Mr. Russo kembali menghampiri meja di sudut kanan. Senyum ramah yang memuakkan menghiasi wajahnya. Lagi. Pria buncit itu sudah beberapa kali kembali menyambangi meja itu sejak pagi tadi.
"Mungkin ada pesanan lain?" suara manis yang terdengar dibuat-buat itu membuat Irina meringis. Bosnya jelas berusaha terlalu keras.
Salah satu wanita yang duduk di kursi meja itu mendongak dan mengatakan tidak tanpa tersenyum. Biasanya bosnya akan tersinggung diperlakukan seperti itu. Tapi sepertinya hari ini pengecualian. Wanita cantik jelas selalu menjadi pengecualian bagi bosnya.
"Terima kasih. Tapi kami akan memastikan staff anda tahu jika kami berencana menambah pesanan lagi," wanita yang lainnya menjawab pertanyaan Mr. Russo dengan penuh kesopanan. Irina pasti akan bertepuk tangan mengagumi kemampuan wanita itu dalam bersikap menghadapi bosnya, seandainya dia tidak butuh pekerjaan ini.
Mr. Russo tersenyum lagi dan dengan enggan beranjak. Tapi bukannya kembali ke ruangannya seperti biasa, pria itu justru berdiri di dekat counter kasir, area kerja Irina.
"Apa mereka memasan lagi, Sir?" tanya Irina basa-basi.
"Mungkin nanti," ucap pria itu penuh arti.
Irina bergidik mendengarnya. "Yah mungkin. Ice cappuccino itu baru sampai di meja mereka sekitar sepuluh menit lalu, Sir."
"Mereka sudah berada disana sejak pagi. Pasti karena mereka suka berada disini." Senyum itu muncul lagi di bibir bosnya dan Irina mendapati dirinya jengah berada di sana. Jadi dia berinisiatif membersihkan meja di dekat meja dua wanita tadi, meskipun sebenarnya area itu merupakan tanggung jawab Edward.
Irina hampir selesai membersihkan meja saat merasa seseorang memperhatikannya. Refleks, dia menoleh cepat. Pencariannya berhenti saat bertatapan dengan sepasang mata cokelat di dekatnya. "Kau butuh sesuatu?" tanya Irina.
Wanita yang tadi memberikan jawaban penuh kesopanan itu menggeleng pelan sambil tersenyum menatapnya. "Kau punya mata yang indah."
"Thanks, Miss." Irina menjawab singkat penuh kebingungan. Wanita itu secantik temannya, tapi dia memiliki aura yang sulit diabaikan. Garis wajahnya sangat khas keturunan Asia. Dengan mata berwarna cokelat, hidung mungil mancung, alis hitam dan bulu mata lentik berwarna senada, memberikan kesan lembut. Sangat tidak sesuai dengan aura yang ditangkap Irina. Irina merasa... apa? Terintimidasi? Takut? Bukan, bukan. Lebih tepatnya, wanita itu membuatnya merasa waspada.
Wanita itu tersenyum simpul sebelum berbicara, "Aku Adya. Rasanya aneh saat orang lain memanggilku Miss. Boleh aku memanggilmu Irina?"
Kebingungan Irina bertambah. Adya menunjuk tulisan yang tercantum di dada kanan seragamnya.
Oh ya, tentu saja dia bisa membaca namaku.
"Sure," jawab Irina ramah. Wanita cantik di hadapan Adya menatapnya penuh spekulasi seperti pembeli barang antik menilai komponen historis barang yang hendak dibeli.
Adya nampaknya menyadari ketidaknyamanan Irina hingga berkata, "Jangan begitu Lexi."
Wanita yang dipanggil Lexi tadi seketika mengerjap tersadar. "Oh maaf. Aku tidak bermaksud untuk tidak sopan. Hanya saja kau mirip dengan seseorang yang pernah kulihat."
Lexi tersenyum meminta maaf. Dia sangat cantik. Wajahnya oval dibingkai rambut tebal bergelombang melewati bahunya. Hidung mancung, rahang tegas dengan dagu runcing yang menonjolkan tulang pipi dan menyempurnakan bentuk wajahnya. Mata cokelatnya dihiasi bulu mata tebal dan lentik, alis mata panjang yang melengkung dari ujung mata ke ujung lainnya memberikan kesan tajam dan serius sekaligus tegas mempesona. Wajah itulah yang menarik Mr.Russo untuk berulang kali kembali menyambangi meja mereka.
Bibir sensual Lexi dihiasi lipstick berwarna coral pink masih menyunggingkan senyum saat pandangannya terangkat, bergerak menatap sesuatu di belakang Irina.
Atau seseorang.
Irina berbalik dan bertatapan langsung dengan Hayden Hawthorne.
"Kapan jam istirahatmu?" Pria itu bertanya bahkan tanpa menyapanya setelah berderap menghampiri Irina.
"Sebentar lagi. Kurasa setelah selesai dengan meja ini aku bisa istirahat." Irina menjawab dengan heran.
"Oke. Aku akan menunggumu. Ada hal yang ingin aku pastikan."
Kenapa Hayden tiba-tiba menemuinya? Irina tidak ingat memiliki urusan dengan Hayden. Satu-satunya yang berkaitan dengan Hayden yang mungkin menjadi urusan Irina adalah... Aiden. Pikiran bahwa mungkin terjadi sesuatu pada Aiden mengoyak hatinya. No! Dia tidak ingin pikirannya teralihkan lagi. Lebih baik mengutamakan rasa sakit hatinya daripada membiarkan kekhawatirannya berkelana.
"Apa ini tentang Aiden?" Irina pasti salah saat menangkap lirikan tertarik dua wanita di dekatnya saat dia menyebut nama Aiden.
"Bukan. Ini tentang yang tadi pagi."
"Maksudmu pakaian yang kutitipkan?"
"Bukan. Yang setelahnya."
Irina nampak berpikir sesaat sebelum kesadaran menghantamnya. Adria.
"Kau harus memesan sesuatu kalau ingin menunggu di dalam sini. Bosku sangat perhitungan. Dan karena aku tidak cantik, aku bukan pengecualian dalam perhitungannya."
Hayden pasti sudah tertawa jika Irina mengatakannya pada kesempatan lain saat pikirannya tidak dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang mendesak untuk dilontarkan.
"Oke. Aku pesan yang biasanya."
Irina mengangguk dan berjalan menunju counter diikuti Hayden beberapa langkah dibelakangnya.
Setelah membayar, Hayden duduk di meja di sudut kiri, meja yang pernah ditempatinya saat sarapan dengan Aiden beberapa minggu lalu. Matanya bergerak gelisah memandang area parkir rumah sakit Brigham selagi menunggu Irina.
"Sorry, tapi kurasa ini milikmu."
Sebuah suara mengejutkan Hayden. Dia mendongak, menatap wanita cantik di depannya.
"Terjatuh saat kau bicara dengan Irina tadi." Lexi meletakkan foto itu di meja dekat tangan Hayden bersandar.
Terlalu terpesona, Hayden tidak mengatakan apapun. Dia hanya menatap Lexi penuh minat.
"Ck. Your welcome?" ucap Lexi sambil melangkah mundur.
"Oh. Sorry. Yah.. um.. thanks," kata Hayden. Lexi berbalik, tersenyum. Sekelebat rasa panik menyerangnya saat menyadari langkah-langkah ringan Lexi. Pasti pikiran kacaunya yang membuatnya merasa seperti tidak ingin melepas wanita seksi di depannya. "Kau teman Irina?" Hayden bahkan tidak menyadari itu suaranya sampai Lexi berhenti dan kembali memandangnya.
"Aku hanya kebetulan hangout bersama temanku disini." Lexi menggeleng pelan.
Hayden melirik kebelakang melewati lengan Lexi. Seorang wanita keturunan Asia tengah memandang penasaran ke arahnya sambil tersenyum ramah.
Hayden tersenyum miring sambil mengangguk kecil.
"Apa kau ingin bicara sekarang, Hayden? Atau kau ingin aku kembali nanti?" Pertanyaan ragu-ragu Irina dibalas senyuman oleh Lexi sebelum kembali melangkah ke mejanya.
"Yah. Dia memang cantik," ujar Irina setelah menyadari tatapan Hayden belum berpaling dari punggung Lexi yang bergerak menjauh. "Bosku juga tersihir oleh kecantikan yang sama."
Irina meletakkan sandwich dan ice americano Hayden di meja, sebelum bertanya dengan kesal, "Well... kalau kau ingin bicara tentang Aiden, lupakan saja."
Tentu saja Irina kesal. Pria didepannya itu sudah membuatnya terpakasa mengucapkan nama Aiden lagi. Dua kali. Dua kali dalam satu hari yang sama.
Kalimat ketus Irina membuat salah satu alis mata Hayden naik. "Kurasa sudah kukatakan aku tidak bermaksud membicarakan masalah asmaramu dengan Aiden. Kalian urus saja sendiri."
Irina jelas keberatan dengan pilihan kata Hayden dalam menyebut masalahnya dengan Aiden tapi dia memilih diam.
"Bisa kau katakan lagi tentang Adria?"
Irina menatap Hayden tajam. "Tadi pagi kau tidak percaya. Kenapa sekarang kau bertanya?"
"Dengar, aku minta maaf soal sikapku tadi pagi. aku mengenal gadis itu sebagai Anna Mason dan baru saja tahu bahwa nama lengkapnya dulu adalah Adrianna Mason. Hanya keluarga dan orang-orang tertentu saja yang memanggilnya Adria."
"Dia kasusmu?"
Hayden sadar dia tidak boleh menyampaikan informasi terlalu banyak. Tapi Hayden yakin Irina tidak akan terbuka tanpa informasi yang layak. Dan label layak itu biasanya di putuskan setelah banyak informasi di serah terimakan. "Kau ingat kasus pembunuhan seorang programmer yang bekerja di Watson High School?"
"Yah. Aku dengar kasus itu. Orang-orang di apartemen tempatku tinggal membicarakannya berulang kali. Sangat mengerikan, apalagi kami tinggal tidak jauh dari TKP."
"Yah. Korban bernama Amy Marlon, mantan istri James Marlon, pengusaha perkebunan anggur di Minas. Amy Marlon atau yang sebelum menikah bernama Amy Mason adalah adik kandung Adrianna Mason. Singkatnya, penyelidikanku terkait kasus pembunuhan Amy entah bagaimana sepertinya berhubungan dengan kasus kematian kakaknya."
Hayden kemudian meletakkan sebuah benda persegi kecil berwarna hitam. Irina yang mengenalinya sebagai voice recorder memandang Hayden penuh konsentrasi. "Maaf kalau kau keberatan. Tapi ini bukan prosedur resmi. Aku hanya perlu merekamnya karena aku bukan pendengar yang baik."
Hayden tersenyum meminta maaf. "Pagi tadi kau bilang Anna adalah korban pembunuhan. Kau bilang kau tahu dia korban pembunuhan. Bisa kau katakan kapan kau mulai bertemu dengan Anna?"
Irina terlihat gugup. Wajah cantiknya tiba-tiba terlihat agak pucat. Apa dia harus berkata jujur?
Bolehkah aku pura-pura tidak tahu? Hayden mungkin tidak percaya kalau aku bilang yang sebenarnya.
"Entahlah. Aku tidak ingat. Mungkin aku melihatnya di surat kabar atau di siaran berita televisi."
Hayden mengenggam pergelangan tangan Irina, menatap tepat ke sepasang mata hijaunya. "Aku polisi. Aku bisa menduga ketika seseorang tidak berkata jujur. Kau tahu tentang noda kopi di jaketnya yang tidak di sebut di media manapun karena tim forensik tidak menyinggungnya. Seharusnya hanya tim forensik dan orang tua korban yang tahu mengenai noda kopi di jaketnya kecuali karena suatu alasan tertentu kau juga dimintai tim forensik untuk mengkonfirmasi mayat Anna. Tapi hanya orangtuanya yang datang mengkonfirmasi. Jadi bagaimana kau tahu?"
Irina bergeming. Memikirkan segala konsekuensi jika dia mengatakan yang sebenarnya.
Apa tidak apa-apa kalau aku mengatakannya? Hayden seorang polisi, bukan? Jadi dia mungkin bisa membantu.
Tapi pertanyaan sebenarnya adalah apakah Irina bisa mempercayai Hayden. Irina terbiasa hidup sendirian setelah ibunya meninggal. Kehidupan seperti itu mengajarkannya untuk tidak sembarangan menaruh kepercayaan pada orang lain. Bukankah baru beberapa waktu lalu dia merasakan pahitnya dikhianati oleh seseorang yang dia percaya? Dia percaya Aiden berbeda dengan pria lain. Dia percaya, Aiden dapat menjadi tumpuan sesaat yang selama ini tidak dimilikinya. Irina begitu percaya hingga terlalu terbuka pada pria itu. Menceritakan hal-hal pribadi yang bahkan tidak pernah dibahasnya dengan Claire. Dan lihatlah kemana semua itu membawanya? Irina masih belum lupa bagaimana sikap penolakan Aiden setelah menciumnya habis-habisan.
"Aku tahu kau gadis baik, Irina. Jadi tolong jangan membuatku memaksamu bicara di ruang interogasi."
Irina mendesah pelan, membiarkan tatapannya beradu dengan Hayden sesaat.
"Aku... tidak benar-benar bertemu dengannya. Maksudku, tidak secara langsung."
"Aku tidak mengerti." Hayden menggeser gelas kopinya, sengaja menciptakan ruang untuk mengaitkan kedua tangannya di meja.
"Yah. Aku hanya bicara dengannya sesaat setelah dia terbunuh." Kening Hayden berkerut. "Kau sudah tahu, maksudku kau sudah kuberitahu tentang itu di apartemenmu."
"Oh." Hayden hanya menggangguk kecil. "Lalu?"
"Aku sedang bersama dengan temanku di sebuah kedai kopi saat temanku mendengar seseorang berencana melakukan pembunuhan tidak jauh dari kedai itu. Awalnya kami hanya bermaksud mengikutinya dari jauh kemudian menghubungi polisi. Kami tidak bermaksud terlibat langsung. Biar bagaimanapun, kami masih remaja. Belum cukup dewasa untuk membela diri jika terjadi sesuatu."
"Berapa usiamu saat itu?"
"Sebelas."
"Dan temanmu?"
"Entahlah. Aku tidak pernah bertanya usianya. Tapi kukira dia mungkin beberapa tahun lebih tua dariku. Mungkin delapan belas."
"Kau berteman dengan pria dewasa?"
"Disaat hampir semua orang tidak percaya padaku dan sebagian besar lainnya mengutukku pembawa sial, kurasa aku tidak punya hak istimewa untuk memilih siapa yang mau jadi temanku dan siapa yang tidak." Jawaban ketus Irina agak menyadarkan Hayden bahwa mungkin dia sudah keterlaluan. Bukankah dia sendiri juga termasuk salah satu dari hampir semua orang yang disebut Irina tadi? Dia juga mengganggap Irina aneh saat gadis itu mengatakan sesuatu tentang teman hantunya. Tapi bukankah dia berhasil mendapatkan petunjuk tentang Scott juga karena pernyataan gadis itu? Bahwa pelaku tabrakan mobil yang menewaskan teman Irina berkepala botak? Dengan mencoba keberuntungannya, akhirnya Rick berhasil melacak Scott dan tiga tersangka lain yang sudah di interogasi dapat dibebaskan dari tuduhan.
"I'm sorry."
Irina memejamkan mata dan menghela nafas pelan. Bayangan Damon muncul dalam ingatannya, membuatnya segera membuka mata hijaunya yang indah untuk mengenyahkan bayangan itu.
"Jadi aku mengikuti temanku yang membuntunti orang yang dia yakini akan membunuh seseorang."
"Kalian mengikutinya hanya karena temanmu tidak sengaja mendengar pembicaraan sang pelaku?"
"Aku bilang temanku mendengar orang itu berencana membunuh seseorang. Aku tidak pernah bilang bahwa dia mendengar pembicaraan orang itu."
Hayden menatapnya bingung.
Irina ragu-ragu. Dia mencondongkan tubuhnya kedepan, berbisik pelan "Mungkin kau tidak tahu, tapi diluar sana ada banyak orang lain yang aneh sepertiku."
Sikap Irina menular. Tubuh Hayden mendekat ke arahnya dari seberang meja dan balas berbisik. "Apa yang ingin kau katakan?"
Hayden tidak melewatkan gerakan mata Irina yang melirik ke kanan kiri dengan kecepatan peluru. "Temanku... dia bisa mendengar apa yang dipikirkan orang lain."
Hayden menatap kosong.
"Kau tahu Edward Cullen? Yah... kurang lebih temanku memiliki sesuatu seperti itu."
Hayden meraih kopinya, meneguknya sedikit.
"Kami sedang berbincang saat dia mendengar pengunjung lain di kedai itu memikirkan rencana pembunuhannya. Jadi kami mengikutinya. Dari jauh, seperti yang kukatakan tadi. Tapi mungkin kami terlalu jauh atau terlalu lamban." Irina merenung sedih. "Saat kami dapat melihat orang itu lagi, dia sedang menggenggam sebuah pisau dan ada seseorang yang terbaring di depannya."
Hayden bergerak tidak nyaman di kursinya untuk yang kedua kali dalam hari yang sama. "Jadi temanmu yang mirip Edward Cullen itu tidak sengaja mendengar pikiran pelaku kemudian mengikutinya ke suatu tempat, sedangkan kau mengikuti temanmu. Tapi saat tiba di lokasi kalian melihat dia sudah membunuh korban."
Irina mengangguk.
"Lalu korban itu... apa dia Anna? Maksudku Adrianna Mason?"
Irina mengangguk lagi.
"Bagaimana kau tahu?"
"Dia datang pada kami sesaat setelah kami melihat pelakunya berjalan menjauh. Gadis itu bilang padaku namanya Adria. Dia meminta kami untuk mengurus mayatnya."
"Jadi kau menyentuh TKP?"
Kali ini Irina menggeleng. "Tidak sedikitpun. Kami hanya berhasil mendekat. Saat itulah aku melihat ada noda di jaketnya."
"Mungkinkah itu darah?"
"Sepertinya bukan. Darah menggenang di bagian kiri perutnya. Tapi jaket itu berada di dekat tangan kanannya."
Hayden terkejut. "Maksudmu?"
Irina mengedikkan bahunya acuh. "Adria tidak mengenakan jaketnya saat terbunuh. Jaket itu tergeletak di dekat tubuhnya."
Wajah Hayden memucat. Dia ingat jelas pada salah satu dokumen penyelidikan yang diperoleh Marcus dengan susah payah setelah memaksa kepolisian LA selama empat hari menyebutkan Adria ditemukan bersimbah darah di sebuah taman dekat sebuah kompleks mansion elit di LA. Pada foto yang dilampirkan bersama dokumen itu jelas menampakkan Adria yang terbujur kaku mengenakan sebuah dress selutut berwarna putih dan jaket kulit berwarna cokelat.
Lalu apa artinya ini?
"Bagaimana dengan temanmu itu? Kurasa aku perlu mendengar kejadian dari sudut pandangnya. Itu juga untuk memperkuat ceritamu."
Irina menggeleng lemah. "Aku tidak tahu dia dimana."
Salah satu alis mata Hyaden terangkat.
"Malam itu juga merupakan terakhir kalinya kami bertemu. Dia bilang ingin mengikuti pelakunya agar bisa memberikan petunjuk untuk polisi yang akan segera datang. Dia melarangku ikut. Dia berjanji akan menemuiku besoknya di taman dekat sekolah tempat kami pernah bertemu sebelumnya. Tapi polisi perlu waktu lama untuk datang dan aku tidak punya kesempatan untuk mengejarnya. Aku tidak pernah melihatnya lagi sejak itu."
"Esok harinya dia tidak datang pada lokasi yang dia janjikan?"
"Tidak." Irina berucap lirih. "Kupikir mungkin... mungkin dia... "
"Ketahuan oleh si pelaku?"
Air mata yang menggenang di pelupuk matanya membuat Irina sulit melihat ekspresi wajah Hayden. Irina mengerjapkan matanya, berusaha mengusir tangis sambil mengangguk pelan. Betapa bayangan akan hal terburuk yang menimpa Damon malam itu membuatnya resah selama bertahun-tahun. Kematian ibunya adalah suatu hal, tapi kehilangan seseorang yang baru saja menjadi tumpuan baru hidupnya membuat Irina gamang. Rasa bersalah dan takut terus menerus menggerogotinya tapi Irina tetap berusaha optimis meyakinkan diri bahwa suatu hari Damon akan muncul, tersenyum jahil seperti biasanya. Namun setelah beberapa minggu tanpa hasil, Irina mulai membayangkan skenario terburuk. Dengan sedikit harapan terakhir, dia berkeliaran dari TKP Adria ke sekelilingnya, berandai-andai bisa bertemu dengan hantu Damon, jika skenario mengerikan di kepalanya benar terjadi. Tapi dia tidak pernah bertemu dengan Damon lagi. Kesedihan mendalam itulah yang menghancurkannya perlahan hingga kepala panti memaksanya untuk pindah ke salah satu panti sosial di Dallas.
"Kuharap tidak."
"Apa kau pernah mencoba mencarinya?"
"Aku tidak tahu dimana dia tinggal."
"Sudah berapa lama kau mengenalnya?"
"Hanya beberapa hari."
"Kalau asumsimu benar, mungkin sekarang dia berusia menjelang akhir dua puluhan."
"Mungkin saja."
"Kau tidak melaporkannya pada polisi?"
"Tentu saja sudah kulakukan. Berulang kali. Tapi berulang kali itu juga mereka menyangsikan ucapan anak usia sebelas tahun."
"Sorry." Hayden entah kenapa merasa bersalah meski bukan dia polisi yang menerima laporan Irina.
"Kau tidak perlu meminta maaf. Sejujurnya, justru kau mungkin polisi pertama yang menganggap serius laporanku."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Apa kau ingat saat kau menginterogasiku pada kejadian penembakan di kelab Anne Marie beberapa bulan yang lalu?"
"Hmm... " Hayden mengangguk.
"Aku meminta tolong padamu untuk mencari salah seorang keluargaku yang hilang sepuluh tahun lalu."
"Ah ya. Aku ingat."
"Sebenarnya dia bukan keluargaku," ucap Irina meringis.
"Maksudmu, pria yang kau sebut kakakmu yang hilang itu adalah temanmu si Edward Cullen?"
"Yah. Aku minta maaf karena sudah berbohong. Tapi kalau kukatakan Damon hanya temanku, aku khawatir laporanku tidak akan dianggap serius."
"Damon?"
Irina mengangguk. "Aku hanya tahu namanya. Damon Keith."
"Oke. Jadi-" Hayden bahkan belum sempat melanjutkan ucapannya saat kenyataan itu merasuk ke kepalanya.
Scott Nicholson. Miranda. Richard Keith. Keith...
Damon Keith.
Shit! Jelas terlalu bagus untuk jadi kebetulan.
"Ada apa Hayden?" tanya Irina. "Kau tidak apa-apa?"
Hayden hanya mengangguk. Benaknya dipenuhi berbagai hal dan kepalanya terasa penuh memikirkan semua kemungkinan.
"Sayang sekali jam kencanmu sudah lewat, Irina. Sudah waktunya kau kembali bekerja." Suara nyaring Mr. Russo menghentikan apapun yang ingin dikatakan Irina.
Hayden menyambar perekam suaranya, menekan tombol off dan meneguk kopinya samapi tandas.
"Oke." Ucap Irina sambil berdiri. "Maaf tapi aku harus kembali bekerja. Aku akan sangat menghargai jika apapun yang tadi kita bicarakan selesai hanya disini."
Dia tidak ingin kisah itu menyebar. Oke, Hayden menerima pesannya dengan jelas.
"Kau sudah membuatku kehilangan pekerjaku selama beberapa hari. Kali ini kau akan sangat keterlaluan jika memaksaku memberikan waktu lebih lama untuk kencanmu, Sir." Mr. Russo menatapnya dengan ekspresi tidak suka yang tidak ditutupi.
Pintu café terbuka kembali, menampakkan Rick yang terlihat sebal. "Kau tahu kau tidak perlu kabur seperti itu Hayden. Aku sungguh merasa tidak enak pada Julie. Kau tahu betul aku tidak berbakat menghibur wanita tua."
Rick bergerak melewati Mr.Russo, tiba-tiba berhenti. Hayden mendongak dan menyadari alasannya. Lexi dan seorang wanita lain melintas di depannya menuju pintu. Mr. Russo tentu saja langsung merubah ekspresinya. Dari ekspresi tidak sukanya pada Hyaden menjadi ekspresi yang lebih memuakkan lagi. Rick menatap kedua wanita itu tanpa berkedip. Dan saat Lexi melemparkan lirikan sekilas pada Hayden, pria itu justru membentak Rick untuk segera duduk. Bukan karena marah, tapi demi menyembunyikan reaksi gugupnya atas sikap Lexi.
Rick bersiul pelan. "Whoa man, seharusnya kau bilang ada banyak wanita cantik disini."
"Café milikku memang menerapkan kualifikasi khusus untuk setiap karyawan. Tidak sembarang orang bisa bekerja disini," kata Mr. Russo menyombongkan diri lalu melenggang pergi melewati pintu bertuliskan Staff Only.
"Makanan disini juga lezat."
Hayden tidak menyadari apa yang dilakukan Rick sampai melihat temannya itu melahap sandwich miliknya. Hayden sibuk menatap keluar, mengikuti bayangan Lexi yang menghilang dalam sebuah mobil sport warna hitam.
"Apa kau bisa mentraktirku kopi juga, Hayden? Menenangkan Julie Mason benar-benar menguras energiku."
Hayden hampir menyatakan penolakannya tapi lantas terhenti begitu ekor matanya menangkap sosok Peter di seberang.
Pria berambut cokelat itu tampak terburu-buru. Aksi larinya berhenti di depan Black Russo, menatap jalan raya. Jalan yang baru saja dilewati mercedez hitam Lexi.
Pria itu menoleh dan saat tatapannya beradu dengan tatapan Hayden, Peter langsung bergerak cepat. Dia membuka pintu terburu-buru dan tidak mempedulikan reaksi terkejut pengunjung lain.
"Apa kau melihatnya?" tanya Peter tersengal-sengal.
"Siapa?" tanya Hayden bingung.
"Wanita tadi. Yang baru saja keluar dari sini."
"Aahh. Jadi kau juga terpesona padanya, Pete. Aku bahkan sampai berhenti bergerak sesaat saat berpapasan dengannya tadi. She's damn hot!" Rick menanggapi dengan mulut penuh sandwich.
"Yah. Memangnya kenapa?" lanjut Hayden.
"Kau tahu siapa dia?"
"Aku juga baru bertemu dengannya tadi. Kudengar namanya Lexi."
"Kau yakin dia memperkenalkan diri sebagai Lexi?"
"Ada apa?"
"Karena aku mengenalnya sebagai Alicia Taylor. Si perawat rumah sakit Brigham yang menghilang setelah aku interogasi minggu lalu."
Hayden membelalak dan Rick berhenti mengunyah.
***
Sorry for the typos. If you want to read a chapter ahead you can read it free on my wattpad (The Black Angel by ghian7st).216Please respect copyright.PENANAr1nXfbG1AZ
Please noted, urutan chapter di sini dan di wattpad memang beda ya, beberapa part chapter disini menjadi satu chapter di wattpad. Makanya total chapter di wattpad kelihatan lebih sedikit.216Please respect copyright.PENANAwITPLyqg9p
-ghian7st-
ns3.128.247.220da2