya bertaruh, kalau itu hantu maka habislah. Tapi ternyata tidak. Seperti yang sudah saya bilang.”
Monkey mengangguk paham, ia tersenyum dan mengelus kepala wanita itu.
“Anda tahu? Bagi semua orang mengintip adalah hal yang tabu, apalagi membuntuti. Tapi sepertinya itu tidak pada anda.”
Wanita itu semringah ketika mendengar pujian.
Kemudian mereka mengobrol sebentar dan menyuruh wanita muda itu untuk tidur. Setelah mengembalikan dan membersihkan cangkir dan teko, ia kembali ke kamar. Lagi – lagi duduk di sofa, dari sakunya diambillah kertas – kertas catatan itu. Ia membaca satu per satu, ditemani lampu tidur.
***
ns18.227.89.169da2