Panma City
Januari, sebelas tahun sebelumnya
Suara langkah kaki terdengar jelas di belakangnya. Beberapa detik kemudian suara langkah itu berganti derap sepasang kaki yang berlari. Reflek, Damon menyembunyikan dirinya di celah di belakang pintu dapur yang terbuka. Damon sudah menahan nafas bahkan sebelum seseorang yang berlari-entah siapapun itu, berhenti tepat di depan dapur. Damon baru akan mengintip melalui celah pintu saat pintu itu tiba-tiba menutup.
"Damon?"
"Joana?" tatap Damon terkejut. Apa yang dilakukan gadis itu disini?
"Sembunyikan... aku," ucap Joana terputus putus di sela-sela napasnya yang memburu.
"Apa yang terjadi?"
Joana hanya menggelengkan kepala tanpa menatapnya. "Please... sembunyikan aku, Damon."
"Dari apa kau harus bersembunyi?"
Gema suara langkah kaki lain terdengar mendekat. Kali ini suaranya terdengar lebih berat. Pasti seorang pria, pikir Damon. Pandangannya bersitatap dengan Joana. Gadis itu terlihat panik, kaget, dan takut. Tangannya gemetar dan wajahnya penuh peluh. Kedua kakinya bergerak gelisah seakan bersiap melarikan diri. Sayangnya mereka tidak bisa. Dapur itu berada di bagian paling ujung Red Rose. Tidak ada tempat atau cara untuk kabur dari sana.
Tanpa berpikir lagi, Damon membawa tubuh Joana merapat ke sudut dapur, ke celah sempit diantara dua lemari besar penyimpanan bahan makanan. Damon meletakkan jari telunjuknya pada bibir Joana. Joana yang memahami isyarat itu tentu saja langsung diam tak bersuara. Dia bahkan takut bergerak.
Celah itu memang bukan tempat terbaik, tapi tidak mungkin mereka bisa menyembunyikan diri bersama di balik pintu. Dalam hati Damon mengumpat sekaligus berdoa berharap siapapun pria ynag mengejar Joana, orang itu akan cukup ceroboh untuk benar-benar menemukan mereka.
Pintu dapur terbuka. Damon semakin menekan tubuh langsing Joana merapat. Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Damon menahan napas. Dia menajamkan inderanya yang lain, berusaha menemukan suara atau apapun yang menunjukkan pergerakan pria itu di dapur. Damon melihat sebuah bayangan di dekat kaki meja kecil di tengah ruangan. Sebelum sempat melihat lebih jauh, bayangan itu bergerak. disusul suara pintu tertutup.
Damon menghembuskan napas tertahannya bersamaan dengan Joana. Meski pria yang mengjear Joana tak lagi disana, tapi mereka tetap tidak beranjak selama beberapa menit pertama.
"Apa yang kau lakukan disini, Joana? Kita sepakat bertemu di rumah kosong dekat halte. Seharusnya kau sudah disana sekarang," tanya Damon pelan begitu mereka yakin pria itu tak akan kembali.
Damon berteman dengan Joana sejak pertama kali tiba di Red Rose, sebuah rumah besar di kawasan lokalisasi di Panma City. Miranda, seorang mucikari tersohor di Panma City sekaligus pemilik Red Rose, membawa Damon dan Joana pada hari yang sama. Bedanya, Miranda membawa Joana dari ayah tirinya yang menjualnya karena hutang judi sedangkan Damon dipungut dari jalanan. Bersama-sama beberapa remaja lainnya, mereka terjebak dalam bisnis human trafficking di Panma City. Joana beberapa tahun lebih tua darinya, tapi enatah kenapa Damon selalu merasa gadis belia itu adik perempuannya. Mungkin karena tubuhnya yang mungil. Atau karena sifatnya yang kadang kekanak-kanakan.
Dan kini, empat bulan setelah hari pertama menginjakkan kaki di Red Rose, Damon, Joana dan Lidya nekat untuk mencoba kabur. Mereka pergi diam-diam secara terpisah dan berjanji akan bertemu di sebuah bangunan kosong di belakang halte bus tua di daerah perbatasan Panma City.
"Kear... " ucap Joana berbisik.
"Siapa?"
Joana memejamkan matanya lalu berkata, "Miranda menyuruh semua bodyguardnya mencariku."
"Kenapa? Aku yakin dia tidak mengira kita berencana kabur malam ini."
Joana mengangguk. "Kearney... Kearney mencariku, Damon."
Shit.
"Kali ini dia membawa setumpuk uang. Sangat banyak." Joana menatap Damon pilu. "Kurasa Miranda tidak akan menolaknya. Dia pasti menjualku malam ini."
"Jadi yang mengejarmu adalah salah satu bodyguard Miranda?"
Joana menggeleng lemah. "Bukan. Kurasa itu salah satu orang suruhan Kearney. Dia memaksa membawaku ke sebuah hotel. Kearney memesan wine sebelum masuk ke toilet. Aku kabur saat petugas hotel datang mengantar pesanannya."
"Kenapa kau justru kembali kesini?"
"Aku harus membawa Lidya. Aku tidak bisa meninggalkannya sendirian. Dia masih terlalu kecil."
Damon mengumpat mengetahui fakta bahwa dia nyaris saja kabur sendirian tanpa tahu bahwa Joana hampir dijual sedangkan Lidya yang baru berusia sepuluh tahun masih berada di Red Rose.
"Pergilah sekarang, Joana. Aku yang akan membawa Lidya." Damon segera bergerak membuka pintu secara perlahan.
Setelah selesai mengamati kondisi lorong, Damon menarik Joana menjauh dari sana. Sesuai informasi Liliana, gadis lain yang juga terjebak bersama mereka di Red Rose, ada semacam pipa air yang sudah lama tidak terpakai di belakang dapur. Diameter pipa itu cukup untuk dilewati remaja seperti mereka. Dari sana jugalah Liliana kabur. Tak satupun dari Damon ataupun Joana yang pernah melihat pipa itu. Tapi sehari setelah Liliana menceritakan rencananya, gadis itu tidak terlihat lagi di Red Rose. Bahkan tidak pernah terdengar lagi di Panma City.
Mereka berhasil keluar tanpa ketahuan oleh satupun bodyguard Miranda. Kini, Damon sedang berjongkok di balik sebuah pohon besar, menajamkan pandangannya. Satu kali pandangannya berputar ke sekeliling, lalu dia merangkak diantara semak belukar, bergerak pelan kearah barat. Damon lantas menegakkan tubuh, melambaikan tangan pada Joana. Setelah gadis itu mendekat, Damon berkata, "Kurasa inilah yang dimaksud Liliana."
Joana mengikuti arah tatapan Damon. Tak jauh dari situ Joana melihat mulut pipa. Diameternya cukup besar hingga Joana yakin dia bisa melewatinya.
"Kau pergilah dulu. Aku akan membawa Lidya kemari. Jadi kemanapun pipa ini mengarah, setelah kau keluar, tunggulah Lidya disana."
"Bagaimana denganmu?"
Damon menggeleng.
"Aku tidak akan pergi tanpamu, Damon."
"Pergilah. Aku harus bergegas membawa Lidya. Kearney pasti sudah mengadu pada Miranda sekarang. Akan lebih sulit bagiku membawa Lidya keluar kalau bodyguard Miranda semakin gencar berkeliaran."
"Tetap saja. Kita harus pergi bersama."
"Tidakkah kau mengerti, Joana? Pipa itu memang cukup besar untuk kau lewati. Tapi aku tidak akan muat disana."
Memang benar, meskipun Damon masih remaja di bawah umur, tapi siapapun yang tidak mengenalnya dengan baik pasti akan mengira dia pemuda berusia dua puluhan. Penampilan fisiknya sama sekali tidak terlihat seperti bocah dibawah umur. Damon tidak akan bisa melewati pipa itu.
"Aku kan menyusulmu segera. Kita bertemu di halte. Pergilah, Joana. Sekarang!" ucap Damon tegas.
***
Klik.
Damon mengernyit menyambut cahaya terang dari lampu yang baru saja dinyalakan Miranda. Matanya menatap tajam pada pria berbaju hitam yang menjulang di samping Miranda. Damon yakin belum pernah melihat pria itu di Red Rose sebelumnya. Bodyguard baru Miranda?
"Jadi, ayo kita ulangi lagi," kata Miranda mencemooh sambil menggenggam segumpal rambut Damon. "Dimana Joana?"
Damon tidak mampu menahan rintihannya ketika kuku-kuku panjang Miranda menyentuh luka di kulit kepalanya. Luka akibat hantaman si pria baju hitam. Perutnya bergolak. Sudut bibirnya yang masih mengeluarkan darah berkedut nyeri. Dia harus menahan sakit di sekujur dadanya setiap kali dia bernafas. Dengan mata setengah terbuka, Damon masih dapat melihat ceceran darah di depannya.
Setidaknya Lidya sudah pergi menyusuri pipa. Pada awalnya gadis kecil itu terlihat takut dan enggan untuk merangkak memasuki pipa. Tapi Damon berhasil memaksanya. Sekarang dia hanya berharap Joana dan Lidya berhasil kabur.
Miranda menarik rambutnya lagi dengan lebih keras. Sepertinya wanita jalang ini tahu bagian mana di kepalanya yang terluka dan sengaja menambah sakitnya.
"Aku tanya, dimana Joana?"
Damon menjawab dengan gelengan kecil.
Sebuah tendangan mendarat di paha kanannya. Damon melotot menatap pria baju hitam tadi.
"Lebih baik kau segera jawab pertanyaannya dan katakan dimana gadis itu. Atau..." Pria itu menggerakkan tangannya memperlihatkan sebuah belati dengan ujung yang runcing. "Atau kau bisa ucapkan selamat tinggal pada duniamu yang menyedihkan malam ini."
Apa memang hanya sampai disini saja? Apa aku tidak punya kesempatan lain?
Damon seketika teringat ibunya. Ah, wanita itu pasti masih bersedih karena dirinya. Tapi jika ancaman Darren Sullivan bukan sekedar gertakan, maka Damon bersyukur dia menghilang. Dia hanya bisa berdoa agar ibunya bisa berbahagia menjalani hidup baru dengan suami barunya. Satu-satunya hal yang Damon sesali mungkin adalah dia tidak ada dalam kebahagiaan itu. Dia tidak akan ada lagi dalam hidup ibunya.
"Sepertinya kau memang ingin mati. Yah, lagipula Joana bukan gadis nekat seperti Liliana. Cepat atau lambat, orang-orangku pasti akan menemukannya. Apalagi Kearney sangat menyukai gadis itu. Semakin kecil peluang Joana untuk lari," kata Miranda sambil melepaskan cengkramannya.
"Ku ucapkan selamat, Damon. Kau akhirnya terbebas dari Red Rose seperti yang kau inginkan. Akan kupastikan mayatmu membusuk di selokan di belakang Red Rose," lanjut Miranda sambil tersenyum miring. "Bunuh saja dia, John."
Pria yang dipanggil John itu bergerak mendekat. Tepat ketika belati itu nyaris menembus kulitnya, pintu di belakang mereka terbuka dan Kearney melangkah masuk.
"Well, well... jadi daripada berupaya maksimal menemukan Joana-ku, kalian lebih memilih menyibukkan diri dengan bocah ini?"
"Mr. Flabio, aku yakin bocah ini tahu dimana Joana. Tapi meski John sudah menghajarnya habis-habisan, dia tetap tidak mengatakan apapun," kata Miranda membela diri. Raut cemas menghapus ekspresi licik Miranda sepenuhnya. Sekilas, Damon melihat sesuatu yang lain dalam mata wanita paruh baya itu. Takut? Miranda takut pada Kearney Flabio?
"Kurasa dia berkata jujur."
Ucapan Kearney membuat semua orang dalam ruangan kecil itu menoleh menatapnya.
"Tentu saja dia tidak benar-benar tahu dimana Joana sekarang. Karena dia juga tidak bisa memastikan apakah Joana sampai ke halte atau tidak." Senyum miring pria itu jelas merupakan ejekan untuk Damon. Tapi Damon cukup pintar untuk tidak terpancing.
Miranda tampak terkejut. "Kau sudah menemukannya?"
"Tentu saja."
Keterkejutan Miranda segera berubah menjadi keceriaan dan kelegaan. "Artinya, transaksi kita tetap berjalan, bukan?"
Kearney mengangguk. "Alfonso! Bawa dia kesini!"
Segera, seorang pria bertubuh tinggi besar memasuki ruangan bersama seorang gadis. Damon membelalak menatap Joana di depannya.
Apa yang kau lakukan? Kenapa kau sampai tertangkap? Bagaimana dengan Lidya?
Damon menahan keinginannya untuk meneriakkan pertanyaan tadi. Lantas, untuk apa segala upaya dan rasa sakit yang harus dia tahan mati-matian? Semua itu bukan untuk melihat Joana di tempat terkutuk ini lagi.
Diantara air matanya, Joana menatap Damon lekat, seakan dia paham pertanyaan tanpa suara yang Damon katakan melalui pandangannya. Joana hanya mengangguk kecil.
"Tentu saja bocah ini tidak tahu Joana sudah berada ditempatnya yang seharusnya. Jadi kuberi tahu kau bocah, tempat Joana adalah bersamaku!" ucap Kearney dingin.
Damon bukan pengecut, tapi dia tahu kapan harus berhenti melawan. Dia cukup pintar untuk mengetahui lawan seperti apa Kearney. Damon pasti hancur jika memaksakan diri dalam arena pertempuran yang sama dengan Kearney. Pertempuran yang tidak akan dimenangkan olehnya.
"Kau cukup pintar dan gigih untuk ukuran seorang bocah," tatapan Kearney bergerak dari ujung kaki Damon. "Kau bahkan tidak terlihat seperti bocah kebanyakan. Jujur saja, saat pertama melihatmu, kupikir kau salah salah satu pasukan Miranda?"
Pasukan?
Pasukan adalah bagaimana orang-orang menyebut pria dan wanita penghibur milik Miranda. Damon menatap Miranda sekilas lalu mendengus muak.
"Beraninya kau..." Miranda bergerak maju namun tangan Kearney memberinya isyarat untuk berhenti.
"Kau punya nyali," kata Kearney. Damon membalas tatapannya. Dia sudah sampai pada titik kalah dalam hidupnya dan beberapa menit lalu siap menerima belati tajam mengaduk perutnya. Jadi tidak ada gunanya memperlihatkan rasa takut pada Kearney sekarang. Damon menatap Kearney tepat di matanya dan pikiran Damon dibanjiri berbagai hal.
"Damon, apapun yang terjadi, jangan pernah mengatakan atau menunjukkannya pada orang lain selain Mommy. Kau mengerti? Tidak boleh ada orang lain yang tahu apa yang bisa kau lakukan. Tidak ada yang boleh tahu tentang kau yang bisa mendengar pikiran orang lain. Kau harus menyimpan kemampuanmu itu sendiri. Itu bisa berbahaya. Kau mengerti kan? Berjanjilah pada Mommy kau akan diam saja dan tidak melakukan apapun."
Suara lembut ibunya masih terngiang jelas dalam ingatannya. Bagaimana ibunya yang sarat kekhawatiran itu menasehatinya untuk merahasiakan kemampuannya. Tapi sekarang Damon tidak peduli. Ia yakin Miranda pasti akan membunuhnya. Jadi tidak perlu menahan diri.
"Dan kau punya istri yang menarik. Jadi Joana akan jadi simpananmu?" ucap Damon pelan.
Kearney terhenyak. Pria itu mendekat dan bersimpuh di depan Damon.
"Istrimu pastinya sangat menarik hingga bisa memilih pria lain yang jauh lebih muda. Bagaimana dengan putramu? Oh, sepertinya dia masih kecewa. Sepertinya kau juga sudah memutuskan mengirimnya ke Los Angeles."
Kearney mengernyit terkejut. "Bagaimana kau tahu?"
"Kau yang memberitahuku," bisik Damon perlahan. "Kalau kau tidak ingin aku tahu, maka jangan pikirkan apapun."
Sepasang mata Kearney kini membelalak menatapnya. Beberapa saat kemudian, mata itu menatapnya tajam, menilai. Lalu senyum sombong terukir di bibirnya.
"Siapa namamu?"
Damon mendengus. "Apa kau bermaksud memberikan ukiran pada batu nisanku? Aku tidak tahu kau orang yang baik hati," kata Damon datar.
"Namanya Damon," jawab Miranda.
Kearney lalu berdiri. Dengan isyarat mata, pria bertubuh besar itu membawa Joana keluar. Lalu di saat terakhir sebelum kesadarannya hilang, Damon mendengar Kearney berkata,
"Miranda, aku menginginkan bocah ini juga. Berapapun harganya."
***
ns3.134.105.118da2