Aku percaya kalau roda kehidupan selalu berputar. Tapi aku sama sekali nggak nyangka kalau rodanya bisa muter 180 derajat dalam hitungan menit. Baru saja kumerasakan surga, menikmati memeknya Vania yang ternyata seluarbiasa itu (meski akupun nggak tahu memek yang biasa itu rasanya gimana), tapi sekarang aku terdampar di neraka, menerima hukuman dari Vania, buah hasil dari perbuatanku sendiri.
Vania duduk di kursi, sudah berpakaian lengkap, celana pendek ditambah kaos crop top yang sedikit kusut gara-gara ulahku. Tatapannya tajam seperti algojo yang siap mengeksekusi. Rambutnya dikuncir kuda, membuatnya makin terlihat tegas tapi tetep cantik, hanya saja yang membuatku takut adalah benda di tangannya—sebuah sandal jepit. Bukan sembarang sandal jepit, tapi sandalku sendiri.
Tangannya yang memegang sandal ia angkat tinggi-tinggi. Pergelangan tangannya yang lembut masih kelihatan bekas merah—jejak dari selendang yang tadi kugunakan untuk mengikatnya.
PLAK!!
Sandal jepit itu mendarat telak di pantatku. Suaranya nyaring banget, kayak bedug lebaran yang dipukul anak kecil sekuat tenaga.
“Aduh! Sakit, Van! Maaf banget, gue khilaf!” Aku menungging dengan posisi nggak bermartabat, celana melorot, pantat terekspos dan harga diri sudah menguap entah ke mana.
Vania mendengus, ekspresinya nggak melunak sama sekali. “Dasar bajingan! Gue ini sahabat lo sendiri, dan lo berani gituin gue?! Lo pikir lo siapa? Dewa Zeus?”
PLAK!
“Aduh, Van! Gue sumpah nggak sadar tadi! Gue bener-bener minta maaf!”
“Lo nggak sadar?!!” Vania mengangkat sandal jepit lebih tinggi, siap dengan eksekusi berikutnya. “Loe iket gue, pelorotin gue, ngentotin gue, itu nggak sadar?! OKE GUE SADARIN LOE SEKARANG!!”
PLAK!
“ADUHHH!” Kali ini pukulannya sumpah sakit banget. Aku langsung refleks nurunin pantat dan mengusap2 bagian yang sudah mulai berdenyut nyeri. “Ampun Van..! Sakit banget.”
“Naikin pantat lo! Cepetan, sebelum gue laporin lo ke bokap nyokap lo, atau sekalian ke polisi biar pantat lo dientot sama para napi di dalem sana? Hemm..?! Pilih mana?!”
Aku langsung membeku. Nggak ada pilihan lain selain tunduk pada perempuan dengan sandal jepit maut ini. Dengan sisa harga diri yang tersisa, kuangkat pantatku lagi, siap menerima nasib.
Vania menghela napas panjang. Aku bisa lihat dia mencoba menenangkan diri, tapi tangan kanannya masih menggenggam sandal jepit dengan ancaman nyata.
“Oke Lang…” katanya dengan nada rendah, tapi penuh aura pembantaian. “Gue kasih lo satu kesempatan buat jelasin. SEBELUM gue naik level dan pecut lo pake itu.”
Mataku mengikuti arah jarinya yang menunjuk ke sabuk yang tergantung di pintu. Anjir. Satu sandal jepit saja sudah sangat mematikan di tangan Vania, apalagi kalau dia sampai pakai sabuk itu.
“Gue… Gue beneran nggak ada niat jahat, Van,” suaraku bergetar. “Gue cuma… ya gitu… kesetanan dikit…”
Vania menyipitkan mata. “Kesetanan dikit?” suaranya naik setengah oktaf, penuh emosi. “Gilang, lo NGIKET tangan gue erat banget, terus REMES-REMESIN tetek gue sekenceng itu dan yang lebih parah—LO GENJOTIN KASAR memek gue pake kontol gede lo yang nggak berguna itu! Lo pikir itu ‘dikit’?”
Aku menyengir kecut. Oke, kalau diucapin gitu, kedengarannya emang anjing banget.
“Tapi gue nggak crot di dalem, kan?” Aku mencoba membela diri.
PLAKK!
“AWW!” Aku melompat panik. Itu bukan lagi tamparan di pantat bercandaan. Sandal jepitnya barusan nempel di punggung gue. Gile, efeknya membangkitkan trauma masa kecilku waktu dimarahin bokap karena ketauan bolos sekolah buat main warnet waktu SD.
“LU MERKOSA GUE, BANGSAT!” bentaknya, suaranya pecah di kamar.
Oke, kayaknya gue harus lebih pintar memilih kata.
"Eh, eh, Van, kita ngomong baik-baik aja yuk?" Aku buru-buru duduk bersila, mengabaikan rasa perih di punggung dan pantatku. "Gue minta maaf! Gue janji bakal bertanggung jawab!"
Vania mendengus, matanya menyipit curiga. "Bertanggung jawab gimana?"
"Gue kasih lu duit," jawabku cepat. "Akhir bulan nyokap gue ngirim uang bulanan, lu boleh ambil semuanya… eh, sebagian…"
"EH, KAMPRET! LU PIKIR GUE LONTE?!"
PLAK!
Kali ini tamparannya sukses mendarat di kepalaku sebelum aku sempat menangkis.
"Ampun, Van! Gue salah ngomong!" Aku buru-buru mengangkat tangan tinggi, berharap bisa menyelamatkanku dari serangan sandal berikutnya. "Terus lu maunya apa, Van? Gue kasih apa aja deh, asal bukan nyerahin nyawa gue ke lu!"
Vania menatapku dengan ekspresi berpikir, jari-jarinya mengetuk sandal jepitnya pelan, seolah sedang mempertimbangkan apakah aku masih pantas hidup atau nggak.
Kaos crop top-nya sedikit terangkat saat dia bersandar, memperlihatkan perutnya yang ramping—dan pusar kecilnya, tempat di mana tadi spermaku sempat menggenang. Tapi sekarang sudah bersih, tadi dia bersihkan sendiri pakai tisu.
Lalu, tiba-tiba matanya berbinar, seolah dapet ide brilian.
"Oke, kalo gitu…" Dia menyeringai. "Gue mau lu jadi kacung gue. Seumur hidup. Gue suruh ini-itu, lu harus nurut."
"Seumur hidup?! Gile aja lu!"
Vania mendengus pelan, seakan nggak kaget sama responsku. "Kayaknya lu belum ngerti posisi lu sekarang deh, Lang. Wait, gue jelasin…"
Dia merogoh HP-nya, casingnya berwarna pink pastel dengan gambar karakter Kuromi yang cemberut, kontras banget sama ekspresi puas di wajahnya sekarang. Gantungan kunci kecil berbentuk botol susu tergantung di sisi HP-nya, berayun-ayun saat dia scrolling sebentar. Lalu, tanpa banyak drama, dia menyodorkannya ke arahku.
Jantungku langsung mencelos.
Di layar, ada video. Video waktu aku memperkosa Vania barusan. Gue ngiket dia. Gue nahanin dia. Terus gue—anjir ngentot.
“Gue udah set upload otomatis," lanjutnya santai. "Gue juga udah nge-info ke temen gue kalo gue lagi di kamar berdua sama lu. Pokoknya, udah skak mat."
Wajahku langsung pucet. Vania ini memang pinter, tapi nggak kusangka bakal sepinter ini. Pas tadi dia naruh HP di meja sebelum tidur, aku kira dia cuma capek… Ternyata itu pancingan. Dari awal, dia udah siapin semuanya seandainya aku nekat macem-macem padanya.
Mantap sudah. Hidup gue sekarang resmi dipegang Vania.
"Muka mupeng lo nggak bisa bohong," Vania melanjutkan, nada suaranya lebih lembut, tapi justru makin bikin nyaliku ciut. "Udah ketauan dari awal. Tapi sumpah gue nggak nyangka lo sampe sejauh itu. Kalo gue laporin ini ke polisi atau ke nyokap lo… duh, gawat banget pasti.”
"Vann… jangan dilapor, please…" suaraku melemah. "Jangan laporin ke nyokap gue. Tega banget lu sama temen dari kecil…"
Vania mengangkat alis, seakan nggak percaya denger omonganku. "Eh, hellooo…" Nadanya makin nyolot. "Yang tega itu elu, Bangsat!"
Gue cuma bisa diem.
"Ngira-ngira dong, kalau mau ngelakuin fantasi jorok lu itu," katanya, masih bersandar santai di kursinya. Kaki mulusnya disilangkan, matanya menatapku kayak dosen lagi nasehatin mahasiswa goblok. "Ini semua gara-gara lu kebanyakan nonton bokep. Temen sendiri lu embat!"
"Iya, Van, maaf… Nggak lagi-lagi deh, sumpah!" Aku masih bersimpuh di lantai, persis kayak buronan minta pengampunan.
Vania mendengus. "Ini masih untung lu ngelakuinnya ke gue. Kalo ke orang lain? Bisa abis lu, Lang. Paling minimal masuk penjara, maksimal lu dikeroyok massa sampe bonyok."
Aku menunduk. Iya, aku tahu. Aku termasuk beruntung kali ini. Vania mungkin pergaulannya agak lebih bebas dibanding cewek-cewek lain, jadi dia masih bisa lihat ini sebagai "kesalahan fatal" dan bukan "tindakan kriminal."
"Tapi sumpah…" Dia tiba-tiba ketawa kecil, ekspresinya campuran antara geli dan nggak habis pikir. "Gue nggak nyangka lu se-nekat itu. Gue bikin lu sange banget ya?... Mana kasar banget lagi! Pelan-pelan dikit kek, bikin cewek nyaman dulu."
Gue mendongak sedikit mencoba memahami omongannya. Bikin nyaman dulu? Kamsudnya?
"Wait…" Mata Vania menyipit, kayak baru sadar sesuatu. "Jangan bilang… ini pertama kalinya lo ngewe?"
Gue tercekat. Anjir.
Kalau gue jujur, bisa-bisa ini jadi bahan bully seumur hidup. Tapi di posisi sekarang, bohong pun percuma. Gue mengangguk pelan.
Vania membelalak. "Jadi… first kiss sama perjaka lo di gue? Barusan itu?"
Gue mengangguk lagi, lebih pelan dari sebelumnya.
Vania menutup mulutnya, lalu—meledak ketawa.
"DUH, LANG!" Dia mengguncang-guncangkan bahunya sendiri, ngakak sejadi-jadinya. "Malu-maluin banget sih lo jadi cowok?!"
Gue hanya bisa menatap lantai dengan wajah memerah.
"Astaga, segitu ngebetnya lu pengen tau rasanya memek sampai temen sendiri lu embat!" lanjutnya sambil terkikik. "Gue sampai speechless, sumpah!"
Aku mengusap wajahku. Rasanya pengen hilang dari dunia ini.
"Lu bilang baik-baik kek," Vania melanjutkan, ekspresinya sekarang lebih jail daripada marah. "Minta izin, mohon-mohon ke gue dulu kek. Mungkin gue pertimbangin buat bantu ngelepas perjaka lo, siapa tahu kan?"
Aku langsung mendongak. Hah?
Vania terkekeh melihat reaksiku. "Daripada lu jadi penjahat kelamin gini. Tapi lu malah langsung nyeruduk aja kayak banteng." Dia menggeleng-gelengkan kepala pura-pura prihatin. "Mana ngebet banget lagi, kayak bocah disuruh antre pas pembagian sembako."
Biasanya aku bakal langsung balik nyerang atau ngeles. Tapi kali ini, aku mending diem aja. Suasana hatinya lagi bagus. Kalau aku sok ngegas, malah bisa kena sandal lagi. Mending jadi bulan-bulanan bentar.
Vania memiringkan kepalanya, menatapku penuh selidik. "Atau… jangan-jangan fetish lo emang gitu? Yang maksa-maksa dikit?"
Duar.
Duh, tepat banget. Tebakan Vania emang suka bener.
Aku garuk-garuk kepala, berusaha pasang tampang santai. "Yaaaa… iya sih, Van. Tapi nggak terlalu kok." Kutambahkan bumbu pura-pura normal, padahal aslinya mah suka banget.
Vania mendecak. "Lang… Lang… Lu belum tahu sih gimana rasanya kalau ngewe saling cinta pake hati." Nada suaranya mendadak kayak kakak kelas yang bijak. "Tapi gue ingetin ya, fantasi lu tuh harus ada batasnya. Jangan sampe bikin lu kelewatan sampe ngerusak masa depan. Minimal pasangan lu setuju. Pake consent."
Aku mengernyit. "Konsen? Harus konsentrasi gitu ya?"
Vania langsung melongo. "Anjrit… gue lupa otak lu sering error." Dia menepuk jidatnya sendiri. "Bukan konsentrasi, BEGO. Consent! Bahasa Inggris! Artinya persetujuan atau kerelaan gitu."
"Ohhh…" Aku mengangguk-angguk paham. Tapi sebelum bisa ngerespons lebih lanjut, Vania udah nyamber lagi.
"Eh, boro-boro consent. Lu dapet pasangan aja kagak bisa!"
Aku mendelik. "Heii…! Bukan nggak bisa, ya. Gue tuh orangnya pilih-pilih aja."
Vania langsung ngakak. "Ah, klasik banget alasan lu!"
Aku mendengus. "Memang pilih-pilih kok! Daripada lu, piala bergilir."
PLAK!
"AWWSHH!" Aku mengerang. Sebuah pukulan sandal lagi-lagi mendarat di punggung gue.
"Piala bergilir PALA LU!" bentak Vania. "Denger ya, gue juga pilih-pilih. Cuma bedanya… GUE DAPET SEMUA YANG GUE PILIH!"
Kupijat punggungku yang mulai perih. "Iya… iya… si paling dapet semua yang dipilih."
Vania mendengus puas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi sambil menatapku penuh kemenangan. Aku? Ya cuma bisa pasrah.
“Tapi serius, Lang… lu itu parah banget jadi cowok. Gue kasian sama lu,” katanya sambil menggeleng pelan.
Aku diem aja, harga diri udah terlanjur jatuh bebas di depan Vania.
“Hmm… gini aja deh.” Vania menatapku dengan ekspresi sok bijak. “Gue bakal ajarin lu gimana caranya memperlakukan cewek, biar lu nggak malu-maluin.”
“Hah? Serius?” Aku langsung mendongak. Tanpa perlu dijelaskan aku sudah ngerti arah maksud Vania.
“Tapi bukan ngajarin cara PeDeKaTe ya, itu mah susah karena tiap cewek beda-beda. Gue bakal ngajarin lu supaya setidaknya bisa lumayan jago di atas ranjang. Atau intinya gue mau ngajarin cara ngewe yang bener biar bikin cewek puas.”
What? Vania mau ngasi aku les privat tentang ngewe. Aku takut salah denger, tapi ekspresi wajah Vania kelihatan serius.
“Biar kontol gede lo itu nggak mubazir. Kalo kayak tadi, lo malah mirip bocah puber kesetanan. Gimana? Mau ngga-”
“Mau! Mau! Mau! Seriusan, Van?” Belum pernah gue menjawab secepat ini seumur hidup.
Vania mengerjapkan mata, lalu mendadak memasang ekspresi jijik. “Buset… mupeng banget muka lu. Nggak jadi, deh.”
“Eh, eh, Van! Jangan gitu! Please ajarin gue! Please, Ratu Vania yang paling cantik dan seksi se-Indonesia!” Aku langsung berlutut di depannya, mendramatisasi keadaan. Jemariku refleks menyentuh pergelangan kakinya yang mulus, dan memijat mijat betisnya yang empuk, berharap sedikit belas kasihan.
Tapi bukannya iba, dia malah nendangin kakinya. “Jangan pegang-pegang gue sembarangan, kampret!”
Aku langsung mundur sebelum kena sandal lagi.
Vania menghela napas panjang. “Yaudah deh, iya… gue bakal ajarin lo.”
Aku hampir sujud syukur. “Serius?? Horeeee!! Terima kasih, Ratuku Vania Syafira Rahmani!”
Dia menatapku geli, tapi aku nggak peduli. Yang penting, aku bakal diajarin ngewe sama Vania.
“Eh, tapi emangnya nggak apa-apa, Van? Lu sekarang lagi nggak ada pacar?” tanyaku penasaran.
“Ada sih…” jawabnya santai. “Tapi dia tuh alim banget. Jadi ya udah lama banget gue nggak pernah ganti oli sejak putus sama mantan terakhir. Hahaha.”
Aku mengerjapkan mata. Ganti oli? Anjir.
“Kayaknya gue nanti mau bener-bener serius sama yang ini,” lanjutnya, nada bicaranya tiba-tiba agak lembut. “Jadi ya, rahasia kita aja ya, sebelum gue bener-bener hijrah.”
Entah kenapa, ada sedikit rasa cemburu di hatiku. Tapi lebih dari itu, aku ikut senang. Kayaknya Vania beneran udah nemu seseorang yang cocok, dan dia mulai berpikir buat jadi lebih baik untuk orang itu nantinya.
Aku pun memberi gestur meresleting mulut sendiri, tanda siap menyimpan rahasia rapat-rapat.
“Jadi…” Aku menyeringai penuh harap. “Sekarang mulai, nih? Les privatnya?”
Vania langsung nyorongin sandal jepit ke wajahku. “Ya nggak lah, bego! Kapan-kapan gue hubungin. Sekarang lo pergi sono. Gue mau ulang mandi lagi, bau peju lo masih nempel di badan gue.”
Aku mendengus, lalu bangkit sambil meraih tas. Baru saja kubuka pintunya, tiba-tiba suara Vania memanggil lagi.
“Oh iya, Lang…”
Aku menoleh.
Vania menggoyang-goyangkan HP-nya dengan senyum manis. Manis, tapi penuh ancaman.
“Jangan lupa ya… lo tetep kacung gue mulai sekarang.”
Asu.
“Iya, iyaaa… hadeehh.” Aku mendesah malas.
Terdengar bunyi klik dari balik pintu—Vania menguncinya. Ya, udah bisa ditebak, dia pasti langsung masuk kamar mandi sekarang.
Aku berdiri di depan pintu kosnya, lalu menatap langit. Hujan sudah reda. Udara masih terasa dingin, tapi kepala dan badanku panas—campuran antara adrenalin, malu, dan entah apa lagi. Sungguh, ini hari yang nggak bakal gue lupakan. Apalagi pas maksa ngentot Vania.
Badannya Vania masih teringat jelas di otakku. Asli, badannya bagus. Ramping, kulitnya mulus toketnya mantep, meski nggak tobrut2 amat. Duh, jadi nggak sabar nunggu diajarin ngewe sama Vania.
Aku menghela napas panjang, lalu berjalan menuju kamar kos. Tapi baru dua langkah, rasanya seperti ada yang aneh.
“Van!! Sandal gueee!!!”
Aku kembali ke pintunya, menggedor dengan penuh harap. Nggak ada jawaban. Ya jelas lah, Vania pasti udah sengaja ngebiarin aku jalan nyeker dan sekarang pasti lagi asyik mandi sambil nyanyi-nyanyi.
Asem. Terpaksa aku turun tangga cuma pakai satu sandal.
Pas udah hampir sampai di bawah, tiba-tiba ada lagi yang nyelak di otakku.
Jantungku hampir copot. “Aduhhh… tugas gue!”
Buru-buru kulihat jam di HP.
Mampus.
Sudah lewat deadline.
Aku langsung nunduk pasrah. Ya sudahlah, besok coba nego sama Bu Tia. Semoga mood beliau lagi bagus.
ns3.142.142.113da2