Dia nyengir. "Sini masuk. Gue mau kasih pembukaan les-nya malam ini."
Gue kaget. Mata yang tadi udah mulai sayu, langsung melek seketika. "Serius, Van?!"
Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk, nggak pakai permisi.
"Ih, semangat banget lu!" Vania terkekeh, menutup pintu, lalu berjalan menuju kasurnya. Aku baru sadar kalau dia pakai bando pastel dengan motif lucu-lucu, yang sering dipake cewek kalo lagi facial atau skinkeran, yang bikin jidatnya kelihatan jelas tanpa poni. Bando itu kontras banget sama ekspresi jailnya yang khas. Tank top hitam dan celana pendeknya makin menegaskan kalau dia lagi di mode santai total.
Aku menelan ludah, duduk di kasurnya yang empuk. Spreinya wangi lavender, aroma yang sering gue cium pas lewat di toko parfum mall. Kita duduk bersila, saling berhadapan.
Jantungku udah deg-degan, tapi aku berusaha pura-pura biasa aja. Vania duduk bersila dengan punggung tegak, tangan dilipat di depan dada, dan… ya, toketnya otomatis membusung. Belahan dadanya yang putih mulus sedikit kelihatan di atas tanktopnya yang berpotongan rendah. Gue ngerasa kayak mau nyerah duluan sebelum pelajaran dimulai.
"Oke…" Vania membuka suara dengan nada serius. "Sebelum gue mulai ngajarin lo, ada beberapa aturan yang harus lo patuhi."
Aku buru-buru mengangguk, tapi mata masih nyangkut di belahan dadanya.
“Liat mata gue, kont*l!”
Tanpa ba bi bu, mataku langsung naik, fokus ke matanya. Kalau sedetik aja telat, udah pasti bantal di pangkuannya melayang ke kepalaku. Sekarang gue berusaha tetep fokus, sambil nyembunyiin deg-degan yang mulai nggak karuan.
"Pertama," katanya sambil mengangkat satu jari. "No baper-baper, ya. Jangan pakai perasaan. Ini kita bakal lakuin banyak hal, termasuk gituan, murni buat edukasi lo aja, buat nambah pengalaman." Dia memberi gestur tanda kutip pas nyebut ‘gituan’.
Gituan? Njir, mantap nih. Aku buru-buru mengangguk. "Oke, oke… Lagian, ngapain juga gue baper sama lo," ujarku, meski dalam hati gue sadar kalau kemungkinan itu ada.
Vania menyipitkan mata curiga sebentar, lalu lanjut. "Bagus. Kedua, ini cuma rahasia kita berdua. Nggak boleh ada yang tahu. Kalau nanti udah selesai, kita anggap aja semuanya nggak pernah terjadi. Clear?"
"Siap, Bos!" aku mengangkat tangan memberi hormat pura-pura.
Dia mendelik, lalu melanjutkan. "Yang ketiga…" dia menatapku tajam. "Gue yang tentuin kapan semua ini selesai. Kapan hubungan… eh, nggak, bukan hubungan sih, lebih kayak… apa ya enaknya?"
"Ikatan?" aku nyeletuk.
"Iya, ikatan silaturahmi kelamin kita ini selesai."
Njir, ikatan silaturahmi kelamin. Aku mengangguk cepat, jantung makin berdebar. "Iya, iya… Apalagi?"
Vania tersenyum tipis. Senyum yang biasanya bikin gue waspada.
"Gue yang pegang kendali di sini. Jadi, lo harus nurut sama aturan main gue."
Gue menelan ludah. "Oke…"
Dia menatapku, seolah memastikan aku benar-benar ngerti. "Dan satu lagi…"
Aku menunggu.
Dia tersenyum jahil. "Kalau lo kehilangan kendali kayak waktu lo merkosa gue waktu itu, gue bakal batalin semuanya di tempat."
Sial. Itu bukan ancaman kosong.
"Oke, deal," jawabku, pura-pura santai. Padahal sekarang aja gue hampir lepas kendali liat Vania yang cuma pakai tank top plus celana pendek.
Vania tersenyum puas, lalu menepuk kasurnya.
"Baiklah, muridku… Mari kita mulai les privatnya," katanya dengan nada setengah bercanda.
Jantungku? Udah nggak karuan.
Vania menatapku dengan tatapan serius, tapi tetap ada sinar jahil di matanya.
“Karena gue lagi ‘M’. Jadi hari pertama ini singkat aja, gue mau ngajarin lo kissing.” katanya santai.
Yah, nggak ngewe… tapi kissing boleh juga. Aku mengangguk cepat. Oke. Bisa. Aku bisa.
"Jujur aja," lanjutnya, "sebenernya ciuman itu nggak harus pake teknik yang gimana-gimana banget. Kebanyakan cewek lebih mentingin emosi dan chemistry-nya dibanding teknik. Tapi yaaa… biar lo nggak asal ngokop kayak monyet, gue bakal ngajarin beberapa trik biar lo nggak malu-maluin."
Aku hampir tersedak napas sendiri. "Ngokop kayak monyet?"
"Ya iya lah," Vania mendelik, "Lo kira cewek suka sama cowok yang ciumannya kayak mau nyedot sumsum tulang belakang? Ew, kayak lo waktu perkosa gue."
Aku menggaruk kepala yang nggak gatal. "Jangan bahas kejadian itu mulu napa..."
"Makanya sekarang dengerin baik-baik."
Vania duduk tegap, ekspresinya serius kayak dosen yang lagi kasih materi berat. Dia mulai menjelaskan.
"Pertama, lo harus mulai pelan. Jangan langsung nyosor kayak kecebong kelaperan."
Aku mengangguk. "Noted."
"Gunain tekanan yang pas. Jangan terlalu kaku, tapi juga jangan terlalu kuat. Rasain dulu ritmenya, liat respon ceweknya. Kalau dia kayak ngebales, baru deh lo bisa mulai eksplorasi lebih jauh. Lebih ganas atau kokop-kokopan terserah."
Aku mencoba menyimak dengan serius, tapi mataku malah fokus ke bibirnya. Bibir yang… ya ampun, sebentar lagi bakal nyatu sama punyaku?!
Vania melanjutkan, nggak sadar kalau aku udah di ambang kena serangan jantung.
"Selain bibir, lo bisa pake sentuhan kecil. Pegang pipinya, usap rambut atau lehernya, bisa juga narik dia lebih deket, tangan loe di pinggang atau bahu."
"Noted," ulangku, berharap otakku bisa nyimpen semua ini tanpa nge-hang.
"Dan yang paling penting, ikutin ritme ceweknya," tambah Vania. "Makanya, biar lebih paham, mending gue langsung kasih contoh, terus lo coba tiru. Oke?"
Aku mengangguk.
Salah.
Aku nggak cuma mengangguk. Aku mengangguk terlalu cepat.
Vania nyengir. "Buset, semangat banget lu."
Aku ketawa hambar. "Hehe, nggak juga sih… mungkin dikit."
Vania menghela napas dan menyandarkan tangannya ke kasur, matanya masih menatapku.
"Oke. Lo siap?"
Siap nggak siap, harus siap.
"Siap," kataku, padahal dalam hati rasanya kayak mau loncat dari balkon saking tegangnya.
Vania mendekat sedikit. Aku bisa mencium aroma parfumnya, wangi yang selalu bikin aku inget dia.
"Langsung aja," katanya pelan. "Coba lo cium gue. Tapi pelan. Lembut. Jangan langsung nyosor!"
Aku mengangguk, menelan ludah, lalu perlahan mendekat.
Jarak kami makin tipis. Nafasku udah nggak karuan, jantungku kayak bedug ditabuh pas Idul Fitri.
Tapi pas bibir kami hampir ketemu…
Aku malah ngakak.
Vania juga.
Nggak tahu kenapa, tapi atmosfer serius barusan mendadak lenyap dan kita berdua ketawa lepas kayak orang gila.
"Lu jangan ngeliatin gue gitu, jadi canggung banget, bego!" seru Vania sambil menahan tawa.
"Hahaha… iya, iya! Gue juga nggak tahu kenapa!"
Vania masih cekikikan, tapi kemudian menarik napas dalam-dalam. "Oke, oke. Kita serius. Kali ini gue merem deh, biar nggak awkward."
Dia benar-benar merem.
Dan sialnya… malah bikin aku makin grogi.
Sial. Dari tadi aku pengen banget ini terjadi. Tapi sekarang, ngelihat Vania diem, mata tertutup, nungguin ciumanku… malah bikin tangan dingin dan kaku.
Astaga.
Kenapa malah jadi begini?!
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan gugup yang masih tersisa. Seperti kata Vania, harus pelan dan lembut.
Aku mendekat lagi, kali ini lebih fokus. Wajahnya begitu dekat, kulitnya putih bersih tanpa make-up, tetap segar meski tanpa usaha berlebihan. Rambutnya terangkat semua ke belakang, tertahan oleh bando imut yang sering dipakai cewek kalau lagi skincare-an. Aku nggak tahu itu namanya apa, tapi rasanya keliatan lucu dan gemes aja kalo cewek pake bando model kelinci pink.
Mataku ikut terpejam, biar lebih fokus.
Lalu, akhirnya, bibir kami bertemu.
Aku mulai dengan tekanan yang ringan, seperti instruksi yang dia kasih. Awalnya terasa canggung, tapi detik demi detik berlalu, Vania mulai merespon. Aku mengikuti ritmenya, membiarkan tubuhku rileks. Sensasinya… aneh. Damai, sedikit geli, tapi juga bikin jantungku kayak digeber.
Oke, next step-nya apa ya?
Oh iya, sentuhan kecil.
Tanganku mulai terangkat, mencoba mencari tempat yang tepat untuk menambah keintiman. Tapi, sayangnya, otakku cuma ngasih satu opsi tempat mendarat.
Jadi… ya, aku mendarat di gundukan bulat kenyalnya Vania.
Dan dengan sedikit reflek—aku meremas.
BUK!
Seketika, sesuatu menghantam kepalaku dengan cukup keras. Aku tersentak, mataku langsung terbuka, dan yang pertama kali kulihat adalah boneka beruang kecil yang baru saja dipukulkan Vania ke kepalaku.
“Jangan langsung main megang toket, bego!” bentaknya.
“Aduh, maaf, maaf, Guru… saya khilaf…” Aku buru-buru mengangkat tangan, seperti habis kepergok maling ayam.
Vania mendelik, masih menggenggam boneka beruangnya dengan posisi siaga. “Lu harus membangun keintiman dulu, jangan langsung cabul. Lu kira kita lagi syuting film bokep lima menitan?”
“Iya, iya, maaf… Lu sih, bajunya ngundang-ngundang…” ucapku asal.
Vania langsung melempar boneka itu ke mukaku. “Anjrit, lu aja yang pikiran kotor! Dasar raja bokep!”
Aku terkekeh kecil sambil mengusap jidat. “Iya, iya… nggak akan gue ulangin…”
“Bagus.” Vania melipat tangan di dada, wajahnya tetap serius. “Sekarang, ulang lagi. Yang bener.”
Aku menghela napas panjang. Oke. Kali ini harus lebih baik. Deg-degan tadi udah mulai hilang, dan aku merasa sedikit lebih rileks.
Ayo, Gilang. Fokus. Jangan ngulangin kebodohan yang tadi.
Gue harus buktiin kalau gue bisa belajar. Demi menjadi penakluk cewek.
Aku kembali mendekat, kali ini lebih hati-hati. Aku nggak mau kejadian barusan terulang, udah cukup kepalaku dijitak boneka beruang.
Vania masih menatapku, bibirnya sedikit melengkung, kayak nahan ketawa.
“Udah siap, murid bego?”
Aku mengangguk mantap. “Siap, Guru.”
Kali ini, aku mencoba lebih rileks. Perlahan, bibirku kembali menempel ke bibirnya. Sekarang, benar-benar kuperhatikan ritmenya, menyesuaikan gerakan dengan respons yang dia kasih.
Kucoba lebih lembut, lebih sabar. Tanganku mulai bergerak, tapi kali ini nggak ke tempat yang salah. Tanganku menelusuri rahangnya, turun ke bawah telinga, seperti adegan romantis yang kulihat di film. Kudekap kepalanya dengan pas, cukup untuk membuat ciuman ini lebih dalam tanpa terasa maksa.
Vania juga melakukan hal yang sama, sepertinya kali ini aku bener.
Vania nggak menghindar. Dia bahkan membalasnya. Perlahan, ciumannya mulai berubah—awalnya pelan, penuh eksplorasi, tapi lama-lama… mulai terasa lebih dalam, lebih panas.
Tiba-tiba, Vania mengambil alih.
Aku terkejut, tapi nggak menolak. Sebaliknya, aku mengikuti ritmenya. Ciuman kami semakin intens, semakin menyatu.
Vania menggigit lembut bibir bawahku, menariknya sedikit sebelum melepaskan, kadang dikombinasikan dengan hisapan ringan setelahnya. Sensasinya nakal dan playful. Bibirnya bergerak lebih aggresif, lebih menekan, lebih… ah, sial. Jujur, aku kaget.
Bibirku geli banget. Rasanya kayak ada aliran listrik kecil yang menjalar ke sekujur tubuhku.
Aku mengerang, semacam suara spontan yang nggak bisa kutahan. “UHMM… EMMHHH..”
Vania langsung berhenti. Dia mundur sedikit, menatapku dengan ekspresi yang… sulit dijelaskan. Antara kaget, geli, dan… sedikit jijik?
“Anjrit, Lang, lu ngapain?”
Aku masih agak linglung, napasku agak tersengal. “Hah?”
“Lu… ndesah?” Vania mengangkat alis, matanya menyipit.
“Nggak, bukan! Itu refleks doang, sumpah!” Aku buru-buru membela diri.
Vania diam sebentar, terus… ngakak. “Hahahahaha! Buset! Cuma dicium dikit langsung *uhmm* kayak gitu? Lu kira ini drama Korea?” Dia nyengir lebar. Mukaku langsung panas.
“Itu nggak sengaja! Bibir gue geli banget, sumpah! Ini pertama kalinya gue ciuman panas kayak gini!”
Vania masih cekikikan, tapi akhirnya dia menghela napas panjang dan mengacak rambutnya sendiri. “Aduh, Lang, Lang… Gue nggak nyangka lu secupu itu. Tapi nggak apa-apa, setidaknya lu udah ada kemajuan. Meskipun… yah, masih cupu.”
Aku melotot. “Apaan? Kan gue udah ngikutin lo?”
Vania mendekat lagi, nyengir iseng. “Tapi lo masih norak. Ndesah gapapa sih, tapi lo keras banget. Hahaha… kayak orang culun pertama kali ciuman.”
Gue mendengus kesal. “Yaelah, gue baru belajar, ya wajar dong!”
Dia menyipitkan mata, ekspresinya penuh keusilan. “Yaudah, kita ulang lagi…” Dia menatap gue dalam-dalam, bibirnya melengkung nakal. “Tapi jangan rintih-rintih nggak jelas.”
Aku menghela napas panjang.
Sesi latihanku pun berlanjut.1587Please respect copyright.PENANA4SWrPWgzpd
1587Please respect copyright.PENANAjLJG7U01Lr
...1587Please respect copyright.PENANAXeDhGwSF4M
1587Please respect copyright.PENANAt46TwfkClp
Entah sudah berapa lama, entah sudah sesi keberapa. Aku sudah kehilangan hitungan.
Semakin lama, aku mulai terbiasa. Gerakan kami semakin selaras. Awalnya, masih terasa canggung, tapi kini… ada sesuatu yang berbeda.
Lalu tiba-tiba, Vania membuka mulutnya sedikit lebih lebar. Dan sebelum aku sempat memproses, ada sentuhan hangat yang lebih dalam.
Lidahnya menyentuh lidahku.
Bukan agresif, tapi cukup buat napasku sempat tersendat. Sensasi baru yang asing dan menggetarkan.
Aku ragu sejenak. Tapi akhirnya, aku mencoba membalas. Pelan-pelan, mengikuti ritmenya. Lidahku menyapu lidahnya, masih agak hati-hati. Vania nggak menolak. Justru, tangannya yang sejak tadi berada di tengkukku makin menarikku lebih dekat.
Napas kami bercampur di udara di antara kami, sementara aku mulai menangkap pola gerakannya. Kadang dia membiarkan bibir kami hampir terpisah, lalu kembali mencium dengan tempo lebih lambat.
Aku mulai merasa lebih nyaman. Tanganku, yang dari tadi cuma diam, akhirnya naik ke pinggangnya. Menariknya lebih dekat.
Vania nggak protes. Justru, dia makin masuk ke dalam ciuman itu, lidahnya menari seolah menguji sejauh mana gue bisa mengimbangi permainannya.
Waktu terasa berhenti.
Yang ada hanya suara napas yang makin berat, detak jantung yang makin kacau, dan sensasi ciuman yang semakin dalam.
Ketika akhirnya Vania menarik diri, dia masih menyisakan jarak yang tipis antara wajah kami. Bibirnya sedikit basah, napasnya belum sepenuhnya stabil. Tapi ada senyum kecil di sana.
“Nah… yang kayak gitu namanya French Kiss,” katanya, nada suaranya tetap iseng, tapi matanya menyimpan sesuatu yang berbeda.
Aku cuma diem. Lidahku terasa kering, otakku agak nge-lag. Tapi satu hal yang jelas—aku akhirnya ngerti kenapa French Kiss dibilang salah satu ciuman paling intim. Karena emang… gila.
Aku menelan ludah. Wajah Vania agak memerah, tapi nggak separah wajahku yang panas kebangetan.
“Kayaknya udah cukup deh pelajaran kissing kali ini,” katanya, matanya meneliti ekspresi wajahku dengan seringai puas. “Takutnya lu nggak bisa ngontrol diri. Lagian, lu udah lumayan ngerti juga.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Dia benar. Napasku masih berat.
Tapi sebelum aku sempat bicara, mata Vania melirik ke bawah… ke arah gundukan besar panjang yang tersembunyi di balik celanaku. Aku pun baru sadar kalau Anaconda milikku ternyata sudah setegang itu gara-gara sesi ciuman dengan Vania.
Mata Vania terpaku sejenak, lalu seketika ia ketawa.
“Tuh kan, bener kata gue.”
Tanpa aba-aba, dia mengambil bantal dan melemparkannya ke arah selangkanganku.
“Awwww!” Aku refleks mundur, menahan diri biar nggak meringis.
Vania masih cekikikan, puas banget melihat ekspresi tersiksaku.
“Gimana nih… Gara-gara lo, gue jadi nggak tahan! Latihan utamanya sekarang aja, gimana?” kataku dengan nada memelas.
“Heh… Gue udah bilang gue lagi mens, bego!” Vania langsung melotot.
Aku menghela napas panjang, antara lega dan kecewa. “Terus gimana nih? Berarti udahan?” Aku beranjak dari ranjangnya, berusaha mengatur napas dan mengumpulkan akal sehatku.
“Yaudah, gue balik deh,” lanjutku, setengah puas setengah kecewa. Puas karena ciuman yang dahsyat tadi, kecewa karena sesi ini berakhir dengan ‘anaconda’ yang masih tegang dan nggak dapet pelepasan.
Aku melangkah menuju pintu, niatnya langsung balik ke kamar. Mungkin melakukan ritual terlarang sambil membayangkan Vania—karena jujur aja, gambaran bodinya Vania yang pakai tanktop ketat dengan belahan dada yang tadi sedikit kelihatan sudah terekam baik di otakku.
Tapi sebelum aku sempat meraih gagang pintu, suara Vania menghentikanku.
“Eh, Lang, jangan pulang dulu!”
Aku menoleh. “Kenapa?”
Dia menyeringai, tatapan jahilnya langsung bikin bulu kudukku berdiri. “Bawah masih tegang?” tanyanya santai, seolah menanyakan apa aku lapar atau nggak.
“Ya masih lah! Gara-gara lo!” jawabku refleks. “Mau tanggung jawab?” candaku, meskipun sebenarnya aku tahu jawabannya pasti nggak.
Tapi alih-alih membalas dengan ejekan seperti biasanya, dia malah mengangkat bahu santai. “Yaudah… gue tanggung jawab.”
Gue sempat terdiam. “Eh?”
Beneran kah ini?
ns3.142.142.113da2