Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya? Apakah Anisa sedang mengancamku? Atau ini hanya candaannya saja? Aku mencoba menenangkan diri, tapi rasa cemas mulai merayap.
“Bahaya buat kamu apa sih, Nisa? Kan yang ngerayu aku.” tanyaku, mencoba menjaga agar nada pesanku tetap netral.
“Bahaya lah karena aku bikin suami orang nekad jadi tukang gombal heheheheh!” balas Anisa dalam pesannya.”Aku bisa dilabrak Astrid diseret kayak pelakor ditarik jilbabnya dan diviralin kan bahaya.”
“Wah aku jadi takut juga ngebayangin kamu ngalami kayak gitu!”
“Hahaha, santai aja, Mas. Aku cuma bercanda kok. Tapi beneran, kamu harus lebih hati-hati. Jangan sampai Astrid salah paham.”
Aku menghela napas lega. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam pesannya yang membuatku tidak nyaman. Seolah ada sesuatu yang disembunyikan.
“Iya, kamu benar. Aku akan lebih hati-hati,” balasku singkat.
Tapi Anisa sepertinya belum puas. Beberapa detik kemudian, pesan baru muncul.
“Btw, Mas Haris, kamu ada waktu nggak buat ketemuan? Ada sesuatu yang pengen aku bicarakan.”
Aku terkejut. Ketemuan? Wah bukankajh ini yang aku inginkan? Tanpa perlu memikirkan bagaimana caranya agar bisa bertemu tiba-tiba Anisa yang menawarkan diri ingin bertemu? Pikiranku langsung dipenuhi berbagai kemungkinan. Ada perasaan gembira yang melambung tinggi. Tapi ada kekhawatiran Anisa akan bicara langsung meminta aku berhenti mendekati dia.
“Ketemuan? Kenapa tidak? kapan?” tanyaku, mencoba menahan diri untuk tidak kedengaran begitu antusias.
“Sebentar sore aja pulang kantor, di kafe dekat rumah aku tempat kita ketemu tempo hari, gimana?”
Aku mengangguk meskipun dia tidak bisa melihatku. “Oke, deal.”
“Sampai ketemu, Mas. Jangan lupa bawa senyum manisnya ya,” balas Anisa dengan emoticon wink.
Aku menutup ponselku dan menatap layar komputer. Pekerjaan yang tadinya sudah menumpuk, sekarang terasa ringan. Aku merasa semangat karena akan ketemuan lagi dengan Anisa.
Hari itu terasa begitu panjang. Setiap detik terasa seperti jam. Aku mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan, tapi pikiran ini terus melayang ke arah pertemuan pulang kantor ini.
8323Please respect copyright.PENANATaV7v4tX9G
***
8323Please respect copyright.PENANApllmj9VhJc
Akhirnya waktu pulang kantor tiba, aku segera menuju tempat yang disepakati untuk bertemu Anisa. Aku tiba di kafe pukul setengah enam sore. Anisa sudah duduk di sudut ruangan, mengenakan gamis berwarna sage yang membuatnya terlihat semakin mempesona. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mendekatinya.
“Hai, Nisa,” sapaku, mencoba terdengar santai.
Anisa tersenyum lebar. “Hai, Mas Haris. Makasih ya udah datang.”
Aku duduk di depannya, mencoba menenangkan diri. “Aku justru berterima kasih diajak ketemuan ama kamu.”
Anisa menatapku dengan tatapan serius. “Sebelum aku mulai, aku mau bilang dulu kalau ini bukan hal yang mudah buat aku.”
Aku merasa jantungku berdegup kencang. “Wah serius amat, ini soal apa yah?”
Anisa menarik napas dalam-dalam. “Aku tahu ini mungkin akan mengejutkan kamu, tapi aku harus jujur. Aku mungkin salah paham atau gimana. Tapi aku ingin mulai saat ini mas Haris gak lagi kirim pesan-pesan kayak sebelumnya sama aku.”
Aku terkejut. Ini bukan yang aku harapkan. “Apa? Nisa, kamu serius?”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Anisa. Jantungku berdegup kencang, campuran antara kekecewaan dan rasa malu yang tiba-tiba menyergap. Aku merasa seperti ditampar oleh kenyataan yang tak terduga.
“Nisa, aku... aku tidak bermaksud—” ucapku terbata-bata, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Anisa mengangkat tangan, menghentikanku. “Tidak, Mas Haris. Aku mengerti mungkin kamu hanya bercanda atau sekadar ingin memuji. Tapi, aku merasa ini sudah mulai melewati batas. Aku tidak ingin ada salah paham antara kita, apalagi sampai merusak hubungan kamu dengan Astrid. Mas pasti tahu firasat seorang istri itu sangat kuat. Cepat atau lambat kalau dibiarkan apa yang mas lakukan seperti mengirim pesan-pesan kayak tadi bakal ketahuan loh mas.”
Aku menunduk, merasa malu dan tidak menyangka Anisa ternyata bisa setegas itu meminta aku untuk tidak lagi merayunya lewat pesan-pesan WA dengan mengatakan secara langsung. Aku sudah terlalu berharap jauh, dan sekarang aku harus menghadapi konsekuensinya.
“Aku minta maaf, Nisa. Aku tidak bermaksud membuat kamu tidak nyaman. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang ada dalam hati aku.” aku mengakui, suaraku pelan.
Anisa mengangguk, wajahnya masih serius tapi ada sedikit kelembutan di matanya. “Aku terima maaf kamu, Mas Haris. Tapi aku harap kamu mengerti, ini untuk kebaikan kita semua. Aku menghargai perasaan kamu, tapi aku akan lebih menghargai bila mas mampu mengendalikan perasaan itu karena aku tidak ingin hal-hal seperti ini merusak segalanya.”
Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Aku mengerti, Nisa. Aku akan lebih berhati-hati ke depannya.”
Anisa tersenyum kecil. “Bagus. Aku senang mas mengerti. Makanya aku mengajak mas ketemuan dan bicara secara langsung karena aku merasa perlu menghentikan ini sebelum jadi lebih jauh.”
Aku mengangguk, mencoba menutupi kekecewaan yang semakin dalam. “Oh, oke Anisa sekali lagi aku minta maaf.”
“Terima kasih, Mas Haris,” balas Anisa dengan senyum tulus. “Aku harap semua kembali seperti biasa, tanpa ada hal-hal yang membuat tidak nyaman.”
“Semoga seperti itu, Nisa.” aku menjawab, meskipun dalam hati masih ada rasa tidak nyaman.
“Oke kalau gitu. Aku harus pulang, Mas Haris. Ada janji sama suami aku,” katanya sambil berdiri.
Aku mengangguk, mencoba tersenyum. “Oke, Nisa. Hati-hati di jalan.”
“Kamu juga. Sampai jumpa, Mas Haris,” balas Anisa sebelum berbalik dan berjalan keluar dari kafe.
Aku duduk sendirian di meja itu, menatap kopi yang sudah dingin di depanku. Pikiranku berputar-putar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Aku merasa seperti baru saja terjatuh dari awan, dan sekarang harus menghadapi kenyataan yang pahit.
Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku membukanya dan melihat pesan dari Astrid.
“Sayang, kamu pulang kantor belum? Aku sudah siapkan makan malam spesial nih.”
Aku tersenyum kecil, merasa bersalah karena telah melupakan istriku yang setia. Aku segera membalas pesannya.
“Aku sebentar lagi pulang, Sayang. Makasih sudah siapkan makan malam. Aku sayang kamu.”
Aku menutup ponselku dan menarik napas dalam-dalam. Mungkin ini adalah pelajaran berharga buatku. Aku harus lebih menghargai apa yang sudah aku miliki, dan tidak membiarkan pikiran liar merusak hubungan yang sudah aku bangun dengan susah payah.
ns13.58.146.48da2