UBAY POV
798Please respect copyright.PENANAB3gBc7fSBA
Setelah memakirkan mobil di bashment kantor aku melangkah santai menuju lobi. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, itu artinya aku sudah terlambat dua jam masuk kerja. Tak ada rasa takut sedikitpun dalam diriku karena merasa Mbak Hanna jadi “backing” kuat, bahkan saat tatapan heran Selvi menyapaku, pegawai kantor yang berjaga di bagian resepsionis, sama sekali tak membuatku canggung dan hanya melenggang santai menuju lantai tiga, tempat kubik kerjaku berada.
Tak hanya bisa menikmati tubuh indah Mbak Hanna sekarang aku merasa memiliki imunitas tersendiri saat berada di kantor. Biasanya aku akan merasa stress bahkan sebelum berangkat kerja karena membayangkan semua sikap judes Mbak Hanna akan menyambutku. Namun kali ini berbeda, kejadian kemarin malam serta pagi tadi saat kami mahsyuk bercinta bisa membuat situasi berubah.
Namun kepongahanku hanya bertahan sesaat, baru saja aku duduk di kursiku mendadak Ilham, salah satu rekan kerjaku, mendatangiku dengan ekspresi datar. Sesuatu yang nampak aneh karena biasanya Ilham selalu datang dengan muka ceria penuh candaan garing.
“Kenapa Lu? Kusut amat kek kanebo kering.” Sapaku.
“Eh Bro, Lu disuruh ke ruangan Pak Indra. Penting.”
“Heh? Ada apa emangnya?” Kali ini giliranku yang berubah panik karena tidak seperti biasanya Pak Indra memanggilku ke ruang kerjaku.
“Nggak tau Gue, udah buruan sono. Moodnya lagi nggak bagus hari ini.” Ujar Ilham.
Setelah itu Ilham langsung bergegas kembali ke kubik kerjanya meninggalkanku. Sesaat aku masih bengong memikirkan ucapan Ilham. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan keterlambatanku hari ini? Tak mau mmebuang waktu lebih lama lagi akku langsung menuju ke ruangan bosku.
Sesampainya di depan pintu ruangan Pak Indra, aku merasa ada yang aneh. Pintu terbuka sedikit, dan aku bisa melihat Mbak Hanna sudah duduk di sana, di samping meja Pak Indra. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, hanya terlihat dingin dan datar. Aku menghela napas dan masuk ke ruangan, merasa sedikit cemas. Begitu aku melangkah masuk, Pak Indra langsung menatapku dengan tajam.
“Kamu tau ini sudah jam berapa?” Tanya pria bertubuh tambun itu. Aku menatapnya dengan panik.
“Ma-Maaf Pak, tadi mobil saya mogok.” Jawabku mencari alasan yang masuk akal. Aku berjalana medekat dan duduk di sebelah Mbak Hanna, kami sekilas saling tatap, tak ada eksprsei sama sekali dari wanita cantik yang semalam aku tiduri itu.
"Ini draft kontrak yang kamu kerjakan?"
Pak Indra menunjukkan sebuah dokumen draft kontrak pembangunan pelabuhan Tenayang yang aku kerjakan kemarin bersama Mbak Hanna. Aku hanya mengangguk pelan. Pak Indra membuka beberapa halaman kontrak itu dan menunjukkannya padaku.
"Banyak kesalahan! Kamu pikir ini bisa dipakai? Semua butuh perbaikan!"
Sementara itu, Mbak Hanna hanya duduk diam, seolah tak ingin terlibat. Tak ada sedikit pun usaha darinya untuk membelaku. Ia hanya memandang ke arahku dengan tatapan yang kosong, seolah tak terjadi apapun. Sepertinya, dia lebih memilih membiarkan aku menjadi sasaran kemarahan Pak Indra.
“Ma-Maaf Pak, tapi itu….”
“Nggak ada alasan! Kamu pikir kerja di sini bisa main-main?”
Aku mencoba menjelaskan, tapi kata-kataku serasa tenggelam dalam amukan suaranya yang semakin keras. Rasanya dunia menjadi hening, hanya suaranya yang bergema di telingaku. Aku tak bisa mengelak atau memberi alasan, karena benar adanya, aku melakukan beberapa kesalahan yang tidak seharusnya terjadi. Ketegangan itu terasa berat, dan aku hanya bisa menunduk, merasa malu dan frustasi. Aku berharap ada yang membantuku, tapi itu tak terjadi. Mbak Hanna tetap diam, dan Pak Indra terus melanjutkan kemarahannya. Aku merasa seolah-olah dibiarkan sendiri menghadapi semua ini.
“Hanna, kamu yakin mau mengajak dia untuk proyek di Bandung?” Ujar Pak Indra tiba-tiba setelah melampiaskan kemarahannya padaku beberapa saat lalu.
“Yakin Pak, karena untuk draft kontraknya dari awal Ubay yang handle.”
“Coba lihat.” Mbak Hanna menyerahkan sebuah dokumen draft kontrak yang kukerjakan dua bulan lalu. Pak Indra membacanya dengan seksama, wajahnya masih tegang, menyisakan sisa-sisa kemarahan.
“Okey, tapi kalian nggak berangkat berdua. Aku masih nggak yakin dengan kemampuannya.” Ujar Pak Indra sambil melirik ke arahku.
“Biar Sinta ikut dengan kalian, dia butuh pengalaman lapangan.” Lanjut Pak Indra.
Sinta, seorang wanita berusia 24 tahun, dia adalah Junior Associate sama sepertiku. Satu-satunya hal yang membedakan kami adalah fakta jika Sinta merupakan keponakan dari Pak Indra. Sinta adalah salah satu wanita idola di kantor, wajahnya yang cantik memancarkan pesona yang memikat meski dengan cara yang sederhana. Kulitnya yang cerah menyatu dengan mata cokelat gelap yang tajam namun penuh kelembutan, seolah mampu menatap jauh ke dalam hati siapa pun yang memandangnya.
Tubuhnya proporsional, dengan setiap gerakan yang dilakukannya begitu luwes dan penuh percaya diri. Pakaian yang dikenakannya selalu tertutup rapi, mematuhi norma, namun tak bisa sepenuhnya menyembunyikan lekuk tubuhnya yang menawan. Setiap detil dari dirinya, baik itu cara ia berjalan atau bahkan cara ia berbicara, memancarkan ketenangan dan kesopanan, namun ada aura yang tak bisa dipungkiri, kemolekannya tetap terlihat meski dengan kesederhanaan yang dijaga. Namun begitu tak ada satupun pria di kantor yang berani menggoda Sinta, termasuk aku. Karier kami lebih penting.
“Baik Pak, kami akan berangkat besok.” Ujar Mbak Hanna.
“Ubay, ini kesempatan terakhirmu untuk membuktikan kalo kamu masih pantas buat kerja di sini. Jangan kacaukan pertemuan dengan Pak Rudy, dia adalah klien besar kantor kita.” Kata pak Indra seraya menatap tajam ke arahku.
“Ba-Baik Pak, saya akan bekerja semaksimal mungkin.” Jawaku masih gugup.
“Oke, kalian boleh pergi.”
Kami berdua bangkir dari kursi dan melangkah keluar dari ruang kerja Pak Indra. Sepanjang perjalanan menuju kubik Mbak Hanna sama sekali tak mengucapkan sepatah katapun. Raut wajahnya masih datar, begitu berbeda dengan apa yang diperlihatkannya padaku tadi pagi saat kami bercinta. Aku tak bisa menahannya lagi, aku butuh penjelasan sekarang juga. Maka dengan sisa-sisa keberanian, aku tarik tangan Mbak Hanna dan mengajaknya menuju toilet pria.
“Apa-apaan ini?!” Hardik Mbak Hanna seraya menghempaskan cengkramanku pada pergelangan tangannya.
“Kamu yang apa-apaan Mbak? Kenapa tadi nggak bilang ke Pak Indra kalo draft kontrak pengerjaan pelabuhan kita yang kerjakan bersama?” Kataku.
“Eh denger ya, itu tanggung jawab Lu! Bukan Gue!”
“Iya tau, tapi kenapa Mbak Hanna sama sekali nggak belain aku dan biarin Pak Indra marah-marah kayak tadi? Bukannya kita tadi pagi baik-baik aja?” Cercaku ikut terbawa emosi.
“Jangan pernah bawa urusan ngewe ke kerjaan! Di kantor, Lu bukan apa-apa buat Gue!” Hardik Mbak Hanna yang membuatku terkesiap.
Sejenak kami hanya saling pandang dengan tatapan tajam sebelum kemudian Mbak Hanna mendorongku hingga menyentuh dinding toilet. Wanita berhijab itu lalu meremas selangkanganku, cekatan melepas gesper dan menrunkan celanaku hingga bagian bawah tubuhku terbuka tanpa penghalang apapu. Mbak Hanna berjongkok di bawahku dan langsung mengulum penisku yang belum mengeras sama sekali.
“Ouucchhhhhh!” Lenguhku.
“Ssssttt! Jangan berisik Lu!” Hardik Mbak Hanna sambil menatapku tajam.
Aku benar-benar tak siap dengan hal seperti ini. Sesaat lalu Mbak Hanna begitu dingin dan bahkan nampak marah namun hanya dalam sepersekian detik kini mulutnya sudah mengulum penisku. Bahkan Mbak Hanna juga bilang kalau aku tidak boleh mencampuradukkan hubungan rahasia kami saat berada di kantor namun justru sekarang dia sudah memberiku serviz blowjob. Di toilet kantor!
“Eeemmcchhh…Eeemmcchhh…”
Setengah mati aku menahan suaraku agar tak terdengar sementara di bawah kepala Mbak Hanna yang masih terbalut hijab berawrna putih mulai bergerak maju mundur. Penisku sudah menegeras sempurna, sesekali kulihat Mbak Hanna menjilati lubang kencingku, kemudian lidahnya turun ke bawah menjelajahi batangku.
“Ouucchh…Mbak…” Lenguhku lagi dengan nafas terengah.
“Kenapa? Enak apa kesiksa Lu?” Tanya Mbak Hanna dengan memberi ekspresi wajah binalnya.
“Du-Dua-Duanya…Ouuchhhh..”
Suaraku terputus karena Mbak Hanna kembali melahap penisku. Dihisapnya lat kejantananku itu dengan sedotan-sedotan kuat, mulutnya bak vacumm cleaner yang menyerap seluruh sari-sari keperkasaannku. Tubuhku menegang bukan main, apalagi saat Mbak Hanna mulai menggunakan tangannya untuk mengocok batangku sambil lidahnya nakal menjilati lubang kencingku.
“Kalo mau crot bilang! Awas kalo sampai Lu keluarin di muka Gue!” Ancam Mbak Hanna beberapa saat kemudian.
Mbak Hanna kembali melanjutkan aksi nakalnya. Penisku seperti mainan bagi wanita berparas cantik itu, lidah, mulut, serta tangannya bekerja secara simultan membuat birahiku terbang ke puncak tertinggi. Aku sudah tak tahan lagi, maka saat Mbak Hanna menyesaki mulutnya dengan penisku kuraih kepalanya dengan kedua tangan. Kutahan kepalanya agar diam tak bergerak.
Mbak Hanna sesaat melirik ke arahku dengan tatapan heran, seolah bertanya sedang apa aku saat ini. Belum sempat Mbak Hanna bereaksi lebih, kugerakkan pinggulku maju mundur. Sesekali kulesakkan penisku begitu dalam hingga membuat mata Mbak Hanna mendelik karena ujung penisku nyaris menyentuh pangkal tenggorokannya. Secara kasat mata aku sedang memperkosa mulutnya dengan sangat brutal.
Tangan Mbak Hanna memukul-mukul pahaku, memberi tanda agar aku menghentikan aksiku. Namun aku tak peduli, ejakulasiku sedang dalam perjalanan singkat untuk menyerang, dan benar saja, beberapa saat kemudian penisku berkedut beberapa kali sebelum menyemprotkan sperma di dalam mulut Mbak Hanna.
“HAAAAHH! HAAAAHHHH!!”
Mbak Hanna terengah-engah, mulutnya terbuka lebar dengan penuh cairan kental berwarna putih. Nafasnya tersenggal karena sekian waktu kupaksa mulutnya dijejali penisku yang ereksi. Tatapan kemarahan itu kembali menyasarku, namun aku sudah tak peduli lagi karena aku yakin itu hanyalah gertakan saja.
“Kenapa nggak ditelan Mbak pejuku?” Kataku menggodanya. Mbak Hanna mendelik ke arahku, sebal, namun saranku dilakukannya. Seluruh spermaku ditelan olehnya.
“Brengsek banget Lu Bay!” Ujar Mbak Hanna.
“Salah sendiri tiba-tiba main sepong aja.” Sahutku santai.
798Please respect copyright.PENANAQ2tXT0VRoo
BERSAMBUNG
Cerita "KERUDUNG DUSTA" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION, untuk membaca versi lengkapnya silahkan klik link yang ada di bio profil
ns3.135.18.100da2