
Oktan POV
Jam 17.00, setelah menunggu cukup lama, akhirnya kulihat Taya keluar dari pintu utama. Dia saat ini mengenakan seragam hitam Hotel Semar khas dengan pola batik di bagian kerah, hijab hitam dan rok panjang ketat. Penampilan Taya tampak rapi dan menarik, juga ditambah sentuhan make up yang wajib bagi setiap perempuan Hotel Semar—apalagi bagian penerima tamu seperti Taya, membuat sosoknya semakin anggun dan cantik.
“Hai, Ay,” sapanya begitu tiba di hadapanku. Dia memandang dari atas sampai bawah lalu keningnya mengerut dalam. “Kenapa mukamu lesu gitu?”
Memang menunggu kepulangannya yang sering terlambat membuatku lesu, apalagi saat ini ketika sedang sange setelah melihat sekilas adegan panas dalam kamar 204. Aku mencoba memaklumi keterlambatan pulang Taya karena setelah jam selesai masih ada banyak hal yang harus ia selesaikan, bagian penerima tamu memang tak semudah itu. Namun, kondisi saat ini membuatku agak kesal juga karena keterlambatannya.
“Ada sesuatu, nanti kuomongin.” Kuanjurkan helm kepadanya.
Masih dengan raut bingung, Taya memakai helm itu dan naik ke motor varioku dengan posisi miring.
Jalanan kota saat jam segini membuat rasa malas datang tak diundang. Di mana-mana selalu kena macet sampai berhenti total. Sesekali aku menghela napas atau menggerutu sambil memukul stangku, entah karena ada orang ngawur yang asal belok atau terkena lampu merah yang panjang.
“Sabar, Ay ... sabar ....” Taya terus menenangkanku sejak tadi. Tangan kanannya yang memelukku mengelus-elus lembut.
“Lagian itu bapaknya ngawur sih.”
“Iya ... iya ..., toh bapaknya sekarang udah pergi. Nah, lampu hijau tuh, jalan Ay.”
Aku mendecakkan lidah dengan kesal.
Namun di hati ada rasa senang luar biasa karena telah berhasil meluluhkan hati Taya. Selain dia adalah tipe wanita idamanku, Taya juga sosok yang amat sabar dan lembut, juga penuh perhatian kepada diriku ini yang lumayan gampang terpancing emosi.
Sepuluh menit kemudian, akhirnya kami sampai di apartemen tempat tinggal Taya. Memang, pacarku ini tempatnya di apartemen yang tak jauh dari Hotel Semar. Bukan apartemen mahal, tapi juga tidak terlalu murah hingga mengabaikan fasilitas. Karena itulah apartemen ini cukup populer dikalangan orang menengah ke bawah.
Kami menuju lantai puncak, lantai empat lalu berhenti di kamar 417. Taya memasukkan kunci ke knop pintu sebelum membukanya. Keadaan di dalam segera terang benderang setelah Taya menghidupkan lampu.
Gadis itu meletakkan tas kecilnya di atas meja. Sesekali menghela napas ketika ia membereskan barang-barang di meja kecil tersebut. “Duduk dulu, Ay,” ucapnya halus sambil tangannya terus bergerak memindahkan piring bekas biskuit yang penuh semut serta wadah mie instan. “Tadi malem aku begadang, jadi yah ... maaf berantakan, hehe.”
Tanpa menjawab aku duduk di sofa depan TV. Terdengar suara air dari arah dapur ketika Taya membersihkan piring tersebut. Tidak makan waktu lama, ia kembali setelah mengeringkan kedua tangan dan duduk di sebelahku.
“Tadi anak baru itu, Linda, lucu banget. Dia digodain sama om-om, hahaha.” Taya memulai cerita tepat setelah mendudukkan diri. “Aku nggak bisa nahan ketawa liat ekspresinya yang aneh.”
“Oh, mbak Linda?” Aku ingat anak itu, baru juga kemarin kita kenalan.
Taya mengangguk. “Dia anaknya ramah banget, suka aku sama dia. Cocok banget buat jadi penerima tamu, mana cantik lagi. Tapi ya gitu, dia—eh ... eh ... kenapa ini?”
Tanpa menunggunya menyelesaikan kalimat, aku langsung memeluk dari samping dan meletakkan kepalaku di pundaknya. “Aku ke sini mau cerita sesuatu sama kamu, soal Mbak Linda nanti aja.”
Taya melingkarkan tangan ke leherku, sesekali mengelus-elus kepalaku. “Iya, maaf. Mau cerita apa, Ay?”
Inilah hal lain yang amat kusuka dari Taya, yaitu aku bisa bersikap manja kepadanya kapan pun aku mau.
“Tadi ada yang minta aku benerin AC nya, di kamar 203. Pas kucek, ternyata freyonnya habis, nah langsung tuh kuambil freyon buat benerin.”
“Oh, ada masalah?”
Aku menggeleng. “Nggak ada, semua beres.” Pelukanku makin erat. “Tapi kan AC outdoor ada di balkon tuh, pas aku udah selesai, aku nggak sengaja liat ke kamar sebelah, kamar 204. Di kamar itu yang ketutup cuma tirai tipis, jadi aku bisa liat ke dalam. Pas iseng kulihat, kamu tahu apa yang kulihat?”
“Apa tuh, Ay?” Nadanya kelihatan tertarik.
“Aku liat ada orang lagi ... ngewe ....”
Selepas berkata begitu, kulihat dua kaki Taya makin rapat. Tangan satu lagi yang menganggur sedikit bergetar selama satu kedipan mata sebelum jari-jarinya saling remas.
“Jadi?”
Aku semakin erat dalam memeluk, kini kutenggelamkan wajah ke lekukan lehernya. “Aku langsung kepikiran kamu ....”
“Oh ....” Kini tangan kirinya bergerak mengelus pipiku. “Kamu nahan-nahan dari tadi, ya?”
Aku hanay balas dengan anggukan.
“Eh ... kasihan banget sayangku ....”
Kurasakan tubuhnya bergerak-gerak. Aku melirik dan melihatnya membuka kancing baju satu per satu. Sontak mataku melebar, inilah hidangan kesukaanku, toket mulus Taya.
Taya membuka semua kancing bajunya hingga tampaklah BH renda seksi warna merah. Lagi-lagi aku terkejut, kenapa Taya pakai BH seksi sedangkan tadi dia sama sekali belum ganti baju?
“Ay, kamu ...?”
Terdengar Taya terkekeh geli. “Nggak tahu kenapa, ya, tapi sejak pagi tadi aku ngerasa emang harus pakai BH ini. Ternyata udah dikasih tanda sama alam kalau sorenya aku harus nyenengin sayangku ini, hihihi.”
Perlahan tapi pasti, kontolku makin besar.
“Kamu paham banget sama aku ....” Tanganku mulai bergerak menjelajah setiap lekukan tubuhnya.
“Emh ... masa iya nggak paham sama pacar sendiri?” Sambil berkata, dia menurunkan BH rendaa itu sehingga tampaklah dua gunung kembar sampai ke puncaknya. “Ayo sedot, kamu suka, kan?”
Tanpa ragu lagi, aku langsung menerkam hidangan ini. Taya hanya menyandarkan tubuh dan membiarkanku bermain-main dengan dua payudaranya. Sesekali terdengar deru napas panas tanda gairah mulai keluar dari sarang.
“Slrpp .... sllrpp ....” Kusedot kuat-kuat puncak toket sebelah kanan seraya kucengkeram kuat-kuat tubuh dada sebelah kiri.
Taya mulai menggeliat-liat bagai cacing kepanasan. Matanya kulihat merem melek tanda kenikmatan. Perut seksinya bergerak naik turun dalam upaya mengambil dan membuang napas. Semua pemandangan ini sungguh indah dan luar biasa.
“Aahh ... kamu cantik banget, Ay ....”
Kugigit puting itu, Taya mengerang. Saat mulutnya masih terbuka, langsung saja kusodok dengan bibirku dengan lidah terjulur. Mulut kami segera berdempetan ketat sementara lidah kami saling bergulat.
“Emmhh ... emmhh ... aahh!!”
Napas Taya terengah-engah begitu aku melepas ciuman. Matanya sayu memandangku, sayu penuh nafsu.
“Ay ...,” lirihnya. “Kamu lebih agresif dari biasanya. Udah enggak kuat banget, yah? Kenapa kamu nggak minta aku pap aja biar bisa keluarin dulu di kamar mandi tadi?”
Dalam keadaan seperti ini pun, dia masih terus memikirkanku. Oh ... wajah cantik dan hati yang lembut, kehangatannya benar-benar membuatku candu.
“Aku nggak mau kerjaanmu terganggu.”
“Tapi kerjamu yang terganggu karena sakit, kan?” Dia meraba selangkanganku. “Iyah, kan? Pasti berat, yah ....”
Aku kembali menciumnya. Air ludah kami bercampur jadi satu, kami menelannya tanpa ragu.
Beberapa saat, aku melepasnya. “Ay, aku punya permintaan.” Entah kenapa tiba-tiba aku teringat sesuatu dari yang kutontont semalam. “Tolong lakuin ini demi aku. Aku ... aku ... pengen banget.”
Tatapannya penuh sinar kelembutan dan pengertian. Hanya melihatnya saja aku sudah yakin dia tak akan menolak. “Minta apa, Ay? Bilang aja sama aku ....”
“Kamu dulu ikut ekskul nari dan bahkan kamu yang sesekali jadi pengajar, kan?”
Taya mengangguk.
“Aku mau kamu nari buat aku sekarang ... nari telanjang ... nari yang seksi, aku pengen lihat kamu nari buat aku ....”
Matanya melebar sejenak sebelum beberapa saat kemudian kembali menyendu dengan mulut tersenyum.
“Apa sih yang enggak buat kamu, Ay?”
_______
Penasaran dengan kelanjutannya? Klik link ini bro
victie.com/app/author/34789
novelkita.online/writer/jojo/
atau gabung tele saya di t.me/Jojo_sWorld
ns3.144.118.249da2