Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Kota M berdenyut dengan semangat yang tak biasa, seolah seluruh warga tersihir oleh pengajian akbar Habib Hamza malam ini. Di kantorku, suasana lebih santai dari biasanya; semua pegawai, termasuk aku, Ardi, diperbolehkan pulang lebih awal untuk bersiap. Aku melajukan motor bebekku melewati jalanan yang sudah ramai dengan spanduk dan lampu-lampu sementara, hati penuh antusiasme. Bau sawah yang bercampur aroma asap bakaran dari warung-warung kecil di pinggir jalan mengiringi perjalananku pulang, dan pikiranku hanya tertuju pada Fitri, Fahri, dan malam istimewa yang menanti.
Sesampainya di rumah, aroma masakan Fitri langsung menyapa hidungku. Ia sudah menyiapkan makan malam—ayam kecap, sayur kolplay, dan sambal bawang yang menggoda selera. Rumah kecil kami tampak rapi, lantai mengilap, dan meja makan sudah tertata. Fitri, seperti biasa, mengurus semuanya dengan sempurna. Aku segera mandi, membiarkan air dingin menghapus lelah dari tubuhku. Tak lama, aku mendengar tawa Fahri dari kamar mandi kecil di belakang rumah, tempat Fitri sedang memandikannya. Suara cipratan air dan celoteh Fahri yang minta main sabun membuatku tersenyum. Aku bersyukur dalam hati, betapa beruntungnya aku punya Fitri, wanita cantik yang tak hanya memikat mata, tapi juga mampu menjaga kehangatan keluarga kami.
Selesai mandi, aku mengenakan kemeja putih yang sudah disetrika rapi oleh Fitri dan sarung bermotif kotak-kotak, pakaian yang menurut Fitri membuatku tampak “gagah”. Fahri, yang sudah selesai dimandikan, berlarian dengan kaus hijau dan celana pendek, rambutnya masih basah dan wangi sabun bayi. Fitri muncul dari kamar, dan aku hampir lupa bernapas. Ia mengenakan gamis satin hijau zamrud yang licin, memeluk lekuk tubuhnya dengan anggun namun sopan, dengan hijab senada yang disematkan rapi. Bahan satin itu berkilau lembut di bawah lampu, menonjolkan keanggunan wajahnya yang cerah dan kulitnya yang mulus. Ia tampak seperti ratu malam, cantik dengan cara yang membuat jantungku berdegup kencang, namun tetap memancarkan kesederhanaan yang khas Fitri.
Kami bersiap di beranda rumah, tikar sudah digulung dan termos kopi disiapkan untuk pengajian. Fahri sibuk mengikat tali sandal barunya, sementara aku dan Fitri punya momen kecil berdua di sudut beranda. Aku memandangnya, tak bisa menahan diri untuk tidak mengagumi setiap inci dirinya. Gamis satin itu, meski sopan, sedikit menggoda dengan cara kainnya membingkai lekuk pinggang dan bagian tubuhnya yang menonjol—pantat dan payudaranya yang seolah menantangku untuk menyentuh. Aku melangkah mendekat, tanganku hampir meraih pinggulnya, bisikku, “Fit, kamu cantik banget malam ini. Aku nggak tahan, pengen peluk kamu erat-erat… atau mungkin lebih.” Mataku nakal, dan Fitri langsung tersenyum genit, matanya menyipit penuh godaan.
“Mas, ih, nakal!” katanya, suaranya lembut tapi dengan nada main-main, menepis tanganku dengan halus. “Kalau mau macam-macam, nanti aja habis ngaji, ya. Sekarang kita fokus ke pengajian dulu.” Ia melangkah mendekat, mengecup pipiku dengan cepat, bibirnya hangat dan meninggalkan aroma parfum bunga yang lembut. Aku tertawa kecil, merasa seperti anak muda yang sedang kasmaran lagi. Tiba-tiba, Fahri yang rupanya mengintip dari balik pintu, berteriak, “Ciyeee, Bapak sama Ibu mesraan! Ciyeee!” Ia terkikik, lari berputar-putar di beranda, membuat aku dan Fitri tak bisa menahan tawa.
Aku menarik Fitri ke pelukanku, kali ini hanya pelukan hangat, penuh rasa syukur. “Fit, aku bersyukur banget punya kamu,” bisikku, suaraku serius. “Kamu bikin hidupku sempurna, tahu nggak?” Fitri memandangku, matanya berkaca-kaca, lalu memelukku balik. “Aku juga, Mas. Kamu dan Fahri adalah dunaku,” jawabnya lembut. Untuk sesaat, dunia di sekitar kami seperti menghilang—hanya ada kami berdua, tenggelam dalam cinta yang sederhana tapi dalam.
Fahri akhirnya menyeret tikar ke arah kami, memecah momen itu dengan celotehnya, “Ayo, cepat, Bapak, Ibu! Nanti nggak kebagian tempat!” Aku dan Fitri tersenyum, lalu berjalan keluar rumah, tangan kami saling bergandengan, sementara Fahri melompat-lompat di depan. Di kejauhan, lampu-lampu lapangan alun-alun sudah menyala, dan suara warga yang mulai berkumpul terdengar seperti detak jantung kota M. Malam ini, kami melangkah menuju pengajian Habib Hamza, hati penuh harap dan kebersamaan, tak tahu apa yang akan menanti kami di bawah langit malam yang gemerlap.
-------------------
Malam di kota M terasa hidup dengan langkah-langkah warga yang berbondong-bondong menuju lapangan alun-alun, tempat pengajian Habib Hamza akan digelar. Aku, Ardi, berjalan bersama Fitri dan Fahri, tikar tergulung di tanganku dan termos kopi di pundak Fitri. Jarak rumah kami ke lapangan cukup dekat, hanya sepuluh menit berjalan kaki, jadi kami memilih menikmati udara malam yang sejuk. Di samping kami, tetangga-tetangga berpakaian islami berjalan dengan penuh semangat—gamis dan jilbab berwarna-warni untuk para ibu, sementara bapak-bapak mengenakan koko dan sarung. Ada Mbak Sari yang menggandeng anaknya, dan Pak Joko yang membawa lampu senter besar. Suara tawa dan obrolan ringan mengisi udara, bercampur dengan gemerisik daun kelapa yang tertiup angin.
Fitri berjalan di sampingku, gamis satin hijau zamrudnya berkilau lembut di bawah lampu jalan, membuatnya tampak seperti bintang di tengah kerumunan. Fahri melompat-lompat di depan, sesekali menoleh untuk memastikan kami mengikutinya. Tiba-tiba, Pak Slamet, tetangga yang paling aktif saat kerja bakti di kampung, menyusul langkahku dan berjalan di sampingku. Wajahnya yang penuh kerutan tersenyum lebar, matanya sesekali melirik ke arah Fitri. “Ardi, istrimu cantik banget, lho,” bisiknya pelan, suaranya penuh kagum tapi dengan nada sedikit menggoda. “Lihat tuh, gamisnya nempel pas di badan, bikin pinggang sama… ehm, lekuknya kelihatan anggun. Kulitnya putih mulus, rambutnya yang keluar sedikit dari jilbab itu hitam mengilap. Kamu beruntung, deh, punya istri kayak gitu. Kayak bidadari turun dari langit, bro!”
Aku tersenyum kaku, sedikit risih tapi juga bangga. Pak Slamet melanjutkan, masih dengan nada yang setengah bercanda, “Serius, Ardi, matanya Fitri itu kayak ngomong, lho. Bibirnya merah alami, apalagi kalau senyum, ya Tuhan, bisa bikin orang lupa jalan pulang. Aku yakin, tiap malam kamu nggak bisa tidur lihat dia, kan?” Ia tertawa kecil, mengedipkan mata. Lalu, dengan suara yang lebih pelan, ia bertanya, “Ngomong-ngomong, biasa berhubungan badan berapa kali seminggu, Di? Pasti sering, ya, sama istri secantik itu?” Pertanyaannya blak-blakan, membuatku tersedak udara. Aku ingin menjawab, tapi juga nggak mau. “Eh, Pak, biasa aja, lah,” gumamku, berusaha mengalihkan topik, wajahku memanas. “Ayo, cepetan, nanti nggak kebagian tempat.”
Tapi di dalam benakku, pertanyaan Pak Slamet membuka pintu kenangan yang begitu pribadi. Aku dan Fitri memang punya keintiman yang cukup intens, sesuatu yang selalu membuatku bersyukur. Dalam seminggu, kami biasanya bercinta tiga malam, selalu di tengah malam saat Fahri sudah terlelap di kamar kecil kami, tempat kami bertiga tidur. Karena rumah kami hanya punya satu kamar, sofa tua di ruang tamu jadi saksi bisu momen-momen itu. Di bawah lampu temaram yang sengaja kami redupkan, kami menjelajahi satu sama lain dengan penuh gairah, mencoba berbagai posisi—kadang aku memeluknya dari belakang, kadang ia duduk di pangkuanku, gerakan kami lembut tapi penuh api. Fitri, dengan tubuhnya yang menggairahkan, selalu tahu cara membuatku luluh, lekuk tubuhnya yang lembut dan hangat seperti magnet yang tak bisa kulepaskan.
Aku masih ingat betul, setiap kali kami bercinta, kami harus menahan desahan, takut suara kami terdengar tetangga di dinding tipis rumah kami. Fitri sering menggigit bibirnya, matanya memandangku dengan campuran cinta dan kenakalan, sementara tanganku menjelajahi kulitnya yang mulus. Ada malam-malam ketika ia berbisik, “Pelan, Mas, nanti Fahri bangun,” tapi nada genitnya justru membuatku semakin tergoda. Sofa itu, meski sudah tua dan sedikit berderit, jadi tempat kami mencurahkan cinta, tawa, dan bisikan mesra. Aku bersyukur, tak henti-hentinya, punya Fitri yang tak hanya cantik di luar, tapi juga begitu hidup dan menggairahkan di setiap sentuhan, membuat setiap momen bersamanya terasa seperti anugerah.
Pikiran itu membuatku tersenyum sendiri, tapi aku cepat-cepat mengusirnya dari kepala. Ini bukan waktunya melamun tentang malam-malam kami—kami sedang menuju pengajian, tempat untuk menyucikan hati. Tapi di sudut hatiku, aku tak bisa menyangkal betapa Fitri adalah berkah terbesarku. Tubuhnya, senyumnya, dan caranya mencintaiku adalah alasan aku bangun setiap hari dengan rasa syukur. Aku melirik Fitri yang berjalan di sampingku, gamisnya berkibar lembut tertiup angin malam. Ia menoleh, tersenyum padaku, dan aku merasa jantungku berdetak lebih kencang. Aku bersyukur, berulang-ulang, bahwa wanita ini adalah istriku, dan malam ini, kami akan bersama mencari cahaya ilmu di lapangan alun-alun.
Langkah kami semakin mendekati lapangan, di mana lampu-lampu sudah menyala terang dan suara mikrofon mulai terdengar. Kerumunan warga semakin padat, dan Fahri menarik tangan Fitri, tak sabar ingin melihat panggung. Aku berjalan di belakang mereka, masih membawa tikar, pikiranku bercampur antara antusiasme untuk pengajian dan kehangatan dari kenangan intim bersama Fitri. Malam ini, aku tahu, akan jadi malam yang tak terlupakan—tapi untuk alasan apa, aku belum tahu.
-----------------------------
Akhirnya kami sampai di lapangan alun-alun kota M, yang malam ini berubah menjadi lautan manusia dan cahaya. Arena pengajian tampak megah, diterangi lampu sorot besar yang dipasang di tiang-tiang bambu, menciptakan suasana seperti panggung festival rohani. Ribuan warga memadati lapangan, duduk di atas terpal dan tikar rotan yang digelar di rumput, sementara di pinggir lapangan, pedagang asongan berjejer, menjajakan es kelapa muda, gorengan, dan snack seperti kacang rebus dan permen kapas. Suara mereka berbaur dengan sholawatan yang mengalun lembut dari pengeras suara, menciptakan suasana yang meriah namun penuh khidmat. Panggung utama di depan, dihias kain putih dan spanduk bertuliskan ayat-ayat suci, tampak megah dengan mikrofon yang siap menyuarakan ceramah Habib Hamza.
Aku, Ardi, berpisah dengan Fitri dan Fahri di tengah kerumunan, karena barisan laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh pembatas kain panjang. Fitri menatapku dengan senyum lembut, tangannya menyentuh tanganku untuk salim, jari-jarinya hangat dan penuh kasih. Fahri, dengan wajah ceria, ikut salim, tangan kecilnya mencengkeram jemariku. “Jangan nakal, ya,” kataku sambil mengusap kepala Fahri, lalu menoleh ke Fitri, “Kamu juga, jaga Fahri baik-baik.” Fitri terkekeh, mengangguk, lalu berjalan ke barisan perempuan bersama Fahri yang masih melambai padaku. Di sampingku, Pak Slamet, yang tak pernah kehabisan godaan, menyenggol lenganku. “Ciyeee, Ardi, lihat tuh Fitri, penurut banget, ya. Istri idaman, bro, salim segala!” Aku cuma nyengir, wajahku memanas, tapi di hati aku bangga mendengar pujian untuk Fitri.
Aku dan Pak Slamet berjalan ke barisan laki-laki, mencari tempat di atas terpal yang sudah digelar di rumput lapangan. Kami akhirnya duduk di tikar rotan, di antara bapak-bapak lain yang sibuk mengobrol atau mengunyah kacang dari pedagang keliling. Udara malam terasa sejuk, dengan aroma rumput basah bercampur bau manis dari es sirup yang dijual di gerobak dekat kami. Di depan, sholawatan mulai mengalun lebih keras, dipimpin oleh kelompok pemuda berjubah putih, suara mereka merdu dan menggetarkan. Aku merasa nyaman, dikelilingi kebersamaan warga kota M, hati siap menerima siraman rohani dari Habib Hamza. Di kejauhan, aku sesekali melirik ke arah barisan perempuan, membayangkan Fitri dan Fahri duduk di sana, dan aku bersyukur bisa berbagi malam ini bersama mereka, di tengah megahnya arena yang penuh harapan ini.
----------------------------------
Di tengah gemuruh sholawatan yang mengalun di lapangan alun-alun, aku dan Pak Slamet duduk berdampingan di atas tikar rotan, dikelilingi aroma rumput basah dan asap rokok yang samar. Kami baru saja membeli kacang rebus yang masih hangat, secangkir kopi hitam pahit, dan sebatang rokok untukku—persiapan lumrah untuk pengajian yang pasti akan berlangsung hingga larut malam. Pedagang keliling masih mondar-mandir, menawarkan jajanan dengan suara serak, sementara cahaya lampu sorot menerangi wajah-wajah penuh harap di sekitar kami. Aku mengunyah kacang, merasakan suasana nyaman, sementara Pak Slamet, dengan sorot mata yang serius tapi ramah, menoleh padaku dan mulai berbicara.
“Ardi, kamu harus jaga Fitri baik-baik, lho,” katanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh sholawatan tapi cukup jelas untukku. “Wanita secantik Fitri, yang soleha, penurut, dan penuh perhatian seperti dia, susah dicari di zaman sekarang. Dia kayak permata, bro, nggak cuma cantik di muka, tapi hatinya juga bening, selalu bikin rumah kalian hangat. Kalau kamu lengah, nanti menyesal, tahu!” Nada Pak Slamet penuh nasihat, tapi ada sedikit kekhawatiran di matanya, seolah ia tahu sesuatu yang aku belum pahami.
Ucapan Pak Slamet membuatku bingung, dan pikiranku mulai berputar. Menjaga Fitri? Bukankah aku sudah melakukan itu setiap hari? Aku menafkahinya dengan gajiku, memastikan kebutuhan rumah terpenuhi—beras, tagihan listrik, sekolah Fahri, semua kujaga. Nafkah batin pun kuberikan sepenuh hati; hubungan seksual kami begitu intens, hampir setiap malam kami bercinta di sofa ruang tamu, di bawah lampu temaram, saat Fahri tertidur. Aku bangga, sungguh, karena kehidupan ranjang kami bukan sekadar rutinitas, tapi perayaan cinta yang nikmat untukku dan Fitri. Tapi kenapa Pak Slamet bilang aku harus menjaganya? Menjaga dari apa?
Di benakku, kenangan malam-malam bersama Fitri terlintas begitu hidup. Setiap kali kami bercinta, sofa tua itu jadi dunia kecil kami, tempat aku menjelajahi tubuhnya yang menggairahkan dengan penuh cinta. Kulitnya yang mulus, lekuk pinggangnya yang lembut, dan desahannya yang pelan—semua terasa seperti anugerah. Aku tahu persis cara membuat Fitri bahagia di ranjang; aku selalu memulai dengan ciuman lembut di lehernya, tanganku menelusuri punggungnya, lalu perlahan mengeksplorasi setiap inci tubuhnya dengan penuh perhatian. Posisi favorit kami bervariasi—kadang ia di atasku, rambutnya tergerai menyapu wajahku, kadang aku memeluknya dari belakang, merasakan kehangatan tubuhnya yang membuatku lupa dunia. Aku tahu ia menikmatinya, dari caranya memejamkan mata, menggigit bibir, dan berbisik, “Mas, jangan berhenti,” dengan suara yang membuatku merasa seperti pria paling beruntung.
Aku juga belajar membaca isyarat Fitri, memahami apa yang membuatnya melayang. Aku tahu ia suka ketika aku memperlambat ritme, memberinya waktu untuk menikmati setiap sentuhan, atau ketika aku berbisik kata-kata cinta di tengah gairah, membuatnya merasa diinginkan bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Malam-malam itu bukan sekadar kenikmatan bagiku; aku ingin Fitri merasakan kebahagiaan yang sama, dan caranya ia memelukku erat setelahnya, dengan senyum malu-malu, adalah bukti bahwa aku berhasil. Fitri bukan istri yang hanya memberikan kenikmatan; ia adalah pasangan yang membuatku ingin terus belajar mencintainya, di ranjang dan di luar ranjang. Setiap desahan pelan yang kami tahan, takut terdengar tetangga, adalah rahasia kecil kami yang mempererat ikatan.
Tapi pertanyaan Pak Slamet masih menggantung di kepalaku: menjaga dari apa? Ancaman apa yang ia maksud? Aku tahu Fitri setia, dan aku pun tak pernah memikirkan wanita lain. Nafkah lahir dan batin yang kuberikan sudah cukup, bukan? Aku melirik ke arah barisan perempuan, meski tak bisa melihat Fitri di tengah kerumunan. Apakah ada sesuatu yang aku lewatkan? Apakah kehidupan ranjang kami yang indah, atau cinta kami yang kukira sempurna, masih kurang untuk menjaga Fitri sepenuhnya? Pikiran itu membuatku gelisah, tapi suara sholawatan yang semakin keras menarikku kembali ke momen ini, ke lapangan alun-alun yang penuh harapan.
Aku menyeruput kopi hitam, mencoba menenangkan diri. Pak Slamet sudah beralih mengobrol dengan tetangga lain, tapi kata-katanya terus bergema di kepalaku. Aku mengunyah kacang rebus, merasakan teksturnya yang kenyal, dan berjanji dalam hati untuk lebih peka terhadap Fitri, apa pun yang Pak Slamet maksud. Malam ini, aku ingin fokus pada siraman rohani dari Habib Hamza, tapi benih keraguan kecil itu mulai tumbuh, membuatku bertanya-tanya apa yang sebenarnya harus kujaga dari istriku yang begitu sempurna.
ns3.17.9.170da2