Sebuah mobil SUV hitam baru saja memasuki kawasan lahan parkir rumah sakit Brigham. Pintu depannya terbuka tepat setelah mobil itu terparkir di salah satu area terjauh, di barisan paling belakang. Seorang pria bertubuh tinggi besar dan berambut cokelat berjalan menuju pintu masuk bagian belakang rumah sakit yang hanya berjarak kurang dari sepuluh meter jauhnya. Dari tempatnya, pria itu dapat melihat banyaknya orang-orang yang berkumpul di area pintu belakang rumah sakit. Beberapa diantaranya terlihat terang-terangan menyalakan kamera. Pria itu berhenti sejenak, berbalik, meraih topi serta kacamata hitam dari messenger bag yang dibawanya. Kemudian, setelah memastikan wajahnya tidak terlalu mudah dikenali, pria itu berbalik dan berjalan gontai menembus kerumunan para wartawan.
Kondisi di dalam tidak jauh berbeda dengan rumah sakit lainnya. Dokter dan perawat sibuk kesana kemari, aroma antiseptik menguar memenuhi penciuman dan banyak orang berlalu lalang. Yang membedakan mungkin karena keberadaan wartawan disana. Kalau di pintu belakang saja cukup ramai, maka kondisi di pintu depan pasti lebih menyesakkan lagi.
Dua orang pria yang berdiri dekat resepsionis langsung memandangnya seketika sejak ia menutup pintu masuk. Dua orang itu, yang salah satunya mengenakan jas putih khas kedokteran, berjalan mendekat dengan tatapan datar.
"Mr. Tobby Holt?" tanya si pria jas putih.
Pria itu membalas dengan anggukan, kemudian menjawab, "Ya. Apakah Anda dokter yang ditunjuk oleh pihak pengadilan untuk menemuiku hari ini?"
"Benar. Aku dokter Chris Aberton. Aku mendapat permintaan dari pengadilan dan kejaksaan untuk membantu memonitor kondisi kesehatan tersangka kasus pembunuhan Amy Marlon hingga vonis dijatuhkan," kata dokter Chris.
"Aku pengacara Scott Nicholson, tersangka kasus yang kau maksud. Terima kasih atas kerja samamu, dok," kata Tobby sambil mengarahkan pandangannya pada pria yang satu lagi. Pria itu membalas pandangan Tobby dan mengulurkan tangan kanannya. "Aku Darius, pengawas yang dikirim kejaksaan. Aku ditugaskan bersama dokter Chris untuk memastikan prosedur dilakukan sesuai yang diminta oleh Hakim."
Tobby melirik sekilas tangan tersebut sebelum akhirnya menjabatnya sambil mengulangi ucapan terima kasihnya. "Aku diberitahu untuk datang melalui pintu belakang karena pintu depan akan sangat penuh," ucap Tobby.
"Yah, well... yang kudengar hari ini Elizabeth Marlon, putri korban akhirnya diizinkan pulang dari rumah sakit."
"Itu kabar bagus. Artinya gadis itu benar-benar sudah sehat dan bangkit dari cengkraman rasa shock pasca kematian tragis ibunya."
"Kuharap begitu, Mr. Holt. Menurut keterangan Candice-maksudku dokter Gilbert, dokter yang bertanggung jawab atas gadis itu, yah dia bilang kondisinya sudah cukup stabil. Namun sebaiknya dia tinggal diluar kota semenatra ini."
"Tentu saja. Aku khawatir para wartawan itu bisa memotivasinya kembali ke rumah sakit."
"Aku minta maaf, tapi apa kalian berencana langsung untuk memeriksa kondisi tersangka?" pertanyaan Darius memaksa dokter Chris dan Tobby menghentikan obrolannya.
"Oke. Aku sudah mengatur agar persiapan pemeriksaan Mr. Scott Nicholson tidak terlihat mencolok. Lewat sini," ujar dokter Chris sambil mulai melangkah.
***
Sebuah batu kecil membuat langkah Aiden tersandung, nyaris membuatnya terjatuh. Sambil menggerutu menimpakan kesalahan pada batu malang itu, Aiden memindahkan ranselnya ke bangku belakang mobil hitam Hayden yang sudah dipinjamnya selama hampir tiga hari ini. Tiga hari mengerikan setelah satu minggu panjang yang menyiksa.
Aiden menutup pintu kemudi, lalu mendesah keras. Ditatapnya jalan lengang yang membentang dihadapannya. Pikirannya yang kacau beberapa hari lalu membuatnya tidak sadar berapa jauh jarak yang sudah ditempuhnya hingga dia melihat papan nama kota Dallas. Tadinya, Aiden hanya ingin berkeliling untuk menjernihkan kembali pikirannya tanpa menyadari bahwa ia telah berkendara terlalu jauh.
Tatapannya beralih ke motel sederhana tempatnya menginap semalam. Letaknya yang tepat di dekat pantai jelas strategis, tapi dengan bangunan lama dan pelayanan serta fasilitas terbatas, pemilik motel itu perlu renovasi besar-besaran jika masih ingin bertahan. Setidaknya motel itu bisa mendapat cat baru. Warna biru cat lamanya sudah mulai mengelupas di beberapa bagian. Dengan hamparan luas pantai dan Samudra tak jauh di belakangnya. Motel itu terlihat menyatu dalam birunya laut dan langit. Faktor kekontrasan jelas sangat perlu ditambahkan dalam daftar renovasi. Mungkin sebaiknya motel itu di cat warna kuning muda, atau beige, atau hijau, atau... tunggu dulu. Hijau? Gagasan itu otomatis mengingatkannya pada seseorang dengan warna mata yang sama, ratusan kilometer dari tempatnya sekarang.
Shit!
Maki Aiden dalam hati. Dia sudah menempuh jarak sejauh ini untuk membuat tubuhnya letih sehingga tidak sanggup lagi untuk melakukan apapun selain tidur. Tidur adalah satu-satunya saat ketika Aiden tidak perlu khawatir dengan apa yang harus dan tidak harus dia pikirkan. Semalam, setidaknya selama beberapa jam pertama, Aiden sungguh hanya tidur. Benar-benar tidur, hingga pasangan penghuni kamar motel di sebelahnya bercinta dengan suara gaduh. Desahan dan suara geraman tertahan itu membuatnya terjaga. Aiden berteriak di depan pintu kamar pasangan itu untuk memberitahu bahwa aktivitas mereka telah mengganggunya. Dan tampaknya berhasil. Atau setidaknya begitulah asumsi Aiden. Sayangnya, beberapa saat kemudian, suara gaduh itu berlanjut. Aiden lalu melontarkan umpatan yang pasti akan membuat preman jalanan malu.
Aiden mulai terlelap pada tengah malam, setelah suara gaduh itu benar-benar tak lagi terdengar. Tapi sepertinya nasib baik memang tidak sedang berpihak padanya. Sesaat setelah ia terjatuh ke alam tidur, pikirannya justru memutar ulang adegan suara gaduh di kamar sebelah. Namun kali ini, desahan dan geraman tertahan itu datang darinya, dan seorang gadis yang menggeliat di bawah tubuhnya. Aiden menundukkan wajahnya dan tatapannya beradu dengan sepasang mata berwarna hijau zamrud.
Damn it!!
Ketika akhirnya menyerah, Aiden berpikir menyingkir sesaat mungkin dapat membantunya menata ulang pondasi pikirannya yang kacau tak beraturan. Tapi siapa yang hendak dia bohongi? Bahkan otak dan hatinya pun sependapat bahwa yang dia lakukan saat ini adalah lari dari kenyataan. Mungkin sudah waktunya bagi Aiden untuk menyerah. Mungkin kini waktunya untuk menghadapi apapun masalah di depannya.
Titik balik itulah yang membuatnya berkemas dan sekarang ini duduk di balik kemudi pick up hitam Hayden, bersiap menelan ratusan kilometer untuk kembali ke Costa City.
Aiden menyalakan radio, kemudian menginjak pedal gas cukup dalam hingga mobil itu meluncur cepat di jalanan yang masih sangat sepi. Aiden melirik kaca spion, rasanya tidak salah kalau menyimpulkan mungkin hanya dia satu-satunya pengemudi di jalanan saat ini. Langit masih gelap, bahkan bulan masih terlihat. Mengurangi keawaspadaannya, Aiden menyambar ponsel yang dia simpan di dashboard mobil dan menekan tombol power.
Begitu ponselnya menyala, yang pertama kali dilakukan Aiden adalah memeriksa kotak pesannya. Dia telah sengaja menonaktifkan ponselnya sejak tiga hari lalu. Jika Hayden tidak berhasil menghubunginya, pria itu pasti akan meninggalkan pesan. Tapi tidak ada apapun di kotak pesannya. Aiden mengecek daftar panggilan teleponnya. Nihil. Tidak ada apapun. Berikutnya email. Sama saja. Tidak ada siapapun yang menghubunginya. Apakah sekarang saat yang tepat untuk khawatir bahwa orang-orang mulai melupakannya? Koreksi, orang-orang mungkin sudah melupakannya.
Baru saja dia berniat menghubungi Hayden, tapi siaran berita tengah malam yang dia dengar dari radio itu menghentikannya.
"Informasi terbaru seputar perkembangan penyelidikan kasus pembunuhan Amy Marlon. Saat ini tersangka, Scott Nicholson sedang dalam perjalanan ke rumah sakit Brigham untuk menjalani pemeriksaaan lebih lanjut yang akan dilakukan oleh dokter dan pengawas yang ditunjuk oleh pengadilan dan kejaksaan. Pemeriksaan tersebut dijadwalkan pada siang hari ini. Sementara itu, putri sang korban, yaitu Miss Elizabeth Marlon telah dikonfirmasi akan meninggalkan rumah sakit pada hari yang sama. Belum ada informasi lebih lanjut pukul berapa Miss Elizabeth Marlon akan meninggalkan rumah sakit, tapi area rumah sakit Brigham tampaknya sudah dikelilingi wartawan. Kita tunggu saja."
"Well, kabar selanjutnya, Profesor Albert dan istrinya saat ini sedang mempertimbangkan untuk melakukan suntik mati pada putrinya yang telah koma selama hampir enam bulan lamanya. Kabarnya... "
Aiden tertegun.
Tersangkanya sudah ditetapkan? Bahkan pengadilan dan kejaksaan juga sudah terlibat? Artinya, proses interogasi pasti sudah dilakukan. Apa karena itu Hayden tidak menghubungiku?
Aiden menyimpan kembali ponselnya, lalu menginjak pedal gas lebih dalam lagi.
***
"Kondisi dua tulang rusuknya yang retak serta memar pada perut kanannya sudah membaik. Meski begitu kondisi kesehatannya masih harus terus dipantau untuk memastikan tidak terjadi infeksi pada organ dalamnya. Memar itu pasti masih menimbulkan rasa nyeri luar biasa," kata Chris.
Saat ini mereka bersama beberapa orang polisi sedang mengamati Scott dari balik dinding kaca sebuah ruangan khusus. Dalam ruangan itu terdapat beberapa peralatan kedokteran dan sebuah tempat tidur pasien. Scott duduk di sebuah kursi berwarna hitam yang terletak di depan tempat tidur itu. Dihadapannya, seorang pria yang diketahui Tobby sebagai psikolog sedang melakukan perbincangan. Konseling, menurut sebutan Chris. Sebuah meja persegi yang tidak terlalu besar memisahkan mereka. Tidak seperti ruangan interogasi, tentu saja Scott berada di ruangan ini dia dapat melihat siapa saja yang memperhatikannya diluar. Namun pria botak itu hanya melemparkan tatapan datar pada setiap orang. Setelah cukup lama, pria itupun keluar ruangan meninggalkan Scott seorang diri.
"Bagaimana kondisi psikisnya, Liam?" tanya Chris.
"Well, secara psikis... sepertinya dia merasa terbebani. Dugaanku, rasa bersalah. Hanya saja dia tidak mau membuka diri lebih jauh padaku sehingga aku tidak bisa mengatakan secara pasti apa benar dia terbebani rasa bersalah atau karena sebab lain," kata Liam, sang psikolog, menjelaskan.
"Hal lain apa yang bisa mengganggunya selain rasa bersalah?" kali ini Darius yang bertanya.
"Penyebabnya bisa bermacam-macam."
"Aku hanya memintamu menyebutkan satu."
Liam menatap Darius tajam. "Dalam kasus seperti ini, selain rasa bersalah, biasanya para pelaku akan merasa terbebani karena hati nuraninya. Seringkali mereka melakukan kejahatan berdasarkan insting atau menuruti suasana hati. Jadi ketika dia menyadari hal buruk apa yang sudah dilakukannya, biasanya akan memunculkan pertentangan dengan nuraninya. Atau... sebab lain, bisa juga tekanan karena merasa terdesak. Pada banyak kasus, mereka yang terdesak karena mendapat ancaman dari pihak lain seringkali menunjukkan sikap yang sama dengan yang diperlihatkan oleh Mr. Nicholson sekarang. Tapi dugaan terkuatku adalah, dia terlalu merasa bersalah."
Liam melemparkan pandangan kembali pada Scott. Pria itu duduk diam dengan kepala tertunduk. Sepanjang perbicangan tadi pun, tidak terjadi kontak mata antara Liam dan Scott. Pria itu lebih terlihat seperti tubuh kosong.
"Bisakah aku mendapat waktu untuk bicara berdua dengan klienku?" tanya Tobby. Salah satu dari petugas polisi yang ada disana membukakan pintu untuk Tobby dan mempersilakannya masuk setelah mengingatkan berapa lama mereka bisa berbicara berdua.
Tobby meletakkan tasnya di sudut meja sambil bergerak menyentuh kursi dengan pinggangnya. Sebuah gerakan sederhana yang tidak menimbulkan curiga bagi siapapun di balik kaca yang sedang mengamati. Yang tidak mereka sadari, Tobby sengaja melakukannya. Gerakan santai dan wajar tadi sengaja dimaksudkan untuk menggeser posisi kursi hingga sekarang ketika dia duduk, siapapun di balik kaca itu hanya akan dapat melihat punggung dan bagian belakang kepalanya. Posisi itu juga sekaligus sedikit menghalangi Scott.
"Bagaimana kabarmu, Scott?"
Scott hanya terdiam, tidak bergeming untuk beberapa menit pertama. "Bagaimana kabar John? Apa dia masih hidup?" ujar Scott pelan.
Amarah terpancar dari tatapan Tobby.tangannya yang berada diatas meja mengepal erat. "Kakakku bukan orang lemah."
"Kuasumsikan dia masih hidup, kalau begitu."
"Jaga sikapmu, Scott. Mereka mengirimku kesini untuk memastikan kau tidak bicara apapun."
"Memangnya apa yang bisa kukatakan?"
"Kau tahu maksudku."
"Entahlah. Aku tidak yakin yang sedang kau maksud sama dengan yang kupikirkan."
"Kau tidak boleh mengatakan bahwa para polisi bodoh itu menangkap orang yang salah. Kau tidak boleh menyebutkan apapun tentang kakakmu. Bos masih memiliki misi untuknya."
"Kapan mereka akan berhenti menyuruhnya membunuh?"
"Kurasa jawabannya adalah tidak pernah. Lagi pula aku belum pernah mendengar Gregory mengeluh tentang dirinya sebagai algojo. Meskipun dia tidak sebaik Blue Eyes."
Scott mengangkat wajahnya menatap Tobby. "Siapa lagi yang akan mati kali ini? Bukankah bukti keterlibatan mereka yang tertulis pada catatan penyelidikan Amy atas kematian Anna sudah tidak ada? Rafael langsung menghancurkannya setelah kuserahkan."
Tobby menelengkan kepalanya, menatap geli. "Sebenarnya aku tidak perlu memberitahumu. Tapi karena kupikir kau akan mati bosan di penjara, yang ngomong-ngomong akan jadi tempat tinggalmu dalam waktu yang cukup lama, akan kuceritakan sesuatu yang menarik."
Tobby mencondongkan tubuhnya kedepan. Senyum remeh tersungging di bibirnya sebelum berkata, "John mendengar ada saksi mata pada kasus pembunuhan Anna sepuluh tahun lalu. Dan dia melihat sendiri bagaimana kedekatan saksi itu dengan wakil kepala polisi. Jadi tentu saja Bos menyuruh John menangkap gadis itu dan membawanya ke Palazo."
"Dan tentu saja kakakmu John itu gagal melakukannya," kata Scott dengan tataan mengejek.
Sekarang senyuman itu hilang dari wajah Tobby. Pria itu menatap Scott tajam, bibirnya mengatup erat, dan matanya memancarkan kebencian. Namun sesaat kemudian, dia tersenyum licik.
"Yah, dan karena itulah aku ada disini. Sebagai pengacaramu aku akan memastikan kau tinggal lama di penjara. Well, cukup lama sehingga kakakmu, Gregory, akan punya cukup waktu berkeliaran diluar sana untuk membereskan si gadis saksi itu."
Sebelum Scott mengatakan apapun, pintu ruangan terbuka menampakkan salah seorang polisi yang mengatakan bahwa waktu Tobby untuk bicara dengan kliennya sudah habis. Polisi itu memborgol Scott kembali, lalu menggiringnya untuk keluar melalui pintu belakang.
Selama perjalanan menuju pintu keluar, Scott terus mengulang ucapan Tobby di kepalanya. Siapa gadis itu? Bagaimana mungkin gadis itu masih mengingat kejadian pembunuhan sepuluh tahun lalu? Kenapa gadis itu tidak muncul pada saat kasus kematian Adrianna diberitakan secara besar-besaran? Tiba-tiba sebuah ingatan muncul memenuhi kepalanya.
Mungkinkah gadis cilik itu saksinya? Gadis kecil yang datang menghampiri mayat Adria bersama Damon? Jika benar gadis itu masih hidup dan mengingat kejadian pembunuhan itu, apa mungkin dia masih bisa mengenali Gregory?
Scott memikirkan segala kemungkinan. Kata-kata Tobby tentang kedekatan gadis itu dengan wakil kepala polisi juga menyita perhatiannya. Besar kemungkinan gadis itu sudah bersaksi pada Hawthorne.
Disaat sibuk dengan pikirannya sendiri, Scott tidak menyadari ada seseorang yang menatapnya lekat, hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri. Setelah duduk di kursi belakang mobil polisi, Scott baru menyadari pria itu. Scott menoleh, menyadari pria itu memandang tajam padanya. Scott melirik pria itu hingga mobil melaju meninggalkan halaman parkir rumah sakit Brigham. Scott mencoba menoleh kebelakang, tapi pria itu sudah tidak ada.
***
Sorry for typo. If you want to read a chapter ahead, you can read it free on my wattpad (The Black Angel by ghian7st)
-ghian7st-
ns3.17.81.34da2