Aku berjalan memutar ke arah samping rumah, mencari sosok Grace. Kolam renang berbentuk oval itu terlihat lebih menawan di bawah terangnya sinar matahari pagi—air biru jernihnya berkilauan memantulkan cahaya, menari-nari ringan tertiup angin. Di sepanjang tepian kolam terdapat kursi-kursi santai dengan payung besar berwarna putih, dan di ujung kolam terdapat gazebo kecil dengan sofa outdoor yang tampak nyaman.
"Selamat pagi, Grace?" panggilku ragu, suaraku memecah keheningan halaman belakang yang tenang. Hanya desiran angin dan gemerisik daun yang menjawab panggilanku.
Perlahan aku mendekati pintu samping yang sedikit terbuka. "Grace, kau di dalam?"
Terdengar suara langkah kaki tergesa dari dalam rumah, diikuti dengan munculnya sosok Grace dengan celemek hijau muda dan rambut yang diikat asal-asalan. Wajahnya berseri-seri melihat kedatanganku.
"Oh, kau sudah datang!" serunya gembira. "Masuklah, aku baru saja menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah." Ia melepas celemeknya dan menggantungnya di pengait dekat pintu. "Aku sudah menyiapkan ruang ganti di dekat kolam. Ada handuk bersih, kimono renang, dan perlengkapan mandi kalau kau membutuhkannya."
Grace menuntunku masuk melalui dapur yang harum dengan aroma pai apel yang sepertinya baru dipanggang. "Aku membuat sarapan kecil untuk kita setelah berenang nanti," ujarnya sambil menunjuk kue yang masih mengepul di atas meja.
Mataku menyapu ruangan—rumah Grace selalu terasa hangat dan mengundang. Berbagai foto keluarga terpajang di dinding, menampilkan wajah-wajah bahagia mereka dalam berbagai kesempatan. Ada foto liburan ke pantai, piknik keluarga, dan momen-momen berharga lainnya yang dibingkai dengan apik.
"Ini pertama kalinya kita berenang bersama, ya?" tanya Grace sambil menuntunku ke halaman belakang. "Aku senang sekali akhirnya punya teman berenang. Biasanya aku berenang sendiri saat anak-anak di sekolah dan Jonas di kantor."
Langkah kami menuju kolam renang diiringi kicauan burung-burung yang bersarang di pohon mangga di sudut halaman. Pagi itu begitu sempurna—langit biru tanpa awan, udara segar yang masih menyimpan kesejukan embun pagi, dan ketenangan yang jarang bisa dinikmati di hari-hari biasa.
"Kau bisa berganti pakaian di sana," Grace menunjuk sebuah ruangan kecil dengan pintu kaca buram di dekat gazebo. "Aku akan menyiapkan minuman segar untuk kita. Kau mau jus jeruk atau smoothie?"
"Jus jeruk terdengar sempurna," jawabku sambil tersenyum, merasa beruntung memiliki teman sebaik Grace.
Dengan tas jinjing di tangan, aku melangkah ke ruang ganti yang ditunjuk Grace. Ruangan itu mungil namun tertata rapi, dilengkapi cermin besar, rak handuk, dan shower kecil. Aroma lavender samar tercium dari pengharum ruangan yang diletakkan di sudut. Kupandangi bayangan diriku di cermin—ada campuran antusiasme dan sedikit kegugupan yang terpancar dari mataku.
Aku menghela napas dalam-dalam, merasakan ketenangan pagi ini meresap ke dalam jiwa. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan, pikirku sambil mulai mengganti pakaian. Sentuhan air kolam renang yang kuidam-idamkan sudah menanti di luar sana, siap menyambutku dengan kesegaran yang telah lama kurindukan.
"Wah, seksi juga badan kamu, Nisa!" ujar Grace saat melihat aku sudah mengenakan pakaian renang.
"Alah, kamu juga sangat sexy, Grace!”
“Tapi melihat kamu kayak gini suprais juga Nisa. Karena selama ini kan kamu selalu pakai baju gamis longgar ala ustazah, jadi tak terlalu kelihatan. Tapi sekarang, lihatlah! Kamu punya lekuk tubuh yang indah," balas Grace sambil tersenyum. "Oh ya, satu lagi, aku perhatikan juga kalau Jonas sering melirik ke arahmu. Pantat kamu yang berisi itu memang susah disamarkan, ya!"
Wajahku langsung memerah mendengar celotehnya. Rasanya malu campur geli. Tapi Grace hanya tertawa. Ternyata dia tahu suaminya sering melirik aku. Tapi sikapnya kok tidak terlihat cemburu.
"Jangan risau, aku gak masalah kok. Lelaki memang begitu, pantang melihat sesuatu yang menarik, pasti akan melirik. Itu biasa," ujarnya sambil melenggang masuk ruang ganti.
Tak lama kemudian dia keluar dengan pakaian renang two piece yang seksi. Kulitnya putih kemerahan. Dengan body bagai gitar spanyol, heran juga sudah punya istri cantik dan body aduhai masih saja melirik aku.
"Oke, sekarang mari kita mulai, Nisa. Siap untuk sesi renang kita." Ujar Grace.
Aku mengangguk dan Kami pun memulai menceburkan diri ke dalam kolam.
Setelah selesai berenang, kami duduk bersantai di teras samping rumah, menikmati teh hangat yang Grace sediakan. Suasana makin akrab, dan obrolan kami pun mengalir dari topik satu ke topik lainnya.
"Nisa, kamu tahu tidak? Aku dulu juga sering merasa insecure dengan tubuhku. Tapi setelah rutin berenang, aku jadi lebih percaya diri. Tubuh ini adalah anugerah, kita harus mensyukurinya," cerita Grace sambil menyeruput tehnya.
Aku mengangguk, merasa terinspirasi oleh kata-katanya. Mungkin inilah awal dari perubahan positif dalam hidupku. Dan siapa tahu, dengan rutin berolahraga, impianku untuk segera memiliki momongan bisa terwujud.
Sejak pagi Senin yang mengesankan itu, sebuah ritual baru hadir dalam hidupku. Berenang di kolam Grace bukan lagi sekadar aktivitas sesekali, tetapi menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitasku. Setidaknya dua atau tiga kali seminggu, aku menyempatkan diri melangkahkan kaki ke rumahnya, membawa tas berisi perlengkapan renang yang kini selalu kusiapkan di sudut kamar.
Ada yang berbeda dalam diriku sejak mulai rajin berenang. Tubuhku terasa lebih bugar, tidurku lebih nyenyak, dan entah bagaimana, pikiranku menjadi lebih jernih. Rizal pun sering berkomentar tentang perubahan positif yang ia lihat—senyumku yang lebih sering mengembang, energi yang lebih berlimpah, bahkan caraku memandang hidup yang katanya terlihat lebih optimis.
"Kau terlihat lebih hidup," ucapnya suatu malam saat kami duduk santai di balkon rumah. "Seperti menemukan sesuatu yang benar-benar kau nikmati."
Dan memang benar. Berenang di pagi hari ternyata memberikan efek terapeutik yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Setiap gerakan, setiap tarikan lengan dan hentakan kaki di dalam air jernih kolam Grace memberikan sensasi pembebasan dari segala beban hidup. Terkadang aku berenang dengan gerakan cepat dan bertenaga, melepaskan stres dan frustrasi yang terpendam. Di lain waktu, aku hanya mengapung tenang, membiarkan air menopang tubuhku sementara mataku menerawang ke langit biru, menikmati kedamaian yang jarang bisa kurasakan di tempat lain.
Namun ada satu hal yang selalu menggangguku—kebaikan hati Grace yang seperti tak ada habisnya. Setiap kali aku datang, dia menyambut dengan senyum hangat dan berbagai hidangan yang selalu dipersiapkannya dengan telaten. Kadang itu berupa pai apel hangat yang menjadi favoritku, terkadang sandwich isi tuna segar dengan roti lembut, atau smoothie buah sarat vitamin yang selalu enak dan menyegarkan. Meski aku berenang demi kesehatan dan kesenangan pribadi, Grace memperlakukan kedatanganku seperti tamu istimewa yang harus disuguhi hidangan spesial.
"Grace, kau tidak perlu repot-repot menyiapkan semua ini," ucapku suatu pagi setelah berenang, ketika dia menghidangkan sepiring pancake dengan sirup maple dan buah-buahan segar. "Aku datang ke sini untuk berenang, bukan untuk merepotkanmu."
Grace tertawa ringan sambil menuangkan kopi ke cangkirku. "Ini sama sekali tidak merepotkan," jawabnya. "Aku senang memasak, dan lebih senang lagi jika ada yang menikmati masakanku."
"Tapi tetap saja, ini terlalu banyak. Aku tidak ingin menjadi beban."
"Beban?" Grace mengangkat alisnya, ekspresinya menunjukkan keterkejutan yang tulus. "Kau teman, bukan beban. Lagipula, aku selalu memasak untuk keluargaku. Menambah satu porsi bukan masalah sama sekali."
Meski begitu, perasaan tidak enak terus menghantuiku. Setiap gigitan pancake lezat buatan Grace, setiap teguk jus segar yang disajikannya, membuatku merasa semakin berhutang budi. Dan aku bukanlah orang yang nyaman terus-menerus menerima kebaikan tanpa bisa membalasnya setimpal.
Maka suatu hari, aku memutuskan untuk bangun lebih pagi dari biasanya. Pukul empat dini hari, saat Rizal masih terlelap, aku sudah berkutat di dapur, menyiapkan berbagai makanan untuk dibawa ke rumah Grace. Kusiapkan sandwich dengan isian beragam—tuna mayo, telur dan selada, ham dan keju—yang kubungkus rapi dengan kertas khusus makanan. Tak lupa kubuat juga salad buah dengan yogurt yang kumasukkan dalam wadah kedap udara, dan termos berisi teh jahe hangat yang kuramu sendiri.
3829Please respect copyright.PENANADkDo6o0JaY
Bersambung
ns3.128.31.155da2