Hari ini aku resmi memulai hidup baru sebagai kacung Vania. Bukan karena aku mau, ya. Tapi karena Vania punya senjata nuklir berupa rekaman dosaku semalam. Dan dia nggak ragu buat ngancam bakal ngirim ke polisi atau nyokap kalau aku berani nolak.
Sebenernya sih, ada satu hal yang bikin aku agak semangat: les privat dari Vania. Tapi setelah seminggu berlalu, yang ada cuma antar-antar pesanan.
HP-ku bergetar di meja. Nama "Ratu Neraka" muncul di layar.
Aku langsung angkat dengan semangat. “Halo, Van! Jadi mulai sekarang nih?”
“Ya, mulai sekarang.”
“Serius?!”
“Iya.”
Akhirnya! Setelah sekian lama menunggu—
“Mulai sekarang, lo ke depan gang beli seblak. Pedes level tiga, kuahnya jangan kebanyakan. Langsung antar ke kos gue. Kalau nggak, lo tau sendiri kan?”
Dengusan frustasi keluar dari mulutku.
“Van, lo becanda kan?”
“Lo pikir suara gue kedengeran kayak orang becanda?”
Ya, sih. Nadanya dingin banget, kayak bos mafia yang ngasih perintah ke anak buahnya.
Beberapa menit kemudian, aku udah berdiri di depan kosan Vania, membawa sekotak seblak dengan wajah penuh penderitaan.
Ketika pintu terbuka, Vania berdiri di sana dengan senyum puas. “Bagus, budak. Udah mulai ngerti tugas lo.”
“Van, kapan mulai lesnya?” tanyaku penuh harap.
Vania mengambil seblak dari tanganku, membuka tutupnya, menghirup aroma pedasnya, lalu menjawab santai, “Nanti.”
“Nanti kapan?”
“Kapan kapan.”
Jgleg! Suara pintu ditutup
Aku hampir nangis di tempat.
Sehari, dua hari, seminggu. Setiap kali HP-ku bergetar, aku selalu berharap panggilan itu adalah tanda dimulainya era baru Gilang yang lebih jago memuaskan wanita. Tapi isinya selalu sama.
Kadang beli seblak. Kadang beli kopi susu. Kadang ambilin paket ke kurir depan gerbang. Kadang disuruh ambilin buku yang dia tinggal di kampus.
Dan kalau aku telat?
“Lang, lima menit lagi seblaknya nggak sampe, rekaman masuk grup keluarga lo.”
Aku langsung ngibrit kayak kurir ekspres.
Malam itu, aku lagi rebahan sambil main HP, menikmati waktu tanpa perintah dari Sang Ratu Neraka.
Lalu tiba-tiba…
Drrrttt drrrttt
Nama Vania muncul di layar.
Refleks aku angkat. “Van, kali ini serius kan? Lesnya beneran mulai kan?”
Di seberang sana, Vania tertawa kecil. “Ya mulai...”
Aku langsung duduk tegap. Akhirnya—
“Mulai sekarang lo pergi ke Alfamart, beliin gue pembalut. Yang ada sayapnya, bukan yang biasa. Mereknya Loerier, Jangan salah beli.”
Anjir.
…
Aku menatap barang di tanganku dengan napas tertahan. Plastik pembalut itu terasa jauh lebih berat daripada seharusnya.
"Anjir... Kenapa harus gue yang beli beginian..." gumamku pelan.
Tapi apa boleh buat? Vania baru saja menelepon, nyuruh aku beli pembalut, dan seperti biasa, ancamannya standar: "Kalau lo nolak, gue laporin polisi video lo!" Jadi, ya, mau nggak mau aku harus nurut.
Dengan langkah ragu, aku maju ke kasir. Dan tentu saja, sialnya, yang jaga bukan mas-mas random, tapi mbak kasir favoritku.
Mbak-mbak kasir Alfamart ini udah sering aku lihat. Berjilbab hitam yang rapi, seragam merah Alfamartnya lengan pendek, tapi dia pakai manset hitam buat nutupin lengan. Wajahnya selalu keliatan tenang dan ramah, meskipun kalau aku yang belanja, dia kayak agak cuek. Nggak pernah basa-basi, tapi tetap sopan.
Tapi yang paling bikin aku tertarik…
Sudah pasti TOKETNYA yang BRUTAL.
Serius, toket jumbonya yang ‘mbulet’ itu tercetak pas di seragam Alfamartnya, sampai logo tulisan "Alfamart" di dadanya itu kelihatan melebar di buletan toketnya. Tiap kali lihat, otakku selalu traveling gimana gue ngeremes-remes itu logo.
Dan sekarang, di hadapan mbak-mbak tobrut cantik ini, aku berdiri dengan sebungkus pembalut di tangan.
Dia mengambil barangku tanpa ekspresi, lalu mulai memindai barcode. Aku berusaha bersikap setenang mungkin. Tapi tetap aja, rasanya kayak ada jutaan pasang mata menertawakanku.
"Rp22.500, Kak," katanya lembut.
Aku buru-buru merogoh dompet dan menyodorkan uang, berharap proses ini segera berakhir. Dia menerima dengan tenang, mengetik sesuatu di mesin kasir, lalu memberikan kembalian.
"Ini kembaliannya lagi Rp2.500 kak. Terima kasih." katanya sambil tersenyum tipis.
Gila, itu senyum bikin deg-degan. Aku cuma bisa mengangguk kaku, lalu buru-buru keluar dari Alfamart dengan langkah yang agak canggung. Begitu sampai di luar, aku menarik napas panjang.
"Gila... Malu banget!"
Tapi ya sudahlah, demi mempertahankan harga diriku dari ancaman Vania, aku harus kuat. Aku pun menghela napas panjang dan segera melanjutkan perjalanan ke kos Vania untuk mengantar barang "terlarang" ini.
…
Aku berdiri di depan pintu kos Vania, tanganku masih memegang barang ‘terlarang’ itu. Ya… Pembalut pesenannya Vania, yang sedari tadi kubawa dari Alfamart sambil nahan malu, karena lupa bawa tas belanja.
Tok tok tok! Aku mengetuk pintu.
Nggak sampai tiga detik, pintu kebuka—tapi cuma sedikit. Kepala Vania nongol dari celah pintu, rambut panjangnya sedikit berantakan kayak baru bangun dari rebahan, tapi wajahnya tetap fresh, nggak ada tanda-tanda ngantuk. Tank top hitam tipisnya sedikit kelihatan dari sela pintu yang terbuka.
"Apaan?" tanyanya santai.
Aku mengulurkan sebungkus pembalut pesanannya. "Pesanan lo, Yang Mulia."
Dia ngambil pembalutnya itu tanpa basa-basi. Aku langsung berbalik, udah capek dan kepikiran mau balik ke kos buat tidur. Tapi baru beberapa langkah, suara Vania nyusul.
"Heh, kemana lu? Sini dulu."
Aku mendengus malas. "Apa lagi, Van?"
Dia nyengir. "Sini masuk. Gue mau kasih pembukaan les-nya malam ini."
Gue kaget. Mata yang tadi udah mulai sayu, langsung melek seketika. "Serius, Van?!"
Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk, nggak pakai permisi.2940Please respect copyright.PENANADOzzeQgoOc
...2940Please respect copyright.PENANANrA02VWIOG