
Oktan POV
Job hari ini berupa perawatan kamar seperti biasa. Aku bersama salah satu senior Engineering, Mas Herman, harus pergi ke kamar-kamar hotel untuk mengecek setiap kamar kosong. Hal-hal yang perlu diperiksa terutama adalah dinginnya AC, normal atau tidaknya televisi, saklar, shower, atau hal-hal kecil lain sampai pengecekan kaitan jendela apakah ada yang lepas atau tidak.
Memang ini tugas yang mudah bagi Engineering dan ini pula yang membuat seolah Engineering menjadi divisi paling ringan di hotel. Namun di sisi lain, aku juga merasa bosan karena hampir setiap hari melakukan hal yang sama. Walau begitu aku tak ada tempat untuk membantah karena memang ini bagian dari tugasku.
“Freyonnya habis,” kataku kepada Mas Herman setelah mengeceknya dengan alat ukur pada AC outdoor.
“Yaudah isi.” Mas Herman mengeluarkan tabung freyon melewati jendela lalu diletakkan di sebelahku. “Ini udah jam makan siang, habis ini kamu boleh istirahat.”
Aku balas dengan anggukan singkat.
Mengisi freyon tidak membutuhkan waktu lama. Sebentar saja sudah penuh dan AC di kamar tersebut sudah dingin seperti sedia kala. Mas Herman bilang akan menyelesaikan dua kamar lagi. Aku ingin membantu, tapi Mas Herman posisinya adalah seniorku di sini, orang yang bertanggung jawab terhadap juniornya. Jika dia ketahuan membawa anak magang kerja saat jam istirahat, dia bisa kena teguran.
“Udah kamu makan dulu, aku mah udah biasa kagak makan siang,” katanya sebelum membuka pintu kamar sebelah.
Oke, aku menurut.
Ini adalah lantai empat, sedangkan tempat makan para karyawan dan anak magang ada di basement. Karena ada fasilitas lift, tentu saja kumanfaatkan.
Aku masuk ke lift yang biasa dipakai pengunjung. Sebenarnya aku tidak boleh melakukan ini karena lift khusus karyawan dan pengunjung dibedakan, tapi karena lift ini lebih dekat dari tempat terakhirku, maka aku nekat. Toh selama ini aman-aman saja.
Ketika mencapai lantai tiga, pintu lift terbuka. Terlihat seorang pria gemuk berdiri di sana sambil memainkan HP. Saat ia hendak masuk, dia menyadari seragam Engineeringku dan langsung tersenyum senang.
“Mas Engineering, ya?” tanyanya.
Tentu saja secara refleks aku mengangguk. “Iya, Pak.”
“Bisa minta tolong benerin listrik kamar saya? Saya udah masukin kartu tapi tetep nggak bisa nyala.”
Di Hotel Semar, setiap pelanggan yang datang akan mendapat kartu khusus untuk nantinya ditancapkan pada suatu tempat di masing-masing kamar. Tempat meletakkan kartu itu berada persis setelah membuka pintu. Fungsinya sendiri adalah agar penghuni kamar bisa mengakses segala sumber listrik di ruang tersebut.
Karena ini merupakan kewajibanku sebagai Engineering, ditambah aku ingin memperdalam ilmuku, maka segera kuiyakan saja. “Bisa, Pak.”
Orang itu tidak jadi naik lift dan membawaku ke kamar nomor 212. Dia menunjukkan bahwa kartu itu sudah tertancap di tempatnya tapi listrik tetap tak bisa menyala.
“Oh, tunggu sebentar, ya Pak.” Aku mengeluarkan obeng dari saku dan membuka panel listrik kecil di sebelahnya. Kuhubungkan kabel dari wadah kartu tadi langsung ke sumber. Dengan demikian, maka listrik bisa diakses tanpa harus menggunakan kartu. Bisa dibilang di kamar tersebut saat ini, kartu itu sudah tak ada gunanya. Setelah ini aku hanya perlu bilang kepada Mas Herman atau senior lain kalau di kamar ini harus segera diperbaiki setelah pelanggan check-out agar tempat kartu bisa berfungsi kembali. “Nah, sudah, Pak.”
Orang itu tersenyum senang. “Wah, makasih, Mas. Baru juga dateng udah gelap-gelapan, saya kan jadi bingung.” Dia merogoh saku mengeluarkan uang warna biru. “Nih, buat jajan.”
“Makasih, Pak.” Tentu saja tidak kutolak. “Kalau begitu, saya permisi, Pak.”
“Iya, iya. Sekali lagi makasih.”
Setelah meninggalkan kamar 212, aku langsung menuju lift ingin segera ke ruang makan karena perut ini sudah lapar. Namun saat tiba di depan kamar 203, pintu kamar itu membuka tiba-tiba menampakkan sosok wanita paruh baya yang langsung menghentikanku.
“Eh, kebetulan, Mas.”
Langkahku berhenti mendadak. “Ada apa, Bu?”
Dengan senyum ramah dia menjelaskan seraya menunjuk langit-langit kamarnya. “AC saya kok nggak dingin ya, Mas. Bisa tolong bantu? Kamu Engineering, kan?”
Aku tak bisa menolak, tidak mungkin menolak. “Bisa, Bu.”
“Silahkan, Mas.”
Aku masuk ke kamarnya. Memang hawa di ruangan ini tidak sedingin kalau dipasang AC, apalagi aku melihat di layar remote kalau suhunya diatur ke 18 derajat.
“Sebentar ya, Bu.”
Ibu itu mengangguk.
Aku membuka tirai kamar yang tebal sekaligus membuka jendelanya. Ini mungkin permasalahan yang sama yaitu freyon habis, sedangkan untuk mengecek apakah freyon itu habis atau tidak harus melalui AC outdoor di balkon luar. Dari kamar sini kulihat pipa AC outdoor di sana dan warnanya sudah memutih atau membeku. Itu berarti freyonnya memang sudah habis atau sedikit sekali.
“Freyonnya habis, Bu,” kataku padanya. “Tapi saya nggak bawa freyon dan alatnya, saya harus ambil dulu. Nggak apa-apa?”
Wanita itu berpikir sejenak. “Tapi saya habis ini mau keluar.”
“Oh nggak apa-apa, Bu. Pengisian freyon AC lewat Ac di luar itu, saya kalau mau ke luar bisa lewat jalan lain nggak harus lewat sini. Nanti saya isi, kalau masih nggak dingin, Ibu bisa telepon ke bawah.”
“Oh, iya deh.”
“Kalau begitu saya permisi, Bu.”
Aku keluar dan menutup pintu perlahan. Segera kubuka HP untuk menghubungi Mas Herman. Kukatakan kalau freyon di kamar 203 habis dan harus diisi.
“Ambil aja di office, Tan. Aku lagi makan,” katanya.
Aku menghela napas tanpa sadar. Sekarang yang makan duluan justru dia.
Mau tak mau aku mengambil alat-alat yang dibutuhkan berupa tiga selang yang disatukan oleh dua meteran. Kuambil pula freyon warna hijau di ujung ruang office Engineering. Setelah selesai, aku kembali naik lift dari lantai 18 ke lantai 2, ya office Engineering memang berada di lantai puncak atau lantai 18.
Keluar dari lift karyawan adalah lorong khusus yang hanya bisa dimasuki karyawan. Dari sini juga terhubung dengan balkon kamar 203. Aku membuka jendela untuk keluar dari sana.
Setelah tiba di luar kamar 203, aku segera melaksanakan tugasku. Kupasangkan satu selang ke freyon dan selang lain ke AC outdoor. Setelah selesai aku pun berkemas.
Pada saat itulah mataku tanpa sengaja menatap kamar samping, yaitu kamar 204. Setiap kamar memiliki dua tirai yaitu tirai tebal dan tipis yang tembus pandang. Di kamar 204 itu, penghuninya hanya menutupkan tirai tipis tembus pandang.
Entah pikiran dari mana, aku iseng mengintip ke jendela kamar tersebut.
Hampir saja aku berseru keras karena terlalu kaget saat melihat pemandangan di dalam sana.
Tampak dua orang muda dan mudi sedang memadu kasih dengan panas sekali. Si wanita mengangkang lebar di bawah kungkungan si pria yang menggenjot ganas. Dari sini dapat kulihat mulut wanita itu terbuka lebar, aku yakin desahannya keras sekali.
Mereka pastinya terlalu tenggelam dalam dunia panasnya hingga tak menyadari kalau ada orang mengintip dari luar. Aku sendiri tahu ini salah karena mengganggu privasi pelanggan, tapi salah mereka sendiri yang sengaja tak menutup tirai tebal.
Bahkan dari tirai tipis itu aku bisa melihat wajah mereka secara jelas. Apalagi wanita itu, sangat cantik manis. Dagunya lancip dengan hidung mancung. Alisnya tipis, serta bibirnya memakai lipstik merah gelap. Tubuh dengan wajah secantik itu kini sedang dihajar habis-habisan oleh kontol pria di atasnya.
“Sial, malah ngaceng.” Kulirik celanaku bagian selangkangan yang membesar perlahan.
Inginku segera berlalu makan, tapi rasa lapar ini seolah hilang begitu saja melihat dua payudara memantul-mantul di sana.
Tanpa terasa, sampai cukup lama aku mengintip adegan panas itu hingga satu teriakan keras sekali yang secara samar mampu kudengar, lalu si pria mencabut kontol untuk kemudian menembakkan sperma ke perut si wanita. Sampai di sana aku menonton, tidak mau lanjut lagi karena takut ketahuan.
Sejak tadi kontolku masih dalam keadaan ngaceng. Aku juga lelaki normal yang akan ngaceng melihat wanita telanjang apalagi sedang dalam posisi ngangkang. Dan jika sudah seperti ini, onani saja kurang memuaskanku.
Kubuka HP dan segera kukirim pesan kepada Taya, pacarku yang juga merupakan karyawan di Hotel Semar ini.
“Ay, malem nanti aku nginep di tempatmu, boleh?”
Tak menunggu sampai dua menit, Taya mengirim balasan.
“Hihihi, nggak usah bilang juga nggak apa-apa kok Ay. Nginep aja.”
Uhhh, balasan dari wanitaku itu justru semakin membuatku “kepanasan”.
ns3.144.139.191da2