
Aku menatap layar laptop dengan wajah putus asa. Deadline tugas tinggal hitungan jam, sementara aku belum nulis satu kata pun. Solusinya? Jurus andalan mahasiswa malas: nyontek tugas teman.
Dan "teman terbaik"—atau lebih tepatnya, korban tetap—dalam hal ini adalah Vania.
Aku keluar kamar, naik tangga ke lantai atas tempat kamar Vania berada. Kos ini memang campuran, dan penghuninya tersebar tanpa aturan khusus soal gender. Ada yang sekamar sama teman sesama jenis, ada juga yang campur, tergantung kesepakatan mereka. Jadi, tiap lantai isinya nggak bisa ditebak—bisa saja sebelah kamar cowok, sebelahnya lagi cewek, atau malah pasangan yang sekadar patungan biaya.
Begitu sampai di depan pintu kamar nomor 11, kamarnya Vania, aku mengetuk tiga kali.
"Van, buka, woy!"
Nggak ada jawaban. Tapi aku tahu dia ada di dalam karena sandal Levine kesayangannya ada di depan pintu. Aku coba sekali lagi, kali ini lebih keras.
"Vania, plis, ini urgen. Gue butuh tugas lo buat referensi!"
Masih hening. Aku menghela napas. Kalau udah gini, berarti dia lagi iseng mau ngeselin aku. Aku pegang gagang pintu dan nyoba muter. Eh, kebuka!
Aku masuk dengan penuh kemenangan.
"Nah, ketauan lo males buk—"
Tapi sebelum kalimatku selesai, mataku menangkap sesuatu yang seharusnya nggak aku lihat.
Vania berdiri di depan cermin, cuma pakai handuk yang ngelilit badan rampingnya yang putih mulus. Rambutnya dicepol asal, tangannya sibuk ngelapin wajah pakai kapas. Aku langsung kaku di tempat karena handuk yang dia pakai kecil banget. Bawahnya cuma nutupin setengah paha, atasnya cuma setengah dada.
Astaga.
Otakku yang sudah tercemar ini langsung ingin salah fokus.
Sial.
Vania menatap pantulan mataku lewat cermin, lalu berbalik dengan ekspresi datar.
"Lo ngapain bengong kayak idiot?" tanyanya santai.
"Eh... anu... gua... tugas?" jawabku terbata-bata, reflek menutup mata dengan tangan tapi sambil ngintip sedikit.
Dia mendelik. "Gilang, demi Tuhan, lo mau tugas atau mau gue lempar dari lantai dua?"
Aku langsung balik badan, pura-pura ngeliatin tembok. "Sori, sori! Gue nggak sengaja! Lo juga sih, kenapa pintu nggak dikunci?"
"Lah, emang gue nyangka bakal ada bocil mesum yang nyelonong masuk?" dia menggerutu, kudengar suara Vania membuka lemari dan mengambil beberapa lembar pakaian.
Aku masih berdiri di tempat, merasa bego sendiri. Tapi di sisi lain, aku juga nggak bisa ngelawan fakta bahwa otakku mulai nge-save pemandangan tadi, gambaran Vania yang cuma handukan dalam HD kualitas terbaik.
"Gue ganti baju dulu. Loe jangan ngintip kalau masih mau keluar dari kamar gue hidup-hidup," ucap Vania yang bikin aku nelen ludah. Nggak bercanda. Vania tuh cewek yang kalau ngomong ancaman, dia bisa beneran nepatin.
Sial.
Aku mulai penasaran.
Selama ini, aku nggak pernah mikirin Vania sebagai cewek—maksudku, ya, dia cewek, tapi dia Vania. Sahabat sejak kecil. Dulu kami pernah mandi bareng di sungai waktu masih bocah, dan aku nggak pernah mikirin apa-apa.
Tapi sekarang? Sekarang aku sadar. Dia lawan jenis. Dan untuk pertama kalinya, aku bener-bener sadar.
Aku mendengar suara handuk jatuh ke kasur. Lalu suara kain bergesekan.
Sial…!
Aku berusaha keras menatap lurus ke tembok, tapi godaannya luar biasa. Cuma perlu noleh dikit. Sedikit aja, dan aku pasti bisa lihat badan putih mulusnya Vania yang tadi sembunyi di balik handuk.
Tapi… sebesar-besarnya rasa penasaranku, aku masih sayang nyawa.
"Udah belom? Lama amat, keburu deadline nih…" tanyaku, mencoba terdengar santai.
"Belooommm," jawabnya, dengan nada santai yang menyebalkan. "Kalau lo berani noleh, sumpah gue bakal bikin hidup lo sengsara."
Aku mendesah, setengah frustasi. Lama banget dia pakai baju! Tapi jantungku yang berdebar bikin waktu terasa berjalan lebih cepat.
Tiba-tiba, Vania cekikikan. "Seru banget ya liatin tembok gitu? Hihihi… Gue udah lese pakai baju dari tadi."
Aku melotot tanpa menoleh. "Tega banget lu! Nggak tau gue lagi deadline apa?"
Dia masih ketawa, jelas menikmati momen ini.
Akhirnya, aku dengar suara dia duduk di kasur. Aku langsung berbalik dan—sial.
Walaupun dia sekarang udah pakai baju, tetap aja… tetep aja, cuy.
Vania duduk santai di atas kasur lesehannya yang empuk & tebel, laptop di pangkuannya. Dia cuma pakai kaos crop top lengan pendek yang agak naik tiap dia gerak, plus celana pendek yang... ah, sudahlah. Dia kelihatan simpel, tapi tetep modis. Emang harus aku akui, Vania itu cakep.
Tangannya yang lentik lincah mengetik di keyboard, sementara iket rambut scrunchie warna pastel melingkar di pergelangan kanannya sekadar dijadikan gelang. Detail kecil yang, entah kenapa, bikin dia kelihatan makin feminin.
"Tugas yang ini kan?" katanya santai, memutar layar laptopnya ke arahku.
Aku melihat file yang dia buka dan langsung mengangguk. "Yah… iya itu…"
Tanpa basa-basi, aku langsung merampas laptopnya kayak jambret dan meletakkannya di meja lesehan. Aku buru-buru buka file tugasnya dan mulai membaca.
"Lu udah ngirim, Van?" tanyaku sambil tetap fokus ke layar.
"Udah. Kemarin malah," jawabnya santai.
"Hah? Bukannya terakhir ngirim hari ini?"
"Iya, makanya gue kirim kemarin. Lu doang tuh yang santai kayak mau ngerjain makalah semalam jadi."
Aku ngelirik jam di pojok layar. Dua jam lagi deadline.
Gawat.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mulai ngetik sambil melirik file Vania.
"Udah, bikin di sini aja biar cepet," kata Vania, sambil mengambil botol hand & body lotion dari meja dan menuangkan isinya ke telapak tangan.
Aku sekilas melihatnya mengusap lotion itu ke kedua lengannya, menyebarkannya perlahan sampai merata di kulitnya yang putih mulus. Tangannya bergerak santai, mengusap dari pergelangan ke bahu, lalu turun ke betisnya. Wangi lembut bercampur aroma segar memenuhi kamar.
Entah kenapa, aku jadi nggak bisa berkonsentrasi.
"Lu mau liatin gue atau mau ngerjain tugas?" suara Vania membuyarkan lamunanku.
Aku tersentak. "Eh? Nggak... ini gue fokus," kilahku buru-buru, mengetik lebih cepat dari tadi.
Dia hanya mendengus kecil, lalu meraih HP-nya dan mulai scrolling. "Santai aja. Gue juga lagi nggak ada acara keluar."
"Oke, sip!" jawabku, mencoba mengalihkan perhatian ke layar.
"Tapi jangan asal copas ya…" lanjutnya, melirikku dengan tatapan curiga.
"Iya iya, referensi doang, yaelah," jawabku asal.
Vania nyengir. "Eh, tapi terserah lu sih… Yang penting gue udah ngirim. Yang nanti ketahuan copas kan elu."
Aku mengetik cepat, berusaha menguras seluruh tenaga otakku yang sisa-sisanya sudah terkikis karena sering begadang. Tugas ini harus selesai. Harus.
Tapi lama-lama... fokusku mulai teralihkan.
Vania masih rebahan di kasur, tengkurap, main HP sambil kakinya gerak2 santai.
Aku nggak tahu kenapa, tapi hari ini dia kelihatan beda.
Biasanya, dia cuma sahabat masa kecil yang udah kebal sama segala kelakuanku. Tapi sekarang, aku baru sadar... dia cantik.
Atau lebih tepatnya, menggoda.
Sial. Ini bukan pertama kalinya aku mampir ke kamarnya, tapi ini pertama kalinya dia bikin aku hampir netesin air liur.
Aku melirik sekilas. Wajahnya tampak segar sehabis mandi, rambut hitamnya yang panjang tergerai bebas. Dia sesekali mengetik di HP-nya, kadang cekikikan sendiri, kadang mengernyit serius.
Tapi yang bikin aku benar-benar sulit fokus, bukan wajahnya.
Vania masih tengkurap di kasur, bertumpu pada sikunya. Punggungnya melengkung lembut, mengikuti garis pinggangnya yang ramping sebelum naik menanjak ke bukit pantatnya yang menonjol. Kaos crop top yang dia pakai sesekali naik sedikit saat dia bergerak, memperlihatkan sepotong kulit pinggangnya yang putih kayak porselen. Celana pendeknya—ya Tuhan. Hanya cukup nutupin sebagian pahanya, sementara betisnya yang mulus bergoyang-goyang pelan seiring gerakan kakinya.
Aku menelan ludah.
Sial.
Efek samping nonton bokep mulai bekerja. Kepalaku penuh racun.
Aku sendirian bersama seorang cewek di dalam satu kamar. Sunyi. Kasur empuk. Udara sejuk dari kipas angin.
Ini skenario yang sempurna.
Gila, kalau ini adegan di salah satu video bokep yang biasa aku tonton, aku tahu banget kelanjutannya bakal gimana.
Dan lebih gilanya lagi… aku kepikiran buat melakukannya.
Meskipun kadang galak, tapi tetep aja Vania itu cewek, dan tenaganya lebih lemah dariku… Aku bisa aja...
Aku menggeleng keras. Astaga, Gilang! Lu gila?!
Aku berusaha menekan pikiran menjijikkan itu jauh-jauh. Ini Vania, temenku sendiri! Aku nggak mungkin sebodoh itu.
Tapi sebelum aku bisa menenangkan diri, suara Vania tiba-tiba memecah keheningan.
"Heh? Raja bokep? Ngapain lu bengong? Ngeliatin gue?"
Brak!
Jantungku nyaris copot.
Dengan reflek aku langsung kembali menatap layar laptop. "Apaan sih! Gue lagi mikir, bego! Siapa juga yang liatin lu, ge-er amat!"
Vania mendengus, lalu kembali ke HP-nya. "Yaudah, selesain tuh tugas lo, jangan malah mikirin skenario bokep di kepala lu."
Aku nyaris keselek udara karena celetukan dia bener. "EH GOBLOK?! NGGAK ADA NGAPA-NGAPAIN GUE!"
Dia cuma cekikikan puas.
Aku menghela napas panjang, mencoba fokus kembali ke tugas.
Tapi dalam hati, aku nggak bisa bohong… Bener kata Ibu. Cewek cowok sekamar itu ngundang setan.
Dan sayangnya, setan itu ada di dalam otakku sendiri.
Hampir sepuluh menit aku duduk di depan laptop, tapi layar di depanku belum ada satu halaman.
Otakku lumpuh.
Sial.
Pikiranku berantakan. Antara tugas, Vania, dan bayangan-bayangan yang seharusnya nggak ada di kepalaku sekarang.
"Wah, hujan," suara Vania memecah keheningan.
Dan seolah semesta ikut mengujiku, hujan turun semakin deras.
Di luar, suara gemuruh air yang menghantam atap kos menggema. Aku bisa mendengar deru angin di balik jendela, menciptakan suasana yang… entah kenapa terasa makin sunyi.
Lengkap sudah.
Bunyi hujan menenggelamkan suara-suara lain. Kalau misalnya ada sedikit "keributan" di dalam kamar ini, nggak akan ada yang dengar.
Nggak, nggak, nggak. Gilang, sadar!
Aku buru-buru mencoba fokus ke layar laptop. Tapi nggak bisa.
Bahkan lebih buruk, otakku justru memutar ulang adegan-adegan yang seharusnya nggak ada di sini.
Aku masih pura-pura ngetik, tapi yang ada di kepala gue malah rekonstruksi skenario bokep. Rekonstruksi bagaimana gue mendominasi Vania.
Lalu, tiba-tiba...
Dari posisi tengkurap, Vania membalikkan badannya.
Aku cuma bisa melirik sekilas, tapi itu cukup.
Dia sekarang telentang, masih dengan crop top dan celana pendeknya.
Buah dadanya yang bulet kelihatan membusung dengan alami, naik turun pelan seiring napasnya. Entah kenapa, atau sejak kapan, gue baru sadar kalau toketnya Vania lumayan juga… meski nggak se-jumbo artis film bokep.
Astaga, Gilang! STOP!
Aku berusaha memalingkan muka, tapi tetap saja… dari ekor mataku, aku masih bisa melihatnya.
Matanya mulai sayu, mungkin efek hujan, mungkin juga karena dia baru habis mandi. Vania memang gampang ngantuk kalau habis kena air.
HP-nya yang tadi sibuk dia mainin, sekarang dia taruh perlahan di meja kasurnya.
Dia menarik napas dalam, lalu...
Memejamkan mata.
Ya gitu aja. Dia langsung tidur gitu aja.
Dan gue…
Gue mulai kehilangan akal sehat.
Di kepalaku, setan-setan mulai berbisik.
Sekarang cuma ada gue dan dia.
Sunyi.
Hujan semakin deras.
Gue bisa aja...
GUE HARUS KELUARIN. SEKARANG.
Tanpa pikir panjang, aku berdiri, lalu membuka suara dengan nada seremeh mungkin.
"Van, pinjem kamar mandi ya."
Dia nggak langsung jawab. Cuma menggumam pelan, nyaris seperti bisikan. "He’em…"
Matanya tetap tertutup. Napasnya teratur. Dia benar-benar mulai bobok cantik.
Aku menelan ludah, lalu buru-buru berjalan ke kamar mandi.
Begitu pintu tertutup, aku bersandar ke tembok, menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.
Aku menunduk, menoleh ke bawah, menarik karet celanaku untuk melihat isinya.
Anjing!
Anacondaku sudah siap tempur.
Pikiran kotorku sempat menggoda untuk melakukan hobiku sekarang.
Coli.
Sekarang Juga.
Di sini. Di kamar mandinya Vania.
Tapi ada sesuatu lebih gelap yang berbisik di kepalaku. “Sudah ada kesempatan yang pas. Kenapa nggak coba yang lebih nyata?”
Bukan. Itu bukan suara hatiku. Itu suara lain. Sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap. Berbisik seperti angin dingin di tengkukku. Samar, tapi kuat. Mirip suara Voldemort di film Harry Potter. Dan sialnya, bisikan itu terdengar sangat masuk akal.
Aku keluar dari kamar mandi dengan napas memburu. Mataku langsung tertuju pada Vania yang masih tertidur pulas, memeluk guling dengan wajah damai tanpa dosa. Napasnya pelan, bibirnya sedikit terbuka, tipis dan berwarna merah muda. Entah kenapa, aku ingin sekali… melumatnya, menghisapnya bagai permen stroberi.
Aku menelan ludah. Hatiku berdebar.
"Kesempatan itu nggak datang dua kali, Lang." Bisikan itu semakin nyaring, mengaduk-aduk pikiranku. Situasinya sempurna. Di sudut ruangan kulihat berbagai macam kain milik Vania yang bisa kugunakan untuk melancarkan niat jahatku.
Tanganku bergerak hampir tanpa sadar. Kuambil selendang yang tergantung di sudut kamar. Napasku berat, dada naik turun cepat.
Sebuah dorongan gelap menggerakkan tubuhku sebelum otakku sempat berpikir. Dalam sekejap, aku sudah menindihnya.
Tubuhku bergerak tanpa berpikir. Lututku menekan kasur, lenganku menindih pundaknya, dan sebelum aku sadar, tangannya sudah dalam genggamanku.
Jari-jarinya terasa kecil dan hangat di kulitku. Nafasku memburu.
Aku menarik selendang itu, membiarkan kain lembutnya melilit pergelangan tangannya yang halus.
Vania bergerak.
Aku bisa merasakan ototnya menegang, detik-detik sebelum dia menyadari apa yang terjadi.
Lalu—
“Eh?? Lang?? Lu ngapain?!!”
ns3.19.75.187da2