“Eh?? Lang?? Lu ngapain?!!”
Matanya membelalak, suaranya tercekat di tenggorokan. Tapi terlambat. Kedua tangannya sudah terikat sempurna di belakang punggungnya.
“Lanngg?! Jangan bercan—Hmmmphh!”
Mata Vania melebar, tubuhnya menegang. Aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya, ekspresi ketakutan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Suaranya teredam saat kain di tanganku bergerak cepat, menyumpal mulutnya. Setelah semua beres, kubalikkan badannya hingga menengadah.
Tubuh Vania bergetar di bawahku, terengah-engah, tapi dia belum benar-benar meronta—mungkin karena syok. Matanya melebar, penuh ketakutan melihat diriku yang seperti kerasukan setan.
Aku menelan ludah. Jantungku berdentam seperti palu godam. Adrenalinku mengalir deras, namun disaat yang bersamaan, birahiku membara menyaksikan teman cantikku ini terikat dan tak berdaya dihadapanku.
“Hmmmpphh.. Hmmpphh..!” Protesnya tertahan sebelum kuciumi tepian bibirnya yang tersumpal. Jujur ini ciuman pertamaku dengan cewek. Miris memang… tapi persetanlah. Kucoba meniru apapun yang pernah kutonton di film bokep, sisanya kuserahkan pada instingku sebagai pria.
Aku menerkam bibirnya tanpa ampun, kusihap rakus seolah nggak ada lagi kesempatan kedua. Vania menggeliat, mencoba mengelak, tapi tanganku sudah mencengkeram kepalanya, menahannya erat. Aku nggak kasih dia lepas supaya dia tahu kalau sekarang aku yang berkuasa.
Bibirnya kugigit pelan, kuhisap, kucumbu tanpa jeda, pindah-pindah dari yang atas ke yang bawah, menikmati tiap detiknya dengan lapar. Hawa dingin dari hujan di luar justru membuatku semakin bernafsu menikmati bibir Vania. Rasanya lembut.. dingin.. seperti es krim.
Puas mengecap kelembutan bibirnya, aku langsung turun ke lehernya, tergesa-gesa. Kubiarkan bibirku menyapu sisi lehernya, merasakan denyut halus di bawahnya. Vania refleks kegelian. Bahunya naik hendak menutupi lehernya, tapi wajahku sudah tertanam di sana, menghirup aroma tubuhnya yang samar-samar manis, dengan wangi lembut yang bikin Anacondaku meronta.
Sambil mencumbu lehernya, tanganku bergerak sendirinya menjelajahi lekuk indah tubuhnya. Meraba liar hingga akhirnya berlabuh di suatu gundukan yang terlihat bulat dan menonjol dari luar baju kaos crop top nya. Kuremas-remas gundukan itu dengan kasarnya. Wahh... rasanya kenyal, lembut, tapi masih bisa kurasakan tekstur bra yang sedikit menghalangi.
Aku nggak sabar, penasaran pengen lihat toketnya Vania secara nyata.
Dengan tangan gemetar penuh gairah, kugenggam ujung bajunya, lalu dengan cepat kuangkat ke atas. Dalam sekejap, lekuk buah dada Vania tersingkap, masih terbungkus lembut oleh bra biru laut yang membingkai keindahannya. Napasku tercekat melihat mulusnya kulit buah dada Vania yang hanya baru terlihat sebagian.
Tak puas sampai di situ, jari-jariku bergerak lincah, menyingkap penghalang terakhirnya. Bra biru laut itu kuangkat paksa hingga di bawah lehernya, berkumpul dengan kaos crop top nya yang terlipat berantakan.
“Duing!” Payudara kenyal Vania seketika menyembul. Kemudian jatuh natural sesuai gravitasi. Dan saat akhirnya gundukan indahnya terbebas, mataku membelalak, terpaku pada pesona yang kini terhampar di hadapanku.
Toketnya Vania yang semula penuh dan tegak saat masih disangga bra, kini sedikit melebar mengikuti gravitasi. Tapi bukannya lenyap, bentuknya tetap nyata—bulat dan lembut, mengalun di atas badannya. Kulit payudaranya tampak begitu putih, lebih terang dibanding lengannya, hampir kelihatan bening di bawah cahaya. Kontras dengan warna lembut puting susu di puncaknya—merah muda kecoklatan yang mencuat halus, seolah menjadi titik fokus dari keindahannya.
Tanpa sadar kedua tanganku sudah melekat di toketnya Vania. Ukuran toketnya pas di telapak tangan, nggak kecil tapi juga nggak terlalu besar. Aku langsung meremasnya kuat— bukan karena niat, tapi karena gemas.
“Mmmhh—!” Vania tersentak sedikit. Matanya menatapku dengan ekspresi campuran. Antara terkejut, geli, atau mungkin protes karena remasanku begitu keras. Entahlah, perhatianku masih terlalu fokus sama sensasi luar biasa yang dirasakan telapak tangan dan jemariku.
Ini pertama kalinya aku memegang toketnya Vania, atau toket cewek lebih tepatnya. Ada perasaan aneh—bukan sekadar karena ini pengalaman baru, tapi karena teksturnya sama sekali berbeda dari bayanganku. Ini rasanya hangat, lembut, tapi juga berbobot. Nggak seperti benda mati yang hanya diem di tempat, ini terasa lebih hidup, lebih responsif.
Jari-jariku sedikit tenggelam dalam lembutnya toket Vania, yang seketika kusadari kalau kelembutannya bukan sekadar permukaan, tapi menyeluruh. Ada elastisitas, semacam perlawanan halus terhadap remasan kasar yang kuberikan. Rasanya kayak spons yang sangat halus—nggak sepenuhnya padat, tapi juga nggak lembek.
Tak kusangka ngeremes toket rasanya seasyik ini. Kuremas terus toketnya Vania, kucengkram gundukan lembut itu semakin lama semakin gemas, mengabaikan rintihan Vania yang teredam oleh kain yang tersumpal di mulutnya “Hmmhh…”.
Awalnya tanganku hanya meremas, mencoba memahami bentuk dan tekstur toketnya Vania. Tapi semakin lama, rasa ingin tahuku bertambah.
Aku menunduk perlahan. Saat bibirku menyentuhnya, aku bisa merasakan halusnya kulit payudara Vania, dengan aroma samar yang entah kenapa terasa begitu akrab dan menenangkan. Aku mencoba mengecupnya perlahan, sebelum perhatianku teralihkan pada puting imutnya Vania yang kelihatannya sudah mencuat.
Kugaruk-garuk putingnya pelan dengan ujung jari telunjukku. Lama kelamaan bentuk dan teksturnya sedikit berubah, lebih mencuat dan mengeras. Waktu kupencet-pencet putingnya, kini lebih keras daripada waktu di awal. Apa dia terangsang atau puting cewek memang seperti ini?
Aku mencoba mengecup putingnya perlahan, sebelum melahapnya dengan mulutku, hanya untuk menguji bagaimana rasanya. Reaksi Vania nyaris tak terdengar—seperti tarikan napas yang sedikit lebih dalam, atau mungkin hanya bayanganku saja. Tebakanku sih Vania pasti merasa geli-geli nikmat saat putingnya kuhisap dan kukulum seperti yang sedang kulakukan sekarang.
Sambil menyusu seperti bayi, aku melirik ke wajah Vania. Matanya setengah terpejam, ekspresinya sulit diartikan, tapi nggak ada penolakan di sana. Hanya napasnya yang sedikit berubah ritme, memberi isyarat bahwa dia juga merasakan sesuatu.
Ingin rasanya menikmati toket Vania lebih lama, namun gairahku sudah begitu membara. Anacondaku meronta-ronta menuntut untuk segera lanjut ke hidangan utama.
ns3.19.75.187da2