Saat aku turun ke ruang makan, Astrid sedang menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Anindya dan Haikal sudah duduk di meja makan, sibuk dengan roti dan selai favorit mereka. Aku tersenyum melihat mereka, tapi senyum itu terasa berat. Astrid menatapku dengan mata penuh kasih.
"Kamu keliatan masih capek. Tidurnya kurang nyenyak ya?" tanyanya sambil menyodorkan secangkir kopi.
Aku mengangguk, mencoba untuk tidak terlalu banyak berbicara. "Iya, mungkin lagi banyak pikiran," jawabku singkat.
Astrid tidak menanyakan lebih jauh. Dia selalu begitu, penuh pengertian dan tidak pernah memaksaku untuk bercerita jika aku tidak siap. Tapi justru itu yang membuatku semakin merasa bersalah. Dia begitu baik, begitu percaya padaku, sementara aku diam-diam menyimpan rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.
Setelah mengantaranak-anak berangkat ke sekolah, aku mengendarai mobil sembari pikiranku kembali melayang ke Anisa. Aku mencoba mengingat setiap interaksi kami, setiap kata yang diucapkan, setiap pandangan yang dilemparkan. Apakah aku benar-benar memiliki peluang untuk mendekatinya?
Sepanjang hari, pikiranku terus terpaku pada Anisa. Aku mencoba fokus pada pekerjaan, tapi gagal. Pikiran ku terus melayang. Aku merasa seperti terjebak dalam labirin yang tidak ada ujungnya, dan setiap langkah yang kuambil hanya membuatku semakin bingung.
Kekacauan pikiranku kembali berlanjut hingga pulang kantor. Aku berputar-putar gak jelas di sekitar cafe tempat semalam aku bersama Anisa. Hingga akhirnya aku memutuskan pulang ke rumah.
Malam itu, saat semua orang sudah tidur, aku duduk di ruang kerja kecilku, mencoba merenungkan segala sesuatu. Aku tahu, ini harus berakhir. Aku tidak bisa terus seperti ini, terjebak dalam perasaan yang mungkin hanya ada dalam imajinasiku. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melupakan perasaan ini, sementara setiap kali melihatnya, hatiku seperti terbakar?
Aku menatap foto keluarga yang terpajang di meja kerjaku. Astrid, Anindya, dan Haikal tersenyum bahagia, mengingatkanku pada segala hal yang telah kubangun selama ini. Mereka adalah hidupku, dan aku tidak bisa membiarkan segalanya hancur hanya karena perasaan yang mungkin tidak pernah ada.
Tapi di sudut lain hatiku, ada suara kecil yang terus berbisik. "Bagaimana jika ada kesempatan? Bagaimana jika dia juga merasakan hal yang sama?"
Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir suara itu. Ini adalah jalan berbahaya, dan aku tahu, satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya. Tapi entah mengapa, aku merasa seperti tidak punya pilihan. Aku terjebak dalam perasaan yang tidak bisa kukendalikan, dan tidak tahu bagaimana cara keluar darinya.
Malam ini, aku tidak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi oleh bayangan Anisa dan rasa bersalah yang semakin menguat. Aku tahu, ini harus berakhir. Tapi bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melupakan perasaan ini, sementara setiap kali bayangannya terlintas, hatiku seperti terbakar? Andai saja aku tidak kepo mendengar percakapan mereka malam itu tentu perasaanku kepada Anisa akan biasa-biasa saja.
Bayangan Anisa ternyata begitu sulit aku tepis. Bagi aku sahabat istriku ini sosok yang sangat sempurna. Memiliki tubuh proporsional dengan tinggi di atas rata-rata wanita Indonesia pada umumnya. Wajahnya sangat cantik, meliki hidung mancung, alis tebal berwarna hitam, kulit putih, tubuh langsing dengan pinggul melebar kesamping serta pantat bulat yang menungging kebelakang. Satu lagi yang sangat istimewa wanita cantik ini memiliki sepasang payudara yang membusung besar didadanya. Semua itu tidak bisa dia tutupi dengan pakaian muslimah longgarnya. Tubuh yang seindah itu dari pemilik wajah yang sangat cantik ternyata tidak mendapat kepuasan batin dari suaminya.
***
Siang itu, usai istirahat siang, aku duduk di meja kantor sambil menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. Aroma kopi yang biasanya menenangkan, kali ini seolah tak mampu mengusik kegelisahan yang merayap di benakku. Pikiranku masih melayang-layang mengingat Anisa dengan segala pesonanya. Terutama tentu saja tubuhnya yang bahenol, yang seolah memancarkan daya tarik magis. Entah kenapa, pikiran tentangnya terus muncul di benakku, seolah tak mau pergi. Aku mencoba fokus pada pekerjaan, tapi tangan ini seperti punya keinginan sendiri. Tanpa sadar, aku membuka WhatsApp dan menggeser layar ke bagian status.
Dan di sana, ada dia—Anisa. Foto terbarunya muncul dengan senyum yang begitu memikat dan mata yang berbinar, dan latar belakang yang sepertinya diambil di sebuah kafe cozy. Caption di bawah fotonya sederhana tapi penuh makna: "Syukuri apa yang ada."
Aku terdiam sejenak, menatap foto itu. Entah apa yang merasuki diriku, tapi jari-jariku langsung menari di atas layar ponsel. Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan komentar di statusnya:
"Ya, memang harus disyukuri punya wajah secantik ini. Aku saja bersyukur meski hanya sekadar melihat kecantikan kamu."
Setelah mengirim komentar itu, aku langsung menyesal. "Apa-apaan ini? Kenapa aku nekad ngegombal seperti ini?" batinku. Harusnya pelan-pelan dulu jangan langsung seperti itu yang bisa berakibat hal yang tidak aku inginkan. Tapi apa daya sudah terlanjur. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka dokumen kerja, tapi pikiran ini terus melayang ke arahnya. "Apa dia akan membalas? Atau malah mengabaikanku? Atau dia malah akan marah dan mengadu pada Astrid bahwa aku mulai merayu-rayu dia.
Tak lama setelah itu, ponselku bergetar. Aku segera membukanya, dan ternyata itu balasan dari Anisa. Jantungku berdegup kencang saat membaca pesannya:
"Wah, Mas Haris makin nekad aja nih ngasih pujian. Awas, lho, aku bisa kegeeran nanti. Tapi beneran, mas gak takut muji-muji wanita lain selain istri?"
“Ngapain takut ngomong fakta Anisa?”
“Ngomong fakta atau ngegombal?”
Aku merasa lega membaca balasannya. Ada rasa senang karena dia tidak marah apalagi sampai melapor ke Astrid. Aku kembali membalas pesannya dengan santai, mencoba menjaga agar obrolan tetap ringan:
"Hahaha, bukan gombal kok, Nisa. Aku beneran ngomong fakta aja. Kamu tuh beneran cantik."
Beberapa detik kemudian, balasannya datang lagi:
"Duh, Mas Haris ini bahaya banget sih. Awas aja nanti ketahuan Astrid kamu muji-muji temennya!"
“Gak bakal ketahuan.”
“Kalau ketahuan?”
Aku terdiam sejenak, membaca pesan terakhir Anisa. Kalimat itu seperti menggantung di udara, menciptakan ketegangan yang tak terduga. Jari-jariku gemetar sedikit saat mencoba merangkai balasan yang tepat. Aku tidak ingin terlihat terlalu serius, tapi juga tidak ingin terkesan main-main.
“Kalau ketahuan? Ya, aku siap hadapi konsekuensinya,” balasku, mencoba terdengar percaya diri.
Tapi dalam hati, aku mulai merasakan kegelisahan. Astrid, istriku, adalah wanita yang sangat perhatian dan peka. Dia bisa membaca suasana hatiku hanya dari tatapan mata. Aku tahu, jika dia sampai tahu tentang percakapan ini, hubungan kami bisa terguncang.
Ponselku bergetar lagi. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pesan Anisa.
“Mas Haris berani banget ya. Tapi jangan salah, aku juga bisa bahaya lho. Kalau sampai Astrid tahu, bukan cuma kamu yang bakal kena masalah.”
ns18.191.21.248da2