Namaku Gilang. Aku ini ganteng—setidaknya menurut cermin di kamarku. Kata beberapa teman, wajahku lumayan. Kata yang lain, biasa aja. Tapi menurut Vania, sahabatku sejak kecil, aku manusia paling jelek sedunia. Katanya, kalau ada kontes "Wajah Pas-pasan Sedunia", aku bukan cuma menang—aku bakal jadi maskotnya.
"Tapi ya, syukurin aja, Lang. Kalau lo ganteng, lo makin jadi predator," katanya suatu kali sambil menyeruput es teh di kantin.
Aku cuma ketawa. Aku tahu maksudnya. Dia sering ngeledek betapa aku lebih sering mantengin layar HP buat nonton bokep daripada merhatiin dosen di depan kelas. Kalau ada satu hal yang paling konsisten dalam hidupku sejak SMA sampai sekarang, itu adalah… ya, nonton bokep.
Jujur aja, aku bahkan nggak ingat kapan pertama kali nonton. Yang jelas, begitu tahu dunia ajaib ini, aku langsung jatuh cinta. Awalnya cuma iseng, lama-lama jadi rutinitas, dan sekarang? Hmm… lebih tepatnya, jadi kebutuhan.
Udah semester lima, dan kebiasaan ini masih lengket kayak stiker harga di barang diskonan. Aku lebih hafal nama-nama bintang film porno daripada nama dosen. Sementara temen-temen sibuk belajar buat kuis, aku sibuk scroll cari genre baru buat ditonton malam ini.
Di kosanku, kebiasaan ini makin menggila. Bukan cuma karena Wi-Fi yang kenceng, tapi juga karena lingkungannya yang… mendukung. Kos ini campur, cewek dan cowok. Ada dua bangunan saling berhadapan, dipisahin lorong sempit. Jendela-jendela kamar menghadap ke luar, tapi pintunya langsung ke lorong. Kadang, kalau malam sunyi, ada suara-suara samar dari kamar sebelah. Otakku? Langsung nyusun skenario 4K UHD dengan alur cerita yang nggak kalah dari film JAV.
Aku sadar ini nggak sehat. Aku tahu pikiranku makin sering nyasar ke arah yang gelap. Tapi ya… ini udah jadi bagian dari keseharianku. Dunia nyata rasanya makin nggak menarik. Interaksi sosial terasa ribet. Kenapa harus capek-capek PDKT kalau hiburan yang lebih "instan" ada di genggaman tangan?
Mungkin, sebagian besar ini gara-gara hubunganku yang dingin sama keluarga. Ayah jarang ngobrol kecuali pas marah atau kasih ceramah panjang yang rasanya kayak khutbah Jumat. Sementara ibu, kalau nelepon, polanya selalu sama: basa-basi, wejangan, terus ditutup dengan, "Jangan lupa sholat, Nak."
Jadi, ya, begini deh aku. Mahasiswa semester lima, jauh dari rumah, tinggi kurus, nilai pas-pasan, dan hobi nonton bokep.
Dan sejauh ini? Kupikir hidupku baik-baik aja.
Kupikir.
Sampai lama-lama, aku mulai terobsesi dengan satu genre tertentu.
Yang biasa-biasa aja, yang soft, yang sekadar adegan romantis? Udah nggak menarik lagi. Aku butuh sesuatu yang lebih… intens. Sesuatu yang lebih kasar, lebih liar, lebih ekstrem. Semakin sering aku nonton, semakin aku tertarik pada video di mana laki-laki punya kendali penuh, sementara perempuan hanya bisa pasrah. Ada sesuatu dalam dominasi total itu yang bikin aku… entahlah, merasa lebih berkuasa?
Dari situ juga, tanpa sadar, cara pandangku terhadap perempuan mulai berubah. Aku nggak tahu kapan tepatnya, tapi lama-lama aku semakin sulit melihat mereka sebagai manusia yang setara. Mereka lebih seperti… objek. Properti dalam fantasi di kepalaku. Dan yang lebih mengerikan, fantasi itu mulai menular ke cara aku melihat dunia nyata. Mungkin itu sebabnya, sampai sekarang, aku nggak pernah bisa benar-benar dekat sama cewek.
Awalnya, aku pikir nggak masalah. Toh, cuma ada di kepala. Fantasi, kan, nggak nyakitin siapa-siapa? Tapi semakin lama aku tenggelam dalam dunia ini, semakin pikiranku melangkah ke arah yang lebih gelap. Ada dorongan aneh yang mulai muncul—rasa penasaran yang nggak bisa kuabaikan. Gimana kalau aku bisa merasakan semua itu… secara langsung?
Dan di titik itulah aku mulai takut sama diriku sendiri.
Aku nggak mau jadi monster. Aku nggak mau kehilangan kendali. Tapi aku juga nggak bisa bohong—semakin lama, semakin sulit buat aku menepis bayangan-bayangan itu dari kepala.
Aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang sedang tumbuh. Sesuatu yang nggak seharusnya ada.
ns3.139.64.42da2