“Mi-milady! A—anda terli-terlihat lelah! Sudah saya per-“ sambutnya tidak tuntas yang langsung dipotong oleh lawannya itu.
Tangan wanita itu dengan lemasnya melepas tangan Cake.
“Biarkan aku mandi dulu,” ucapnya dengan lesu. “Setelahnya kau bisa jelaskan padaku, Moncef!”
Tanpa berani melakukan penolakan, detektif itu langsung mempersilahkan masuk. Wanita itu dengan letihnya, berjalan ke lantai satu dan segera menuju kamar mandi. Detektif yang dipanggil Moncef itu menghembuskan kelegaan. Dagunya dipegang heran, otaknya berperan dan menjelaskan kemungkinannya, bahwa masalah lain menimpa wanita itu di tempat kerja. Sehingga akibat dari masalah yang dilihatnya sekarang menjadi berkurang. Ia mengucap syukur berkali – kali dengan lirih, tangannya mengusap – usap dadanya.
Lalu karena pikirnya keadaan hati tamu itu tidak seburuk yang dikira, tanpa membuang waktu mengolah jamuan yang sudah disiapkannya pagi ini. Rumput laut, beras yang sudah dinanak, makerel yang durinya sudah dipilah, dicuci, dihilangkan bau amisnya, dan bumbu rahasia lainnya sudah siap di meja. Yang tersisa tinggalah kemampuan pilot dapur dalam mengolahnya.
Sekitar tiga puluh menit, wanita itu menuruni tangga ke bawah. Mulutnya tak jarang menguap, matanya sayu – sayu. Terdengar suara kretak kretek saat ia memutar – mutar bahu kanannya. Tiba – tiba matanya bersemangat, melihat makan malam sedang disiapkan. Lebih daripada itu, tercium olehnya bau masakan yang bukan dari eropa, harapannya semakin meningkat. Melihat kokinya sedang kerepotan, segera ditatanya tempat duduk. Diaturnya kursi berhadapan, dua meja persegi disatukan, dia larut di salah satu kursi tersebut. Tangannya dilipat kemudian ditumpukkan ke meja, kepalanya disandarkan di tumpukkan tersebut, menghadap kebawah. Perutnya berteriak menunggu sesuatu mengisinya. Tak sadar ia tenggelam di dalam tumpuan tangannya sendiri.
Sekian menit berlalu, Cake membawa hidangan menuju meja yang telah disiapkan. Hingga empat kali bolak – balik ke dapur, membawa jamuannya yang cukup beraneka ragam. Di meja ditatalah onigiri isi makerel, disebelahnya tempura. Tak lupa ia menyiapkan charmomile tea dengan campuran jahe, madu dan mint. Sedemikian rupa Cake mengaturnya agar bisa dinikmati oleh wanita yang diakuinya sangat susah dekat dengan hal yang menyehatkan. Wanita itu masih tenggelam dalam lelahnya, menyamankan diri dengan posisinya yang simpel itu, Cake menaruh kesan padanya. Sedikit kesalahan yang dirasakannya, ia harus minta maaf pada wanita itu. Hanya saja, cukup aneh bahwa baunya itu sudah sejengkal mengetuk pintu hidungnya, wanita itu masih dalam mimpinya.
Dipijatlah bahunya wanita itu, terasa beberapa otot yang baru saja tumbuh. Dilihatlah tamunya yang tak berdaya itu, roman pria itu agak sedih, menyimpan beberapa cerita lama yang belum ingin diceritakannya.
“Nona Flemming? Ayo kita makan dulu. Setelah itu, terserah anda.” Bisiknya ramah sambil memijati bahunya layaknya pelayan yang setia.
Wanita itu terbangun dengan perlahan. Matanya berkedip – kedip, tangannya dengan lamban mengusap – usap wajahnya, mulutnya menguap sampai dua kali.
“Oh? Ya ya baiklah.”
Detektif Cake membagikan piringnya.
“Silahkan, Nona Flemming! Anda berhak memilih dan mengambil sendiri. Saya sudah mendapatkan bagiannya.”
“Sudah kubilang, Rachel!” nadanya mengeras. “Bukannya kau setuju kalau hanya malam hari bersikap biasa?”
Piring wanita itu sudah dipenuhi beberapa makanan. Roman wajah pria itu tersenyum kecil tanpa argumen. Mereka menikmati makanan itu, sementara wanita itu sudah hilang dari nafsu tidurnya. Beberapa hal kesalahpahaman sudah dijelaskan olehnya, termasuk alasan di balik bau wangi – wangian yang bercampur. Untungnya beberapa alasan, wanita yang minta dipanggil Rachel itu memberinya kesempatan. Tak terpikirkan olehnya selain ketenangan saat lelah bekerja.
Cake sudah seperti pengasuh baginya. Bahkan ia memperhatikan hingga ke detil yang paling kecil. Dari camilan, hingga upayanya untuk mempengaruhi wanita itu untuk hidup jauh lebih sehat sedini mungkin. Beberapa upaya paksaan telah dilakukan agar ia mau meminum teh herbal racikannya. Cake memencet hidungnya saat ia minum agar tak dimuntahkan. Untungnya, Nona Flemming minum dengan kehendaknya. Cerahnya wajah Cake terlihat akan keberhasilannya meracik herbal tersebut. Pikirnya, ia sedikit dapat mengurangi kebiasaan wanita itu yang suka sekali mabuk.
Setelah lidahnya menikmati keunikan masakan oriental, perutnya yang sudah dimanjakan dengan beberapa porsi tempura yang dihabiskannya, wajahnya kembali seperti di pagi hari. Mata malasnya memandang pria itu dengan penuh canda, senyuman kecilnya yang ringan. Tibalah saatnya pria itu menggali beberapa informasi untuk membantunya.
“Ngomong – ngomong, kau masih ingat kasus itu? Yang pernah kita bicarakan dulu, Eh—apa namanya—kecelakaan tersetrum?”
ns18.118.27.44da2