Damon menguap lagi. Entah sudah berapa kali. Matanya yang setengah terbuka menatap datar lautan manusia di bawah sana. Pria-pria paruh baya berpakaian mahal duduk berkelompok pada puluhan meja bundar di lantai satu Merriot, salah satu casino paling terkenal di LA. Ini casinonya yang ketujuh.
"Kau tahu, kau bisa meminta pelayan mengganti cangkir kopimu dengan yang baru. Kopimu sudah habis sejak setengah jam lalu."
Damon melirik malas. "Semua pelayan itu sibuk mengedarkan champagne untuk setiap brankas hidup di lantai bawah sana."
"Brankas hidup?" tanya Aiden geli.
"Bukankah semua pria yang duduk di bawah sana itu orang kaya?"
"Tentu saja. Mereka tidak pernah kehabisan uang," kata Aiden sambil mendengus. Damon terdiam mendengarnya. Pada awal kiprahnya dalam dunia malam Black Angels, Kearney tidak membiarkan Damon tanpa pengawasan. Kemanapun dia pergi, Aiden akan selalu ikut. Tentu saja Damon kesal karena Aiden banyak bicara. Tapi setelah mengetahui apa yang ada di kepala Aiden, Damon memutuskan untuk tidak berkomentar.
Damon tahu Aiden berasal dari keluarga kaya. Smith Corp bukan perusahaan biasa. Dengan jaringan di berbagai negara di belahan dunia, Smith Corp cukup berpengaruh secara global. Dan bersadarkan hasil penyelidikan amatirnya di google, Anthonio Smith merupakan pengusaha yang tangguh. Sepak terjangnya dalam menyingkirkan pengusaha lain dalam suatu perebutan tender menuai banyak apresiasi dan pujian.
Sayangnya, kehidupan pribadinya sepertinya tidak setangguh karirnya. Anthonio bercerai dengan istrinya dua tahun lalu. Istrinya pergi membawa putra sulung mereka ke London dan memilih meninggalkan Aiden bersama mantan suaminya yang gila kerja.
Tentu saja Aiden tidak tahu bahwa Damon memiliki kemampuan mendengar pikiran orang lain. Tanpa pria itu sadari, setiap kali dia termenung memikirkan kehidupannya, Damon selalu menatapnya sendu. Meski Aiden tidak mengatakan apapun, dan tidak menyadari apapun, namun Damon merasa seakan pria itu bercerita banyak. Sebanyak hal-hal yang dipikirkan dan muncul di kepalanya.
Damon belum tahu bagaimana Aiden bisa menjadi bagian Black Angels karena pria itu tidak pernah memikirkan hal itu. Damon sendiri tidak akan mendengar apapun jika orang itu tidak memikirkan satu halpun. Pria itu juga pandai membawa diri serta menyembunyikan perasaannya.
Damon sebenarnya lebih memilih kembali ke jalanan daripada menjadi alat bagi Kearney. Tapi keberadaan Joana disisi pria itu, serta Lidya yang belum diketahui keberadaannya membuat Damon terpaksa bertahan di Black Angels. Selain bisa berkomunikasi dengan Joana, Kearney bisa membantunya menemukan Lidya. Meskipun Kearney sama buruknya dengan Miranda, tapi setidaknya pria itu tidak tertarik menjual Joana atau Lidya. Satu-satunya ketertarikannya adalah memperala Damon untuk menghasilkan keuntungan besar bagi gangster miliknya.
Seperti malam ini. Seperti malam pada minggu-minggu sebelumnya.
Selama dua bulan ini juga Aiden selalu bersamanya saat Kearney memintanya untuk melenggang dari satu casino ke casino lainnya.
"Meja nomor sebelas. Pria berjas hitam yang sedang memeluk wanita bergaun merah." Suara Kearney muncul dalam earphone kecil yang ada di telinga kirinya. Damon lantas memaksa membuka lebar matanya, memfokuskan pandangan mencari meja nomor sebelas. Aiden menepuk bahunya, lengannya terulur menunjuk ke satu meja di sudut kanan tempat mereka berdiri.
"Ya aku melihatnya," kata Damon.
"Mendekatlah," perintah Kearney.
Damon dan Aiden bergerak pelan. Mereka berdua sengaja terlihat santai dan tak acuh. Salah sikap sedikit saja, mereka bisa celaka.
Aiden bersandar tak jauh darinya, menatap sekeliling sambil berpura-pura menikmati champagne. Damon sengaja berdiri agak jauh dari Aiden, tapi cukup dekat dengan meja sebelas. Setelah menatap cukup lama, Damon berbisik, "Oliver Romanov. Pebisinis asal Rusia."
"Very good, Damon. You figure it out already," balas Kearney. Damon menangkap kesan senang dalam suara Kearney. "Aku sudah lama menduga pria itu bermain curang. Malam ini tugasmu untuk mencari tahu."
"Apa yang perlu kuketahui?" ucap Damon datar.
"Aku ingin tahu bagaimana kecuranagn yang dia lakukan. Tidak mungkin dia selalu menang hanya pada setiap taruhan yang paling mahal. Dia selalu kalah hanya saat nilai taruhannya kecil."
"Mungkin dia hanya beruntung."
"Alfonso pernah mengamatinya. Instingnya yakin pria itu berkomunikasi dengan bandar. Sayangnya Alfonso terlanjur dicurigai sebelum berhasil menemukan cara yang mereka gunakan."
Damon terdiam. Sepertinya dia paham dimana perannya sekarang.
"Jadi, aku hanya perlu mendekati mereka untuk tahu isi kepala mereka. Begitu kan?"
Damon merasa Kearney tersenyum licik sebelum suaranya terdengar lagi, "Kau cukup cerdas."
Damon mendekat beberapa langkah.
"Dua pria. Arah jam tiga dan jam lima dari posisimu. Meja sebelah kanan," suara Aiden terdengar berbisik melalui earphone.
Damon mengambil satu gelas minuman dari gadis bar yang berkeliling dan kebetulan melintas di depannya. Sambil menyesap perlahan, Damon mengedarkan pandangan ke sekeliling seakan menikmati suasana seluruh ruangan. Tanpa dia sadari, sikapnya mencuri perhatian gadis bergaun merah yang masih duduk di pangkuan Kearney. Saat mata mereka bertatapan, gadis itu menampilkan ekspresi menggoda.
Damon mendengus pelan. Hidup di Red Rose mengajarkannya bahwa kadang diperlukan sikap munafik untuk mempertahankan hidupmu sehari lagi. Jadi, alih-alih memperlihatkan rasa jijik yang Tuhan tahu menggelegak dalam hatinya saat ini, Damon justru menampilkan ekspresi berminat. Dia berharap sandiwaranya bisa meyakinkan dua pria di meja kanan yang sedang mengawasinya bahwa gadis itulah alasan keberadaannya disana.
Damon tersenyum kecil saat gadis itu bergerak mendekat. gadis itu cantik dengan lekukan tubuh yang pasti menarik minat para pria. Kedua lengannya yang semampai memeluk lehernya melenyapkan jarak diantara mereka. Posisi yang sangat intim. Tapi Damon bukan pria, dia hanya remaja dibawah umur, jadi gerakan sensualnya tidak memunculkan dampak yang sama pada tubuh Aiden.
Suara siulan terdengar nyaring melalui earphonenya. Damon melirik Aiden. Pria itu nampak terkejut tapi sedetik kemudian bibirnya berubah menunjukkan cengiran khasnya.
"Kau yakin tidak tersesat?" suara feminim itu mengembalikan tatapan Damon.
"Kenapa kau berpikir aku tersesat?"
"Hmm..." gadis itu menatapnya lekat lalu berujar, "Well, kau terlihat berbeda."
"Mungkin karena ini pertama kalinya aku kemari."
Gadis itu tersenyum. "Kau terlalu kurus untuk jadi tipeku. Tapi kau juga lebih tampan." Gadis itu mengeratkan pelukannya sambil tersenyum menggoda.
"Thanks. Tapi kurasa sebaiknya aku sendirian saja."
Gadis itu tertegun.
"Aku tidak ingin pria yang memelukmu tadi menghapus kesempatanku untuk melihat matahari besok. Aku kemari untuk menikmati suasana, bukan cari mati."
Gadis itu tersenyum mendengar alasan Damon.
"Dia hanya pelanggan biasa. Dia terlalu tua untuk bersenang-senang denganku," jawab gadis itu. Satu tangannya kini meraba dada Damon dengan sensual.
Damon membiarkan saja tangan itu berkelana meraba tubuhnya. Fokusnya kini sepenuhnya pada Oliver dan si bandar. Hanya butuh waktu singkat, Damon berhasil membaca komunikasi mereka, sesingkat pergerakan tangan gadis bergaun merah itu.
"Berapa usiamu?"
Damon tersentak, tapi dia cukup lihai menyembunyikannya. Dia menatap gadis itu, "Banyak sekali kriteria untuk tipemu."
"Kau terlihat muda."
"Aku memang masih muda."
"I can see that. Kau penuh energi."
Damon tidak bodoh untuk menangkap maksud tersirat gadis itu. Namun karena pengalamannya hanya sebatas menghindari gadis-gadis penghibur di Red Rose yang menggodanya, Damon kini bingung menyingkirkan gadis itu.
Shit!
Sebuah lengan besar menyentak tubuh gadis itu dan Damon berhadapan dengan wajah marah Oliver Romanov.
Double shit!
"Apa yang kau lakukan dengan gadisku?" suara berat Oliver terdengar geram menahan amarah.
"Hanya ngobrol biasa," balas Damon sambil mengangkat kedua tangannya singkat.
"Obrolan biasa tidak perlu pelukan!"
"Dia yang memelukku, bukan sebaliknya. Aku tidak bermaksud apapun. Aku bahkan baru pertama kali kemari."
Pembelaan Damon tidak mengurangi kemarahan Oliver.
"Hei! Dari mana saja kau? Kubilang tunggu saja di bar," sergah Aiden. Seperti biasa, Aiden sangat lihai memainkan ekspresi. Dengan wajah pongah dia berujar, "Apa aku melewatkan sesuatu, Jonathan?"
Damon hanya mengerjap. Sebelum mendapat respon apapun, Aiden meraik lengan kanannya menjauh seraya berkata cukup keras. "Jangan berulah, Jonathan! Banyak gadis lain disini. Jangan mengusik milik orang lain."
"Ya, ya, oke. Apapun katamu," jawab Damon sambil memutar bola matanya.
Mereka kembali ke lantai atas, ke tempat mereka sebelumnya. Damon melaporkan hasil temuannya pada Kearney. Setelah Kearney merasa cukup, pria itu menyuruh Damon dan Aiden kembali. Namun tidak seperti kedatangannya tadi, mereka memilih kembali melalui pintu belakang. Tetap ada resiko penjaga pintu depan Merriot memeriksa identitas mereka meskipun saat masuk pertama mereka berbaur dan diizinkan masuk karena datang bersama Kearney.
"Lain kali, kau bisa memperingatkan aku dulu sebelum memulai aktingmu, Aiden."
"Maaf kalau begitu. Aku tidak tahu kau kau tidak cukup peka untuk memahami umpanku."
Mereka menuju mobil hitam yang terparkir di sisi terluar area parkir. Aiden rupanya tidak menyadari kewaspadaan Damon, karena pria itu cukup terkejut ketika di dalam mobil Damon berkata, "Menurutmu apa yang dilakukan FBI disini?"
"Siapa?"
"Ck. Kau mendengarku."
"Dimana?"
"Pria yang tadi kau sebut. Sepertinya salah satunya FBI," jelas Damon sambil mengenakan sabuk pengamannya. "Juga dua pria yang ada di mobil di belakang kita."
Sambil membetulkan spion tengah, Aiden melirik ke belakang. Benar saja, ada dua orang pria berbaju hitam di mobil di belakang mereka. Tapi dua pria itu tidak terlihat sedang mengawasi mereka.
"Apa yang mereka lakukan disini?"
"Aku tidak tahu dan aku tidak berniat bertanya."
"Bagaimana kau tahu siapa mereka? Mereka tidak mungkin membawa lencananya ke Merriot."
"Aku punya cara sendiri," kata Damon sambil memejamkan mata.
Aiden menatapnya sekilas. Aiden membawa mobil mereka meluncur meninggalkan Merriot sambil berujar, "Kurasa aku mulai sedikit mengerti alasan Kearney menyukaimu."
"Diam dan perhatikan saja jalan di depan. Aku benar-benar mengantuk," kata Damon malas.
Aiden memang terdiam. Tapi berbagai pikiran melintas di kepalanya. Apakah FBI datang untuk menyelidiki Black Angels? Well, Kearney cukup licin untuk lolos dari pemeriksaan resmi kepolisian. Apa karena itu sekarang FBI bertidak? Atau karena Oliver Romanov yang memiliki banyak dugaan keterlibatan konspirasi melawan pemerintahan Rusia? Apapun itu, situasinya jelas mulai berbahaya.
***
ns18.117.132.79da2