Nafasku memburu saat kutarik bagian karet pinggang celana pendeknya Vania, menampilkan celana dalamnya yang juga berwarna biru laut, senada dengan bra yang dikenakannya. Celana dalamnya melekat dengan sempurna, mencetak lipatan memek Vania yang terlihat tembem seperti kue apem.
Nafasku berat, jantungku berdentam keras di dada, dan tubuhku dipenuhi gejolak yang tidak bisa lagi kutahan. Aku menginginkannya. Aku ingin melihatnya. Memeknya Vania.
Tanpa sadar, aku menarik celana dalamnya dengan sedikit terburu-buru. Aku mendengar napasnya tersentak, tubuhnya sedikit menegang di bawahku. Tapi aku tak bisa berhenti. Jemariku terus menarik kain segitiga itu ke bawah, meluncur melewati pahanya yang merapat kuat, hingga akhirnya…
Aku terdiam.
Dunia seperti mengecil dalam sekejap. Pandanganku terpaku pada sesuatu yang kini tersingkap di hadapanku.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihatnya—kemaluan wanita, bagian paling tersembunyi yang selama ini hanya bisa kulihat lewat video bokep.
Aku menelan ludah. Mata dan pikiranku mencoba memproses apa yang kulihat. Kulitnya begitu lembut, lebih pucat dibanding bagian tubuh lainnya, dan ada sesuatu yang terasa… asing, tetapi juga begitu nyata. Di bawah bulu-bulu yang tercukur rapi, aku melihat lipatan-lipatan halus yang tertutup samar, seperti gerbang yang masih rapat, menunggu untuk dijelajahi. Ada sedikit kelembapan di sana, sesuatu yang belum pernah kusentuh sebelumnya, tetapi naluriku mengatakan itu adalah respons alami tubuhnya.
Aku mendongak, menatap wajah Vania. Matanya menghindar, pipinya memerah hingga ke telinga, dan ekspresi wajahnya seperti hendak mengatakan sesuatu tapi menahannya. Tubuhnya menegang, seperti berusaha mengendalikan kegugupannya.
Apakah dia malu? Atau dia merasa canggung karena ini pertama kalinya memeknya dilihat olehku, sahabat baiknya sejak lama?
Kalau aku? Ini pertama kalinya aku melihat memeknya. Dan aku tahu, aku tidak akan pernah bisa melupakan pemandangan ini. Aku menelan ludah lagi, mencoba mengatur napas yang tak beraturan. Aku tidak bisa berpaling. Mataku terpaku, pikiranku berkecamuk. Tapi nafsuku yang membara membuatku tidak berhenti sampai di sini.
Kutarik nafas dalam-dalam saat jemariku bergerak mengeluarkan Anacondaku dari sangkarnya. Ada getaran halus di tanganku, entah karena gugup atau terlalu bersemangat. Gerakanku terburu-buru karena nafsu, namun entah kenapa waktu terasa begitu lambat.
Saat celana dan pakaian dalamku akhirnya melorot, aku bisa melihat perubahan ekspresi di wajah Vania. Matanya membelalak sejenak, lalu refleks menutup pahanya lebih rapat. Tidak ada erangan yang keluar dari bibirnya yang tersumpal, tapi dari cara dia melihat kemaluanku, dari bagaimana dadanya naik turun lebih cepat, aku tahu—dia gugup.
Atau mungkin, lebih dari itu.
Aku bisa merasakan tatapannya fokus ke sana, ke bagian tubuhku yang kini berdiri tegak tanpa penghalang. Wajahnya sedikit memerah, ada sorot panik di matanya yang berusaha ia sembunyikan, tetapi aku bisa melihatnya dengan jelas. Dia menelan ludah, tubuhnya bergeming di tempat, seperti sedang memproses sesuatu yang baru pertama kali ia lihat dalam hidupnya.
Aku pun menyadari sesuatu—mungkin dia takut.
Tidak, bukan takut padaku, tapi pada apa yang akan terjadi selanjutnya.
Asal kalian tahu, Vania itu sering gonta-ganti pacar. Tentunya dia sudah berpengalaman berhubungan seks dengan beberapa cowok. Dia sendiri yang mengakuinya, dan itu semakin jelas dari caranya meledekku yang masih perjaka di jaman sekarang pada usiaku yang sudah menginjak 22 tahun.
Tapi pada momen ini, aku bisa menebak kalau ini pertama kalinya dia melihat kontol yang sebesar punyaku.
Kalau ada satu-satunya hal yang bisa kubanggakan, mungkin itu kontolku. Jujur belum pernah kuukur secara langsung, tapi kalau boleh kuperkirakan, Anacondaku ini mungkin panjangnya sekitar 20cm dengan diameternya 5cm.
Mungkin nih ya. Mungkin ukuran kontolku itu yang menjadi alasan kenapa Vania yang sudah berpengalaman ‘ngentot’ masih saja terlihat sedikit tegang. Aku melihat bagaimana matanya sekilas mengukur, seolah mencoba membayangkan sesuatu yang besar masuk ke dalam sesuatu yang begitu sempit. Ada ekspresi takut tapi pasrah terpancar di wajahnya.
Kupentangkan kedua paha Vania yang putih montok. Ada sedikit penolakan, namun tidak sekuat pertama kali ia meronta.
Kemaluan kami begitu dekat. Jantungku berdegup kencang.
Aku sadar, setelah ini tak ada lagi jalan untuk mundur. Rasa bersalah karena memaksakan kehendakku pada teman sendiri perlahan memudar, tergantikan oleh sesuatu yang lain—dorongan liar yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
Tanganku mencengkeram pinggangnya yang ramping, napasku nyaris terburu-buru saat aku mencoba menyatukan diri dengannya. Tapi begitu aku mulai masuk, semuanya tidak berjalan semudah yang kubayangkan. Ada perlawanan halus, seolah memeknya masih beradaptasi dengan kontolku yang besar. Aku mendorong sedikit lagi, tapi tetap terasa seperti menabrak batas yang belum sepenuhnya terbuka.
Aku menelan ludah. Rasa panas di tubuhku bercampur dengan kebingungan, di satu sisi aku ingin terus maju, di sisi lain aku takut menyakitinya. Aku melihat ke arahnya—matanya setengah terpejam, bibirnya yang tersumpal berusaha lebih mengatup, napasnya tersengal. Vania pasrah, dia tidak menolak, tapi tubuhnya menegang sesaat.
Dorongan dalam diriku terlalu kuat untuk dihentikan. Dengan sedikit lebih banyak usaha, akhirnya kontolku bisa masuk lebih dalam.
“Nnnnggghhh...” Erang Vania ketika kontol besar berukuran sekitar 20cm milikku bersarang sepenuhnya di dalam memek tembemnya. Seketika kurasakan sensasi nikmatnya menembus memek wanita untuk pertama kalinya dalam hidup. Rasanya begitu intens—hangat, lembut, tapi juga erat, membuatku nyaris kehilangan kendali.
“Ouuuhhh… Anjing.. Mantep banget.!!” Aku mengerang pelan, terkejut akan rasa yang begitu nyata. Selama ini, aku hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya menyetubuhi wanita, tetapi tak ada bayangan yang benar-benar bisa membuatku siap untuk ini. Tubuhku seakan tersedot ke dalam pusaran kenikmatan yang begitu kuat, begitu dalam, sampai otakku kehilangan koordinasi sejenak.
Kucoba menarik kembali kontolku yang tadi tertancap begitu dalam di memeknya. Kuamati tidak ada noda darah yang menempel di kontolku, hanya sedikit basah oleh cairan yang kutebak berasal memeknya Vania. Aku merasa sedikit lega, tak bisa kubayangkan betapa besarnya rasa bersalahku kalau Vania ternyata masih perawaan.
Pinggulku mulai bergerak maju mundur, masih sedikit canggung, masih belum menemukan ritme yang tepat. Kadang terlalu dalam, kadang terlalu cepat, dan aku bisa merasakan dinding memek Vania berusaha menyesuaikan dengan gerakanku yang belum stabil. Tapi aku tak bisa berhenti. Hasrat yang mengalir di nadiku terlalu liar, membuatku sulit berpikir jernih.
Kudengar nafas Vania semakin berat, ada suara lirih yang terdengar dari balik bibirnya yang tersumpal, samar tapi cukup untuk membuatku semakin terangsang. Aku menggenggam pinggang rampingnya lebih erat, tarikan dan dorongan kontolku semakin cepat. Semakin menyatu dalam ritme yang mulai terbentuk dengan sendirinya.
Gerakan kontolku semakin cepat, semakin dalam, semakin tak terkendali. Kugagahi memek Vania dengan penuh gairah, tak peduli yang kulakukan ini salah atau benar. Entah sudah berapa lama kugenjot memek legitnya Vania, tapi yang kutahu, ini adalah momen yang tak akan pernah bisa kulupakan. Perasaan ini begitu mentah, begitu liar, begitu nyata. Jauh lebih nikmat dibandingkan melakukan masturbasi sendirian.
Yang membuat gairahku tak kalah memuncak adalah ketika melihat ekspresi wajah Vania yang begitu pasrah menerima hujaman kontolku. Dengan tubuh putih mulus yang setengah telanjang, tangan yang terikat di belakang, serta mulut yang tersumpal, Vania bergoyang liar di bawah kendaliku. Toketnya yang bulat kenyal juga ikut berguncang hebat seirama dengan sodokan kontolku pada memeknya.
Aku suka pemandangan ini.
Aku bisa merasakan puncaknya semakin dekat, sensasi yang menggelitik punggungku, merambat naik ke tengkuk, mencengkeram seluruh tubuhku. Dadaku naik turun, napasku semakin berat, dan aku tahu… aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi.
“Ouuhhh… Enak banget memek lu Van.. Ssshhh.. Gue mau keluar.. uuhh….” Desahanku semakin menjadi-jadi, namun saat aku membuka mata, kulihat Vania menggeleng-geleng sambil menatapku dengan tatapan yang cukup memelas.
Sesuatu di dalam kepalaku menahanku. Pikiran itu datang begitu saja, menciptakan benturan sekejap—hanya sepersekian detik untuk memilih. Insting primitifku berteriak agar aku menanamkan benih kehidupanku pada Vania, sementara akal sehatku mengingatkan konsekuensi yang bisa membuat kami hancur.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku menyerah pada naluri dan melepas semua benihku di dalam liang surgawinya Vania.
Jadi, dengan tenaga terakhir, aku menarik kontolku yang sebelumnya tertancap dengan mantap.
Aku mendengar nafas Vania tersentak kecil, tubuhnya sedikit terlonjak karena gerakanku yang tiba-tiba. Tapi aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Tanganku mencengkeram Anacondaku yang sudah terbebas, dan dalam beberapa tarikan napas terakhir yang serampangan, aku akhirnya mencapai puncak.
Sebuah gelombang kenikmatan menghantamku, begitu intens, begitu tak tertahankan. Aku mengerang pelan, tubuhku menegang sepenuhnya ketika pelepasan itu akhirnya datang—hangat, kuat, tanpa kendali, tumpah membasahi perut dan buah dadanya.
Aku hampir tidak bisa berpikir, hanya bisa merasakan denyutan yang mengalir dari dalam diriku, bercampur dengan napas berat yang memenuhi udara di antara kami. Tubuhku ambruk di sebelah Vania, terkulai lemas. Dadaku naik turun cepat, seakan baru saja melewati sesuatu yang begitu dahsyat.
Vania masih terbaring di sampingku, matanya terpejam, napasnya tersengal, belum sepenuhnya teratur. Kulit perut dan buah dadanya yang sudah hangat kini ternoda oleh sisa-sisa spermaku, membentuk jejak putih transparan yang bercahaya di bawah lampu kamar.
Aku melirik jam di dinding. Rasanya seluruh adegan kejadian tadi berlangsung begitu lama, seakan waktu melambat dalam setiap detiknya. Tapi nyatanya? Hanya sepuluh menit berlalu dari waktu pertama kali aku mengikat tangan Vania hingga menghujani sperma ke tubuhnya.
Aku mendesah, setengah lega—campuran antara kepuasan, kelegaan, dan kesadaran bahwa aku baru saja kehilangan perjakaku untuk pertama kalinya.
Namun, rasa itu tak bertahan lama. Begitu pandanganku beralih dari jam dinding ke wajah Vania, aku mendadak merinding.
Vania menatapku. Matanya menyala penuh kemarahan, meski mulutnya masih tersumpal dan tangannya tetap terikat. Bukan dengan kelembutan, bukan dengan senyum puas—tapi dengan tatapan yang bisa menguliti nyawaku hidup-hidup.
Aura membunuhnya luar biasa.
Saat itu juga, kesadaranku menghantam seperti truk yang melaju kencang. Astaga… Apa yang sudah kulakukan?
Keringat dingin mulai mengalir di pelipisku. Jantungku berdebar, bukan lagi karena gairah, tapi karena ketakutan.
Waduh… Tamat riwayatku hari ini.
ns3.142.142.113da2