
POV Riska
21104Please respect copyright.PENANALHf4VDeSDd
Entah sejak kapan aku mulai merasa... berbeda. Mungkin sejak sering ngobrol sama Nina. Mungkin sejak dia pertama kali nyeletuk soal "kenikmatan dunia yang belum pernah kurasakan". Awalnya aku selalu menolak mentah-mentah. Tapi lama-lama, pikiranku mulai berani bertanya-tanya sendiri.
Apa iya selama ini aku terlalu kaku? Terlalu menjaga diri sampai lupa bagaimana rasanya jadi perempuan seutuhnya?
Nina selalu bilang aku terlalu ‘rapi’. “Ris, kamu tuh kayak istri ideal di buku nikah. Tapi hidup ini bukan buku nikah doang,” katanya sambil tertawa.
Aku cuma tersenyum waktu itu. Tapi kalimatnya itu—entah kenapa—menancap dalam. Mungkin karena aku tahu, di balik semua tawa dan senyumku di rumah... aku juga sering merasa kosong. Hambar.
Pekerjaan makin padat akhir-akhir ini. Dan entah kenapa, makin sering juga aku berada di ruangan Pak Arman. Atasanku itu memang kharismatik. Pembawaannya tenang, rapi, suaranya berat tapi lembut. Dulu aku nggak terlalu memerhatikan, tapi sekarang—aku mulai sadar kalau dia sering... terlalu dekat.
21104Please respect copyright.PENANAPX0csbXK8T
Hari ini misalnya, waktu aku nyodorin laporan, dia berdiri di sampingku dan tangannya sempat menyentuh pinggangku.
“Sori, Bu Riska,” katanya cepat, tapi dengan senyum yang... entah kenapa bikin jantungku berdetak lebih cepat.
Aku cuma mengangguk dan berusaha fokus ke kertas. Tapi kulitku masih terasa hangat di bagian yang dia sentuh.
Sore itu, aku lembur bareng dua staf cowok: Rio dan Dimas. Mereka berdua tipe yang suka bercanda, agak genit tapi belum pernah sampai kelewatan—setidaknya sebelum hari ini.
Aku berdiri sambil merapikan map di lemari dokumen. Saat aku balik badan, Rio yang lewat terlalu dekat dan bahunya menyenggol dadaku. Sekilas aja, tapi cukup bikin aku kaget dan salah tingkah.
“Eh, maaf Bu... nggak sengaja,” katanya cepat, walau dari matanya aku tahu dia sadar apa yang barusan terjadi.
Aku senyum kaku, “Iya, nggak apa-apa.”
Beberapa menit kemudian, saat aku jongkok untuk ambil berkas dari rak bawah, Dimas lewat di belakangku dan—aku nggak yakin—tangannya sempat menyentuh bokongku. Lembut, seolah ‘tanpa sengaja’, tapi cukup terasa untuk bikin tubuhku menegang.
21104Please respect copyright.PENANA2VkZeksifZ
Aku berdiri cepat, pura-pura nggak terjadi apa-apa. Tapi dalam hati... ada sesuatu yang berdesir aneh. Rasa bersalah, tentu saja. Tapi juga rasa hangat yang susah dijelaskan.
21104Please respect copyright.PENANAjTaO8aC1R0
Di kamar mandi kantor, aku menatap wajahku di cermin. Kenapa jantungku masih berdebar?
Aku menutup mata. Di benakku, terbayang lagi kalimat Nina.
"Ris, kadang tubuh kita bisa jujur. Kalau kamu ngerasa geli, panas, atau bahkan basah... itu bukan dosa. Itu naluri."
Aku sempat ketawa waktu dia ngomong gitu dulu. Tapi sekarang—aku mulai paham maksudnya.
Aku nggak cerita apapun ke Mas Jaka malam itu. Aku cuma bilang lelah. Dia tampak perhatian seperti biasa, bikinkan teh, pijitin pundakku.
21104Please respect copyright.PENANAq0a7R743Uj
Aku merasa bersalah. Tapi juga... merasa punya rahasia yang anehnya bikin deg-degan.
Beberapa hari kemudian, aku duduk makan siang bareng Nina di pantry. Dia seperti biasa, langsung ke topik vulgar.
“Tadi aku mimpi, Ris. Mimpinya... duh, gila.”
“Mimpi apa lagi?”
“Dua cowok ngapain aku bareng-bareng. Salah satunya punya batang segede botol minum kantor. Aku kebangun sambil megap-megap. Terus, saking panasnya, aku sampe harus... ya, bantu diri sendiri.”
21104Please respect copyright.PENANAl8rjrCk5P6
“Nina!” Aku tertawa malu-malu.
Dia malah ketawa lebar. “Kamu kapan terakhir mimpi basah, Ris?”
21104Please respect copyright.PENANAkfVpGsbijP
“Aku... nggak pernah.”
“Pantesan. Ris, tubuh kamu tuh nunggu disentuh lho. Kamu harus nyobain sesuatu yang beda. Kalau bukan sama suami ya... minimal di khayalan dulu.”
21104Please respect copyright.PENANA3oj33xq75d
Aku menggeleng. Tapi senyumku nggak hilang. Dalam hati, aku tahu aku mulai terpengaruh.
Hari-hari selanjutnya, sentuhan-sentuhan ‘tidak sengaja’ itu makin sering terjadi. Kadang dari Pak Arman, kadang dari Rio atau Dimas. Entah kenapa, aku tidak lagi merasa sebersalah dulu. Kadang aku malah membiarkan. Menikmati. Diam-diam berharap mereka melakukannya lagi.
21104Please respect copyright.PENANA3b1kAD1mIz
Aku tahu itu salah. Tapi... tubuhku terus merespons. Semakin disentuh, semakin penasaran.
Malam-malamku bersama Jaka tetap hangat. Tapi pikiranku mulai terbang ke arah lain. Kadang aku menutup mata saat kami bercinta dan membayangkan suara berat Pak Arman atau tangan kasar Rio. Dan saat gairah itu datang... aku merasa bersalah sekaligus hidup.
Aku belum berani melangkah lebih jauh. Belum tahu apakah aku akan... menuruti rasa penasaran ini sepenuhnya. Tapi satu hal yang pasti—aku tidak lagi sama seperti dulu.
Dan aku belum siap membiarkan Jaka tahu semua ini.
Bersambung
ns18.116.87.126da2