"Cheese burger, pizza, dan banyak cokelat. Malam ini akan luar biasa." Claire berujar sambil membenahi jaket merahnya. Black Russo akan tutup besok dan lusa karena Mr.Russo harus ke London untuk menghadiri pernikahan adiknya. Sontak saja setelah kabar libur itu terucap, Claire dan Edward langsung menyusun rencana untuk bersantai hingga tengah malam. Satu lagi momen sempurna untuk membangun kembali tembok hatinya yang runtuh karena Hayden siang tadi. Kening Irina berkerut setiap kali teringat bagaimana Hayden dan dua pria lain disana tadi melesat keluar café. Pastinya bukan dengan cara yang biasanya digunakan pelangganya yang lain.
"Kenapa jaket ini jadi terasa sempit? Apa berat badanku bertambah? Irina, menurutmu apa aku terlihat lebih gemuk?" Claire berbalik menghadap Irina dengan ekspresi horror di wajahnya.
"Bagiku kau terlihat sama saja."
Hari ini mereka berdua bekerja hingga malam. Edward sudah pulang sejak sore dan menawarkan diri menyiapkan segala hal untuk acara santai mereka malam nanti. Bagi karyawan kantoran mungkin itu hal biasa. Tapi bagi mereka, bekerja sebagai pelayan di sebuah café menuntut kerelaan bekerja dengan porsi melebihi kepentingan pribadi mereka. Tambahkan juga fakta bahwa mereka memiliki bos yang sangat perhitungan. Benar-benar bukan kombinasi yang mudah dan menyenangkan.
"Kau yakin? Aku merasa jaket ini semakin sempit." Claire memandang tubuh bawahnya sambil mencoba menarik sisi kanan dan kiri jaket parkanya. Waktu sudah menunjukkan hampir jam sebelas malam saat mereka menutup pintu belakang Bluck Russo. Musim dingin seharusnya dimulai bulan depan, tapi penurunan suhu sepertinya sudah dimulai sejak beberapa hari ini.
"Pasti karena sweater yang kau kenakan cukup tebal. Kau selalu membeli jaket dengan ukuran tubuhmu. Bukankah waktu itu sudah kukatakan untuk membeli satu ukuran lebih besar?" kata Irina sambil mengikat rambut panjangnya dan menyembunyikannya dalam syal hitam yang melilit dilehernya.
"Yah. Lain kali aku pasti akan mengikuti saranmu."
Irina memandang Claire dari bahu hingga kebawah. Yah, jaket itu memang terlihat terlalu pas untuk tubuhnya. "Kau mau bertukar?"
Claire menoleh. "Kau yakin?"
"Yah. Lagipula ukuran tubuhku lebih kecil darimu, Claire. Dan kau paham prinsipku dalam membeli jaket."
"Belilah dengan satu ukuran lebih besar," gumam Claire.
"Yep. So?"
"Baiklah. Berikan jaketmu." Claire bergerak cepat melepas jaketnya dan menyerahkannya pada Irina. Beberapa saat kemudian jaket hitam Irina membungkus Claire dengan sempurna.
Apartemen Edward berada cukup jauh dari Black Russo. Tidak seperti Edward yang berangkat dan pulang bekerja menggunakan mobil, Claire dan Irina memilih menggunakan kereta. Disamping lebih cepat dibanding bus, ongkos kereta juga lebih murah.
Pandangan Irina menyapu hampir seluruh bagian stasiun bawah tanah. Ada hantu seorang gadis yang biasa duduk di anak tangga di ujung lorong di dekat pintu keluar. Kadangkala dia mengikuti Irina hingga di depan gedung apartemen Edward. Pernah sekali dia menaiki kereta bersama Irina karena ingin tahu dimana Irina bekerja. Kapanpun Irina menyambangi stasiun kereta itu, dia selalu ada disana.
Kecuali hari ini.
Irina sengaja melambatkan langkahnya. Setelah memastikan Claire berjalan beberapa meter di depan, Irina berkata, "Abby?"
Claire menoleh. "Hah? Apa kau mengatakan sesuatu Irina?"
"Kukira aku melihat seseorang yang kukenal tadi," jawab Irina sambil tersenyum berbohong. Ini pertama kalinya Irina tidak melihat Abby di stasiun itu. Pandangannya kembali berputar dan kali ini matanya terpaku pada sosok Abby di sisi lain peron kereta tempatnya berdiri sekarang. Dan hantu kesepian itu tidak sendirian.
Irina menatap seseorang yang berada di depan Abby. Diserang panik dan khawatir, Irina segera meminta Claire untuk pulang lebih dulu.
"Kau mau kemana, Irina?" Claire yang sedang berbicara dengan Edward di telepon jelas terkejut.
"Ada yang perlu kupastikan. Pulanglah lebih dulu."
"Jangan lama-lama," ujar Claire. "Dan jangan salahkan aku kalau kau tidak kebagian pizza dan cokelatnya," kali ini Claire harus berteriak karena Irina sudah berlari ke dalam.
Dengan jaket yang panjangnya mencapai betis dan kepala tersembunyi dibalik tudung, sulit untuk melihat apakah orang itu laki-laki atau perempuan dari kejauhan. Sosok itu berdiri membelakangi pandangan Irina dan Abby terlihat diam tak bergerak. Irina ingat jelas bagaimana reaksi Abby pada hari pertama mereka bertemu saat dia menyadari bahwa Irina bisa melihatnya. Abby justru terlihat takut. Irina perlu beberapa hari sampai akhirnya mereka terbiasa satu sama lain. Jadi reaksi Abby pada orang itu sekarang sungguh tidak biasa.
Irina mempercepat langkahnya saat melihat kedua tangan orang itu terangkat seakan memayungi kepala Abby.
"Abby!!"
Gerakan tangan tadi terhenti. Abby menatap Irina melalui bahu orang itu dan tersenyum. Mereka kini hanya berjarak beberapa langkah. Irina meraih salah satu tangan itu dan menariknya untuk berputar menghadapnya. Tapi diluar dugaan, orang itu bergerak lebih gesit. Dengan hanya satu tangan, dia berkelit menggapai tangan Irina yang terulur, memutarnya sambil melangkah kebelakang. Dengan tangan yang lain Irina berusaha melepaskan cekalan tangannya yang terkunci di belakang punggung.
"Ahh!" teriak Irina kaget. "Kau siapa? Apa yang kau lakukan pada Abby? Abby kau tak apa?"
Abby bergerak kedepan Irina dan mengangguk.
"Aku tidak bermaksud membuat lenganmu terkilir." Irina terkesiap. Itu suara wanita. Wanita yang tangguh mengingat kekuatan cekalan tangannya yang sukses membuat Irina tidak bisa bergerak banyak.
Tiba-tiba tubuh Irina terdorong kedepan. Dia jatuh tersungkur tepat di depan sebuah mesin penjual minuman.
"Aaahhh..." kali ini dia berteriak lebih keras karena menahan sakit.
Irina menoleh kebelakang dan pandangannya hanya bertatapan dengan Abby. Wanita itu sudah tidak ada.
"Dia sudah pergi," Abby berkata lirih.
"Kemana?"
Abby menggeleng.
"Apa yang dia lakukan?"
"Dia bilang bisa membantuku."
"Membantu bagaimana?" Irina bersandar pada mesin penjual minuman tadi.
"Membantuku pergi."
"Pergi? Kemana?" tanya Irina bingung.
"Ketempat orang yang sudah meninggal. Ke dunia yang seharusnya ku datangi."
Irina terhenyak. "Aku masih belum ingat bagaimana aku mati dan bagaimana aku bisa ada di stasiun ini. Aku selalu sendirian karena aku takut. Apalagi hantu-hantu lain disini terlihat menyeramkan."
Irina tersenyum sedih. Dia teringat kembali dengan kesendiriannya selama bertahun-tahun sebelum bertemu Claire. Perasaan seperti tidak diinginkan kadang membuatnya nyaris frustasi. Jadi dia hampir memahami kesedihan apa yang dirasakan Abby.
"Tentu saja aku sangat senang bisa bertemu denganmu, Irina. Tapi kita tinggal di dunia yang berbeda. Kau tidak mungkin selamanya berada disini, bukan? Suatu hari kau juga akan pergi."
"Aku sudah berjanji akan mengunjungimu meskipun aku tidak lagi tinggal di dekat sini."
"Aku tahu. Tapi tidak seharusnya begitu kan? Kau memiliki kehidupan sendiri. Kehidupan yang tidak lagi ada padaku. Disini bukan tempatku. Dan gadis itu bilang dia bisa menolongku."
"Siapa gadis itu?"
"Entahlah. Aku baru bertemu dengannya hari ini. Aku tidak ingat namanya."
Hening sesaat sebelum Irina berkata, "Kapan?"
Abby menatapnya penuh tanya.
"Kapan kau akan pergi?"
"Kuharap secepatnya." Abby membalas tatapannya dengan sorot sedih.
"Berjanjilah kau akan memberitahuku waktunya."
Abby mengangguk tersenyum. "Aku suka jaketmu."
"Ini milik Claire. Kurasa aku harus pulang sekarang. Aku janji pada Claire untuk berlomba siapa yang lebih banyak menghabiskan makan cokelat. Aku tidak ingin kalah," kata Irina tersenyum.
Irina menapaki tangga keluar stasiun dengan hati sedih. Tidak banyak hantu seperti Abby yang bersikap manis. Abby bahkan sering bercerita bagaimana hantu-hantu menyeramkan lain disana yang sering mengganggu para penumpang kereta.
Irina sudah pasti akan merindukan Abby.
Dia pasti seorang gadis baik sebelum meninggal. Usianya bahkan baru lima belas tahun. Kematian seperti apa yang membuatnya sampai tidak ingat sama sekali?
Irina menatap heran pada kerumunan petugas security di depan gedung. Mereka terlihat waspada dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru yang bisa mereka awasi.
"Permisi, nona," ujar salah satu petugas itu ketika Irina melangkah melewati pintu masuk.
Mata Irina bergerak cepat membaca nama yang tercantum di seragamnya.
"Ya, Mr. Andy Harrington. Ada yang bisa kubantu?" Ini adalah akibat dari kebiasaan sehari-hari bekerja sebagai pelayan. Irina nyaris selalu memberikan respon seperti itu.
"Panggil saja Andy. Apa kau baru saja melewati stasiun kereta di depan?"
"Aku Irina, dan ya aku pulang menggunakan kereta."
"Sepertinya aku jarang melihatmu."
"Aku sering bekerja hingga malam dan pulang menggunakan kereta terakhir. Paul bisa mengkonfirmasi hal itu," jawab Irina menyebutkan nama salah seorang petugas keamanan yang sering dia temui saat bertugas malam.
"Apa kau penghuni baru? Bisa aku tahu di unit berapa kau tinggal?"
"Sejujurnya, aku tidak benar-benar tinggal disini. Maksudku aku hanya tinggal disini sementara waktu. Temanku memiliki salah satu apartemen disini. Edward Callahan, unit 2407."
"Ah, Mr. Callahan. Yah dia memiliki salah satu unit apartemen berukuran terbesar di gedung ini. Apa kau setiap hari menggunakan kereta?"
"Ya. Kecuali ketika Edward memberikan tumpangan. Kami bekerja di tempat yang sama tapi jadwal kami sering berbeda. Apa terjadi sesuatu?"
"Begini, malam ini kami menerima laporan dari seseorang bahwa terlihat beberapa orang mencurigakan di dekat stasiun di depan sana. Tadinya kami pikir itu hanya telepon iseng atau mungkin peneleponnya terlalu berprasangka. Lalu sekitar dua puluh menit lalu salah seorang penghuni apartemen di lantai dua puluh menelepon mengatakan melihat beberapa orang mencurigakan di depan stasiun. Sebuah mobil tiba-tiba muncul dan mereka memasukkan sesuatu ke dalam mobil itu. Mereka sendiri pergi menggunakan mobil lain yang datang setelahnya."
Sebuah perasaan aneh menjalar di hati Irina. "Lalu?"
"Kami sedang mencari tahu. Bisa jadi mereka oknum pengedar narkoba yang sedang bertransaksi. Tidak banyak orang yang berada di stasiun pada jam segini. Kejadiannya sekitar lima belas hingga dua puluh menit menit sebelum Anda tiba disini. Apa Anda melihat sesuatu yang tidak biasa di stasiun tadi?"
Sesuatu yang tidak biasa? Apa wanita tanpa nama yang bersama Abby tadi termasuk?
"Aku melihat seorang wanita mengenakan jaket panjang bertudung di stasiun."
"Kalau dia mengenakan jaket seperti itu, bagaimana Anda tahu dia seorang wanita?"
"Aku bertanya sesuatu padanya. Saat dia menjawab aku yakin itu suara seorang wanita."
"Apa yang Anda tanyakan?"
Nah Irina, bagaimana kau menjelaskan bagian itu?
Irina mencemooh suara hatinya. "Aku bertanya siapa dia."
Andy menatapnya dengan alis terangkat. "Aku belum pernah melihatnya. Dia terlihat asing di lingkungan ini. Kupikir dia mungkin tersesat. Apalagi kereta terakhir sudah lewat."
Kebohongan Irina tampak meyakinkan Andy. "Tolong beritahu kami jika ada hal lain. Polisi juga akan datang beberapa saat lagi. Maaf sudah mengganggumu," kata Andy sopan.
Irina mengangguk dan berjalan menuju lift. Sesaat sebelum melangkah masuk, Andy berseru, "Kadang rasa simpati seperti itu bisa berbahaya, nona."
Irina tersenyum dan pintu lift menutup. Lift itu meluncur cepat menuju lantai dua puluh empat hanya dalam beberapa detik. Setelah pintu terbuka, lorong terang dengan nuansa mewah dan artistic menyambut langkah Irina. Sangat berbeda dengan apartemen kecilnya di Watson Hill.
"I'm home!" teriak Irina saat menutup pintu apartemen Edward.
"Hai... " kata Tommy saat melihat Irina.
"Hai Tom, kapan kau datang?"
"Tadi Edward menjemputku."
"Ohhh.... Love bird," goda Irina sambil melepaskan sepatu dan jaket yang dipakainya. Tommy, kekasih gay Edward, tampak tersipu.
"Kurasa dia malu aku melakukannya. Dia memintaku memarkir mobil jauh dari pintu depan gedung kantornya," Edward yang baru saja keluar dari kamarnya terlihat sebal.
"Aku tidak malu. Hanya saja aku belum ingin menjadi makanan utama gadis-gadis penggosip disana."
Edward memutar bola matanya. "Hei, little bird," kata Edward. Dia selalu memanggil Irina begitu sejak hari pertama bertemu.
"Hei big bird."
"Kukira kau pulang dengan Claire. Bukankah hari ini jadwal kalian sama?"
Irina membeku seketika. "Kami memang pulang bersama. Aku memintanya kesini lebih dulu dari stasiun."
Edward menatapnya kaget. "Claire belum pulang. Benar kan Tom?"
Tommy mengangguk. "Dari sore tadi aku disini dan tidak sekalipun melihat Claire berjalan melewati pintu dibelakangmu itu."
Seharusnya Claire sudah sampai sejak tadi. Irina bahkan membayangkan gadis itu sudah menelan setengah loyang pizza. Irina teringat dengan cerita Andy tadi dan tanpa peringatan apapun hatinya mencelos panik.
"Edward, bisa kau hubungi bagian keamanan?"
"Keamanan? Untuk apa?"
"Hubungi keamanan sekarang. Minta mereka sambungkan dengan Andy Harrington dan katakan bahwa mungkin yang di lihat saksi mata penelepon bukan sesuatu tapi seseorang."
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Ada apa sebenarnya, little bird? Kenapa kau panik?"
Tommy menempelkan ponsel ke telinganya.
"Ah sudahlah! Kau telepon saja bagian keamanan dan katakan kau perlu melihat rekaman cctv area depan stasiun sejak empat puluh menit lalu. Aku sendiri yang akan turun dan menemui Andy Harrington."
Irina tidak menunggu respon Edward. Dia langsung mengenakan sandalnya dan melesat keluar.
"Lakukan saja, Ed," tegas Tommy. "Claire tidak menjawab teleponnya."
***
Sorry for typos.158Please respect copyright.PENANAncDHnGAp65
If you want to read a chapter ahead, you can read it free on my wattpad (The Black Angel by ghian7st)158Please respect copyright.PENANANjDRDEBDhQ
Versi chapter di wattpad agak beda sama di sini. Chapter di wattpad lebih sedikit, namun per chapter nya lebih panjang.