Aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha mengalihkan pikiran. Malam ini, kami akan makan malam bersama tetangga, dan aku harus tetap menjaga sikap. Tapi, di sudut hati kecilku, ada sesuatu yang mulai berubah, dan aku tidak yakin apakah aku siap menghadapinya.
***
"Wah, sedapnya rahang tuna bakar ini!" puji Rizal suamiku sambil kami duduk di meja makan rumah tetangga kami.” Apalagi sambel dabu-dabunya… Maknyus.”
"Rahang tuna bakar emang juara!” Jonas berseloroh dengan bangga.
Bagian rahang tuna ketika dibakar memiliki cita rasa yang istimewa karena memiliki tekstur yang unik - agak kenyal namun tetap lembut saat dimasak dengan benar. Bagian ini mengandung campuran daging dan lemak yang sempurna.
Ketika dibakar, rahang tuna mengeluarkan aroma yang khas dan menggugah selera. Proses pembakaran membuat lemaknya meleleh perlahan, menciptakan cita rasa smoky (berasap) yang kaya dan kompleks.
Daging di bagian rahang tuna biasanya lebih basah dan berlemak dibandingkan bagian tubuh lainnya, sehingga tetap juicy meskipun dibakar. Lemak inilah yang memberikan sensasi "meleleh di mulut" yang sangat disukai para penikmatnya.
Aku dan suamiku menikmati makan malam bersama tetangga kami, keluarga Manado yang ramah. Aku melihat foto keluarga mereka yang berukuran sangat besar. Mereka punya dua anak yang masih sekolah. Yang perempuan namanya Gladys wajahnya cantik dan yang lelaki tampan namanya Joseph. Melihat foto itu membuatku semakin terinspirasi untuk segera mempunyai anak.
Setelah makan, aku membantu Grace membersihkan dapur dan mencuci piring, sementara suamiku asyik berbincang dengan Jonas di ruang tamu.
"Nisa, sudah berapa tahun kau menikah?" tanya Grace tiba-tiba.
"Sudah tiga tahun. Kenapa, Kak?" jawabku penasaran.
"Oh, jadi masih dalam proses berusaha dapat anak, ya? Atau masih mau bersenang-senang berdua dulu? Hehehe," usik Grace sambil tersenyum.
"Hahaha, bukan begitu. Kami memang ingin segera punya anak, tapi mungkin belum rezeki aja." jawabku sambil tersenyum.
"Ala, Nisa, nikmati saja dulu masa berdua. Lihatlah aku, kadang-kadang pening juga menjaga anak-anak ini," keluh Grace sambil tertawa.
Saat selesai membantu Grace beres-beres di dapur, langkah kakiku terasa ringan menuju teras samping. Aroma masakan yang masih tersisa di jari-jariku berbaur dengan semilir angin malam yang menyapa kulit. Pandanganku langsung tertuju pada dua sosok pria yang duduk santai di kursi rotan—Rizal, suamiku yang selalu tampak tampan bahkan hanya dengan kaos sederhana, dan Jonas, suami Grace yang dengan bangga memamerkan senyum puas setelah menjamu kami dengan hidangan istimewa.
"Kalian sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang menarik," sapaku sambil mengambil tempat di samping Rizal. Grace menyusul tak lama kemudian, membawa nampan berisi empat gelas limun segar yang terlihat menggiurkan di bawah temaram lampu teras.
Mataku tak bisa lepas dari kemilau air kolam renang yang memantulkan cahaya lampin taman. Air biru jernih itu beriak lembut, menari-nari seperti mengundang untuk mencelupkan diri. Kolam renang di teras samping rumah Jonas dan Grace ini sungguh menggoda—berbentuk oval dengan tepian batu alam yang artistik, dikelilingi tanaman tropis yang memberi nuansa resort pribadi.
Desiran angin malam membelai rambut, membawa kesejukan setelah seharian penuh aktivitas. Tawa kecil terdengar dari percakapan Rizal dan Jonas tentang pengalaman mereka memancing minggu lalu. Grace menyesap limunnya perlahan, sementara aku masih terpesona dengan keindahan kolam renang yang berkilau di bawah taburan bintang.
Bayangan diriku berenang bebas di air sejuk itu tiba-tiba memenuhi pikiran. Betapa menyegarkannya jika bisa merasakan air membelai tubuh, melupakan sejenak rutinitas yang melelahkan. Tanpa sadar, pertanyaan itu meluncur dari bibirku.
"Grace," panggilku dengan nada lembut, mataku masih terpaku pada permukaan air yang berkilauan kemudian berkata dengan setengah berbisik. "Bisakah aku sesekali berenang di kolam renang kalian?"
Grace menoleh ke arahku, matanya berbinar hangat diterpa cahaya lampu taman. Senyumnya mengembang lebar, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi.
"Tentu saja, sayang!" jawabnya dengan antusias. Ia meletakkan gelasnya di atas meja. "Kau bisa berenang kapan saja kau mau. Anggap saja rumah sendiri!"
“Tapi aku maunya renang saat gak ada suami kamu…Heeheheh malu kalau ada dia!”
“Hahahahah iya juga bisa-bisa dia tergoda liat body kamu yang bahenol!” Sahut Grace.
“Sttttt!” Aku memberi isyarat agar Grace tidak bicara keras.
Grace tertawa kecil.
4219Please respect copyright.PENANAvawiYxGcef
Sepanjang keberadaan aku di rumah mereka, Jonas tak henti-hentinya melirik lenggok pinggulku saat aku berjalan melintasinya. Awalnya, aku merasa kesal juga dengan kebiasaannya yang sering mencuri pandang ke arah pantat aku. Namun, lama-kelamaan, aku memilih untuk tidak terlalu ambil pusing.
4219Please respect copyright.PENANAVhdZejBOnl
Aku sudah berusaha menutupi "aset" pemberian Tuhan ini dengan pakaian yang sopan. Tapi kini setelah aku sering dicekoki oleh film porno, ada perasaan bangga terselip ketika Jonas terlihat terpesona. Apalagi jika dibandingkan dengan Grace, meskipun dia juga memiliki bentuk tubuh yang menarik dengan tinggi 167 cm dan bentuk tubuh yang behenol. Grace memang terlihat seksi dengan posturnya yang lumayan tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia, tapi aku tahu, Jonas masih saja melirik ke arahku.
Setelah menghabiskan malam yang santai di rumah Grace, kami pun memutuskan untuk pulang. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 malam, dan esok ada aktivitas yang harus disiapkan. Kami pun berpamitan dan berjalan menuju rumah kami yang hanya di seberang rumah keluarga Jonas.
***
Senin pagi itu terasa berbeda. Alarm berdering tepat pukul lima, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku bangun dengan penuh semangat. Aku segera menuju bersiap shplat subuh. Setelah itu aku melangkah ke dapur, menyiapkan secangkir kopi dan roti panggang sederhana untuk Rizal. Aroma kopi menguar, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang kontras dengan udara pagi yang masih menyisakan dingin malam.
"Tumben sekali bangun sepagi ini," ujar Rizal sambil mengancingkan kemeja kantornya. Rambut hitamnya yang basah sehabis mandi menandakan ia telah bersiap-siap sejak tadi. "Ada acara apa hari ini?"
"Aku berencana berenang di rumah Grace," jawabku sambil menuangkan kopi ke cangkir favoritnya.
Rizal tersenyum, mengangguk kecil sambil menggigit roti panggangnya. "Kupikir itu ide bagus—kau sudah lama tidak berolahraga." Ia melirik jam tangannya. "Aku berangkat sekarang, ada meeting pagi dengan klien. Selamat bersenang-senang. Sampaikan salamku untuk Grace."
Setelah mengecup keningku singkat, Rizal menghilang di balik pintu. Suara mesin mobilnya terdengar samar menjauh, meninggalkanku dengan keheningan rumah dan rencana yang menggembirakan.
Aku kembali ke kamar, membuka lemari pakaian untuk mencari baju renang yang sudah lama tak kukenakan. Setelah beberapa menit mencari-cari, akhirnya kutemukan baju renang berwarna biru navy dengan aksen putih—hadiah ulang tahun dari Rizal dua tahun lalu yang belum pernah kupakai. Tersimpan rapi dalam plastik, masih dengan label harga yang belum dilepas.
Kusiapkan tas jinjing berisi handuk berwarna krem lembut, peralatan mandi lengkap mulai dari sabun, Rizalpo, hingga pelembap tubuh. Tak lupa kumasukkan juga sisir, pengering rambut mini, dan pakaian ganti—kaus putih longgar dan celana pendek santai. Untuk alas kaki, kupilih sandal jepit sederhana yang nyaman.
Jantungku berdegup lebih cepat—antusiasme yang sudah lama tak kurasakan. Berenang adalah aktivitas yang dulu sangat kugemari sejak kecil, namun rutinitas kerja dan berbagai kesibukan lain membuatku melupakannya bertahun-tahun lamanya. Ajakan Grace ini seperti undangan untuk kembali pada bagian diriku yang hampir terlupakan.
Setelah sarapan dan bersiap-siap, aku mengunci rumah dan berjalan ke arah rumah Grace yang hanya disebelah kiri rumahku. Mentari mulai naik, menyapukan kehangatan lembut pada kulitku yang terpapar.
Rumah Grace dan Jonas selalu terlihat mengesankan—arsitektur modern minimalis dengan sentuhan tropis, dikelilingi taman asri dengan berbagai tanaman hias. Tak heran jika mereka betah menghabiskan waktu di teras samping yang menghadap kolam renang. Gerbang halaman dibiarkan tidak terkunci, membuatku bisa langsung masuk tanpa perlu membunyikan bel.
Sesampainya di sana, suasana terasa tenang. Kedua anak Grace, Gladys dan Joseph, sudah pergi ke sekolah sejak pagi tadi sekalian bersama ayah mereka, mobil SUV hitamnya tak tampak di garasi yang pintunya terbuka setengah. Berarti aku bisa mandi dengan leluasa tanpa merasa canggung.
Bersambung
ns3.23.101.44da2