Pukul setengah setengah sembilan pagi, aku sudah berdiri di depan pintu rumah Grace dengan tas berisi perlengkapan renang dan keranjang piknik kecil berisi makanan. Hatiku berdebar, antara gugup dan bersemangat. Biasanya Grace sudah bangun pada jam ini, menyiapkan sarapan untuk keluarganya sebelum anak-anak berangkat sekolah dan Jonas ke kantor.
Grace membukakan pintu dengan ekspresi terkejut melihat keranjang di tanganku. "Apa ini?" tanyanya penasaran.
"Giliranku menyiapkan sarapan," jawabku sambil tersenyum lebar. "Aku tidak bisa terus-menerus merepotkanmu, Grace. Kali ini, biarkan aku yang membalas kebaikanmu."
Awalnya Grace tampak hendak protes, tapi setelah melihat kesungguhanku, dia akhirnya tersenyum hangat dan mempersilakanku masuk. "Baiklah, aku penasaran dengan masakanmu," ucapnya.
Kami duduk di gazebo dekat kolam, menikmati sandwich dan salad buah sambil mengobrol ringan, menunggu matahari sepenuhnya terbit. Ada kepuasan tersendiri melihat Grace menikmati makanan yang kupersiapkan, meski tentu saja tak selezat hidangannya yang selalu sempurna.
"Ini enak sekali," pujinya tulus sambil menggigit sandwich tuna. "Kau harus lebih sering membawa makanan seperti ini."
Sejak pagi itu, kami membuat kesepakatan tidak terucap. Terkadang Grace yang menyiapkan sarapan, di lain waktu aku yang membawa bekal dari rumah. Kami bergantian, menikmati masakan satu sama lain, berbagi resep dan ide-ide kuliner baru. Bahkan kadang kami bereksperimen bersama di dapur Grace yang luas, menciptakan hidangan-hidangan unik hasil kolaborasi kami.
Ritual berenang yang awalnya hanya kulakukan demi kesehatan fisik, kini berkembang menjadi momen berharga untuk mempererat persahabatan. Kami berbagi lebih dari sekadar kolam renang dan makanan—kami berbagi cerita hidup, keluh kesah, impian dan harapan. Di dalam air sejuk kolam atau di bawah payung gazebo menikmati sarapan, kami menemukan ruang aman untuk menjadi diri sendiri, jauh dari tuntutan dan ekspektasi dunia luar.
Minggu demi minggu berlalu, dan rumah Grace semakin terasa seperti rumah kedua bagiku. Kolam renangnya bukan lagi sekedar fasilitas yang kupinjam, tetapi saksi bisu perjalanan transformasi diriku. Dari wanita yang terperangkap rutinitas membosankan, menjadi sosok yang lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih menghargai keindahan persahabatan tulus.
"Tahu tidak," ucap Grace suatu pagi setelah kami menyelesaikan sesi berenang, tubuh masih basah dengan handuk melilit. "Aku sangat bersyukur kau meminta izin untuk berenang di sini."
"Kenapa?" tanyaku sambil menyisir rambut basahku yang menetes.
"Karena berkatmu, aku jadi lebih sering berenang juga. Dulu kolam ini lebih sering kosong, sayang sekali. Dan yang lebih penting," Grace menatapku dengan senyum tulus, "aku mendapatkan sahabat baru yang luar biasa."
Kata-kata Grace menghangatkan hatiku lebih dari secangkir teh jahe yang kami nikmati pagi itu. Ada rasa syukur yang mendalam untuk kesempatan sederhana yang telah membawa perubahan besar dalam hidup kami berdua.
Siapa sangka, sebuah permintaan sederhana untuk berenang di kolam tetangga bisa berkembang menjadi ritual berharga yang memperkaya jiwa? Dan mungkin itulah esensi kehidupan—menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, membangun koneksi tulus dengan sesama, dan berani melangkah keluar dari zona nyaman untuk menemukan versi diri yang lebih baik dan lebih bahagia.
Suatu hari saat selesai berenang dan duduk santai di teras rumah Grace terdengar mobil masuk.
4105Please respect copyright.PENANACkbbDy6Eeb
4105Please respect copyright.PENANAUVm8DrYG9o
"Nisa, kayaknya suamiku balik lagi sepertinya ada yang ketinggalan. Tunggu dulu sebentar, ya? Nanti aku balik lagi," ujar Grace sambil beranjak pergi.
Aku mengangguk dan mengambil ponselku. Jariku mulai menscroll media sosial di ponsel sambil menunggu Grace kembali.
Tiba-tiba, aku mendengar suara Grace dan Jonas. Aku menoleh ke arah Grace dan suaminya, Jonas yang berjalan ke arahku dengan senyum yang agak aneh. Jonas mengenakan pakaian dinasnya. Aku langsung panik. Aku masih berpakaian renang saja sambil santai duduk di teras karena sebelumnya yakin bahwa Jonas tidak akan masuk ke area kolam mengingat keberadaanku di sini.
Grace dan Jonas berjalan perlahan mendekatiku. Aku spontan berdiri, tersipu malu, tanganku secara refleks mengusap siku kiriku meski sebenarnya tidak gatal sama sekali.
"Nisa, kami berdua ingin bicara sebentar dengan kamu," ujar Grace dengan suara lembut namun serius. "Ini sudah kami bicarakan berdua sejak kamu pindah ke sini, dan akhirnya aku memutuskan bahwa ini saatnya kami bicara langsung sama kamu."
“Tapi ini soal apa Grace, maaf boleh aku ganti baju dulu!” Sahut aku.
“Gak perlu Nisa, kamu tenang saja. Seperti aku bilang beberapa waktu lalu Jonas sering kali melirik kamu dan suka bodi kamu. Jadi aku juga mendukung keinginan suami aku mencicipi tubuh kamu.”
lanjutannya bisa dibaca di https://karyakarsa.com/whizkei/tetanggaku-yang-ramah
atau di victie.com akun whizkei
4105Please respect copyright.PENANAMhxLWLJvEs
4105Please respect copyright.PENANA8vJfrAy8n6
4105Please respect copyright.PENANAch5hJjyVlv