BUNDLE CERPEN PDF HEMAT
Jadi Selingkuhan Umma (1-10)
Syakirah SI Succubus Berhijab (Tamat)
Tautan di bio
353Please respect copyright.PENANAwgjepDc80a
Aku masih berlutut di lantai, air mata membanjiri wajahku yang memar, tanganku gemetar setelah mencium kaki Fitri, berharap ia kembali ke pelukanku. Fitri duduk di sofa, gamis biru mudanya rapi, hijabnya menutupi wajah yang tetap menolak menatapku, sementara Habib Hamza di sisinya, berpakaian kemeja putih dan berpeci, menatapku dengan mata penuh otoritas. Rasa sakit di dadaku begitu dalam, seperti luka yang terus berdarah, tapi mereka menungguku mengucapkan talak, kata-kata yang akan mengakhiri delapan tahun pernikahan kami. Aku ingin menuruti keinginan mereka, ingin mengakhiri penderitaan ini, tapi setiap kali kata itu hampir keluar, gambar Fahri dan Fitri yang dulu menghentikanku.Aku sesenggukan, air mata menetes ke lantai, dan dengan suara parau aku mulai berkata, “Aku tal…” Kata itu terhenti, hampir selesai, “Aku talak kamu, Fitri,” tapi aku tak kuasa mengucapkannya sepenuhnya. Dadaku seperti terhimpit, setiap suku kata terasa seperti menyerahkan nyawaku. Aku menatap Fitri, mencari reaksi, dan untuk sesaat, wajahnya tampak berbinar, seperti ia senang mendengar kata-kata itu, seolah bebas dari ikatan kami. Tapi ketika aku tak menyelesaikan kalimat itu, ekspresinya berubah—ada sedikit kekecewaan di matanya, meski ia tetap menunduk, tangannya meremas lengan Habib, seperti menanti kebebasan yang tak kunjung datang. Aku merasa seperti pria paling lemah, berlutut di depan istriku yang menginginkan akhir dari cinta kami.“Fitri, tolong…” bisikku, suaraku patah, masih berharap ia menoleh, tapi ia hanya menggeleng pelan, hijabnya menutupi wajahnya yang dingin. Aku teringat pertanyaanku tadi, “Aku salah apa selama ini?” tapi ia tak menjawab, seperti menegaskan bahwa hatinya sudah milik Habib. Rasa sakit ini terlalu berat, seperti beban yang menghancurkan tulang-tulangku, tapi aku tak bisa mengucapkan talak itu, tak bisa melepaskan Fitri meski ia memilih pria lain. Aku menangis lebih keras, isakku menggema di ruang tamu yang sepi, dan aku merasa seperti tahanan, dipaksa menghadapi keputusan yang tak kuinginkan.Fitri, sepertinya tak sabar, akhirnya angkat bicara, suaranya tegas namun penuh ketidaksabaran, “Mas, selesaikan saja. Ceraikan aku.” Kata-katanya seperti pisau, memotong sisa harapanku, dan aku tersentak, menatapnya dengan mata basah. Ia tak menatapku, tapi nada suaranya penuh kepastian, seperti ia ingin segera bebas dari ikatan kami. “Aku sudah milik Mas Habib,” tambahnya, tangannya merangkul lengan pria keturunan Yaman itu lebih erat, seperti menegaskan bahwa aku tak lagi punya tempat di hatinya. Aku hanya bisa bengong, air mata terus mengalir, tak percaya bahwa Fitri, yang dulu kucintai di sofa ini, kini memaksaku menceraikannya.Habib menatapku, “Ardi, lakukan yang benar. Demi Fahri, demi kita semua,” katanya, suaranya tenang tapi seperti perintah. Aku teringat Fahri, yang kini bersama mertuaku di luar, polos dan tak tahu bahwa ibunya meminta cerai di pagi ini. Aku ingin melawan, menolak, tapi melihat Fitri yang begitu yakin dengan Habib, aku tahu perlawanan itu sia-sia. Aku berlutut lagi, menangis sejadi-jadinya, mencium kaki Fitri sekali lagi, berharap ia merasakan penyesalan, tapi ia menarik kakinya, seperti menolak sentuhanku. Aku merasa seperti pria paling hina, berlutut di depan istriku yang tak lagi menganggapku, di ruang tamu yang kini jadi saksi air mataku.
----------------------------------------------
Aku berlutut di lantai, wajahku kacau dan berantakan, air mata bercucuran tanpa henti, bercampur ingus yang menetes, membuatku tampak seperti pria yang telah kehilangan segalanya. Ini pertama kalinya aku menangis separah ini, lebih hebat dari ketika Fitri melahirkan Fahri, saat ia kesakitan di ruang bersalin dan aku masih bisa menahan tangis demi memberinya kekuatan.
Kini, aku tak mampu menahan apa pun, air mata dan ingus mengalir tanpa kendali, mencerminkan kehancuran delapan tahun pernikahan kami di depan Fitri dan Habib Hamza, yang duduk di sofa tua, menatapku seperti hakim yang menunggu vonis.Fitri, dengan gamis biru muda dan hijab rapi, menatapku dengan ekspresi muak, seolah kelemahanku membuatnya jijik. Matanya, yang dulu penuh cinta saat kami berbagi tawa di ruang tamu ini, kini dingin, penuh ketidaksabaran karena aku tak mampu mengucapkan talak yang ia tuntut.
Aku masih sesenggukan, mencoba mengucapkan kata-kata itu, tapi setiap kali “talak” hampir keluar, dadaku seperti terhimpit, dan gambar Fitri yang dulu mencintaiku menghentikanku. Fitri, sepertinya muak dengan kebimbanganku, mengisyaratkan pandangan ke Habib, matanya seperti memohon agar pria keturunan Yaman itu membantu mengakhiri drama ini secepat mungkin.Habib bangkit dari sofa, langkahnya tegas, wajahnya yang berpakaian kemeja putih dan berpeci memancarkan otoritas yang membuatku semakin kecil.
“Ardi, duduk tegak,” katanya, suaranya dingin, seperti perintah kepada tahanan. Aku masih berlutut, wajahku basah oleh air mata dan ingus, tapi Habib tak memberi ruang untuk kelemahan. Ia menarikku dengan kasar, memaksaku duduk tegak di lantai, tangannya kuat mencengkeram bahuku.
Lalu, ia bergerak ke belakangku, memegang kedua tanganku dengan erat, seperti mengikat seorang tawanan. Aku merasa tak berdaya, seperti penutup yang dikurung di rumahnya sendiri, dihadapkan pada istri yang tak lagi menganggapku.“Ayo, ucapkan talak tiga kali,” kata Habib, suaranya tegas, penuh tekanan, seperti tak memberi pilihan. Aku menunduk, air mata masih mengalir, ingus menetes ke daguku, tapi Habib tak membiarkanku bersembunyi.
Dengan gerakan kasar, ia menjambak rambutku, menarik kepalaku agar mendongak dan menatap Fitri. Sakit di kulit kepalaku tak sebanding dengan luka di hati, tapi aku tak bisa melawan, tubuhku lemas, seperti mayat hidup. Aku menatap Fitri, matanya dingin, seperti es yang membekukan sisa harapanku. Ia tak berkata apa-apa, hanya menatapku dengan tatapan yang seolah berkata, “Selesaikan ini, Ardi, aku sudah tak ingin bersamamu.”Aku sesenggukan lagi, mencoba berbicara, tapi kata-kata talak itu seperti batu yang tersangkut di tenggorokanku. Aku teringat delapan tahun pernikahan kami, tawa Fitri di dapur saat kami memasak bersama, dan janji kami untuk membesarkan Fahri.
Kini, semua itu lenyap, digantikan oleh Fitri yang muak dan Habib yang memaksaku seperti algojo. Aku merasa seperti tawanan, tanganku dipegang erat, kepalaku dijambak, dipaksa menghadapi istriku yang tak lagi mencintaiku. “Fitri, tolong…” bisikku, suaraku patah, berharap ia menunjukkan secercah penyesalan, tapi matanya tetap dingin, tak bergeming, seperti menegaskan bahwa hatinya sudah milik Habib.
Habib menjambak rambutku lebih keras, “Ucapkan, Ardi!” bentaknya, suaranya menggema di ruang tamu yang sepi. Aku menangis lebih keras, air mata dan ingus membanjiri wajahku, membuatku tampak semakin kacau. Aku ingin menuruti, ingin mengakhiri penderitaan ini, tapi setiap kali aku mencoba, gambar Fitri yang dulu, yang tersenyum di pelukanku, menghentikanku.
Aku teringat doaku semalam, penuh laknat, dan hujan deras yang seperti menjawab, tapi pagi ini, aku tahu doaku tak mengubah apa pun. Fitri hanya menatapku, matanya penuh ketidaksabaran, seolah aku adalah beban yang ingin ia lepaskan secepatnya.Aku menunduk lagi, meski Habib memaksaku mendongak, dan air mata terus mengalir, membasahi lantai.
Aku merasa seperti pria paling hina, berlutut di depan istriku yang muak, tanganku diikat seperti tawanan, dipaksa mengucapkan kata-kata yang akan menghancurkan hidupku. Aku teringat mertuaku, yang pergi dengan Fahri, mungkin untuk melindunginya dari penderitaan ini.
Aku merasa bersalah, tak bisa menjadi ayah yang kuat untuk Fahri, tak bisa mempertahankan Fitri. Aku ingin bertanya lagi, “Kenapa kamu muak padaku?” tapi suaraku hilang, hanya isak yang keluar, penuh kepedihan yang tak terucapkan.Fitri akhirnya berkata, “Mas, selesaikan sekarang,” suaranya dingin, seperti perintah, bukan permohonan. Ia merangkul lengan Habib, seperti mencari kekuatan dari pria yang kini ia panggil suami.
Aku menatapnya, mencari sisa cinta yang dulu, tapi matanya hanya penuh ketidaksabaran, seperti aku hanyalah rintangan. Aku merasa seperti tahanan, dipaksa oleh Habib, ditolak oleh Fitri, di ruang tamu yang kini jadi saksi kehancuranku. Aku ingin lari, melaju dengan motor entah ke mana, tapi aku tahu aku tak bisa, karena Fahri masih ada, meski keluargaku sudah hancur.
-----------------------------------------------
Habib, yang kehilangan kesabaran, tiba-tiba menempeleng kepalaku dengan keras, tangannya menghantam pipi yang sudah memar dari tamparan semalam. “Ucapkan talak, Ardi!” bentaknya, suaranya menggema, penuh otoritas. Aku tersentak, rasa sakit di wajahku bercampur dengan luka di hati, tapi aku tetap membisu, air mata terus mengalir.
Ia menempelengku lagi, dua, tiga kali, setiap tamparan membuat kepalaku terhuyung, ingus dan air mata semakin berantakan. Aku ingin melawan, menolak, tapi tangannya yang kuat memegangku, dan tatapan dingin Fitri membuatku merasa seperti pria paling hina, tak mampu melindungi harga diriku.Aku sesenggukan, dadaku sesak, tapi tekanan Habib dan tatapan Fitri yang tak sabar akhirnya mematahkan pertahanku.
Dengan suara parau, aku menyerah, berbisik, “Demi Allah, demi Rasulullah, aku talak kamu, Fitri, istriku.” Kata-kata itu keluar perlahan, seperti racun yang mengalir dari mulutku, setiap suku kata menghancurkan delapan tahun pernikahan kami. Aku mengucapkannya sekali, lalu menatap Fitri, berharap ia menunjukkan penyesalan, tapi matanya tetap dingin, seperti menanti kebebasan. Habib menjambak rambutku dengan kasar, memaksa kepalaku mendongak, “Lanjutkan!” bentaknya, dan aku terpaksa menatap mata Fitri yang tak berperasaan.
Aku mengucapkan talak kedua, “Demi Allah, demi Rasulullah, aku talak kamu, Fitri, istriku,” suaraku gemetar, air mata membanjiri wajahku. Aku mampu menatap Fitri, mencari sisa cinta yang dulu, tapi Habib menjambak rambutku lebih keras, memastikan mataku terkunci pada Fitri.
Setiap kata terasa seperti menikam diriku sendiri, tapi aku tak punya pilihan—tamparan Habib dan desakan Fitri membuatku seperti tahanan yang dipaksa menyerah. Aku mengucapkan talak ketiga, “Demi Allah, demi Rasulullah, aku talak kamu, Fitri, istriku,” dan saat kata terakhir keluar, dadaku seperti roboh, seperti kehilangan nyawa yang tersisa.Habib melepaskan tanganku dan rambutku, dan aku jatuh ke lantai begitu saja, tubuhku lemas, wajahku basah oleh air mata dan ingus, pipiku memanas dari tamparan berulang.
Aku terduduk, menatap lantai, berharap Fitri akan mendekat, memelukku, atau setidaknya menunjukkan sedikit penyesalan. Tapi sebaliknya, Fitri tampak girang, wajahnya berseri seperti beban besar telah terangkat. Ia bangkit dari sofa, melangkah cepat menghampiri Habib yang masih berdiri di belakangku, dan memeluknya erat, seperti pasangan yang baru saja merayakan kemenangan. Aku hanya bisa menatap, hancur, melihat istriku—atau mantan istriku—begitu bahagia setelah aku mengucapkan talak.
Fitri dan Habib berciuman, bibir mereka bertemu dengan penuh gairah, tanpa peduli aku masih terduduk di lantai, seperti sampah yang tak dianggap. “Alhamdulillah,” kata mereka berdua, hampir serentak, suara mereka penuh kelegaan, seperti merayakan kebebasan Fitri dari ikatanku.
Aku menatap mereka, air mata masih mengalir, tak percaya bahwa Fitri, yang dulu kucintai di ruang tamu ini, kini berciuman dengan pria lain di depanku. Mereka berciuman lagi, berkali-kali, tangan Fitri melingkar di leher Habib, gamisnya bergoyang pelan, dan Habib membalas dengan penuh kasih sayang, seolah aku tak ada di ruang tamu ini.Aku terduduk, wajahku kacau, pipiku perih dari tamparan, dan hatiku hancur oleh pemandangan itu.
Aku teringat delapan tahun pernikahan kami, tawa Fitri di dapur, dan janji kami untuk membesarkan anak kami. Kini, semua itu lenyap, digantikan oleh Fitri yang girang dan Habib yang menang. Aku merasa seperti pria paling hina, tawanan yang dipaksa menyerahkan istriku, hanya untuk melihat mereka berciuman dan melafalkan syukur.
Aku ingin berteriak, menuntut keadilan, tapi suaraku hilang, hanya isak yang tersisa, membasahi lantai ruang tamu yang kini jadi saksi patah hatiku.Aku teringat mertuaku, yang pergi dengan anakku, mungkin untuk melindunginya dari drama ini. Aku merasa bersalah, tak bisa menjadi ayah yang kuat, tak bisa mempertahankan Fitri.
Pemandangan Fitri dan Habib yang terus berciuman, tanpa peduli keberadaanku, seperti pisau yang menikam berulang-ulang. Aku menunduk, air mata dan ingus menetes ke lantai, dan aku bertanya-tanya, apa dosaku hingga ini terjadi? Aku teringat doaku semalam, penuh laknat, tapi kini, melihat kebahagiaan mereka, aku tahu doaku tak mengubah apa pun.
---------------------
Aku terduduk di lantai, wajahku kacau dengan air mata dan ingus yang masih menetes, pipiku memanas dari tamparan berulang Habib Hamza. Talak tiga yang baru kuucapkan masih bergema di kepalaku, setiap kata seperti pisau yang merobek sisa harga diriku. Fitri, dengan gamis biru muda dan hijab rapi, kini memeluk Habib, pria keturunan Yaman yang berpakaian kemeja putih dan berpeci, wajahnya penuh kemenangan.
Mereka berdiri di depanku, tanpa peduli aku yang terduduk seperti tawanan yang baru saja menyerah, di ruang tamu yang kini terasa seperti penjara.Habib dan Fitri semakin mesra, ciuman mereka semakin intens, penuh gairah yang menyakitkan untuk kusaksikan. Fitri mencium Habib dengan ganas, bibirnya menempel erat, lidahnya bergerak lincah menyedot lidah Habib, seolah ingin menelan seluruh keberadaannya, air liurnya menetes-netes dari sudut bibirnya, berkilau di bawah sinar pagi, menambah kepedihan di dadaku.
Habib membalas dengan penuh semangat, tangannya memeluk pinggang Fitri, wajahnya tampak bangga, seperti pria yang tahu ia telah memenangkan hati seorang wanita yang begitu bergairah.
Ciuman itu, yang tak pernah Fitri berikan padaku dengan intensitas seperti itu, terasa seperti pengkhianatan terakhir, menghantamku lebih keras dari tamparan Habib.Mereka, masih terhanyut dalam kemesraan, bergerak menuju kasur lipat yang belum dilipat di sudut ruang tamu, tempat mertuaku tidur semalam. Fitri, dengan gerakan penuh percaya diri, menindih Habib dari atas, gamisnya tersingkap sedikit, menunjukkan kakinya yang putih. Ia seolah menguasai Habib, tangannya memegang wajah pria itu, matanya penuh gairah saat ia menciumnya lagi, seperti ratu yang mengklaim takhtanya.
Habib tersenyum di bawahnya, membiarkan Fitri memimpin, tangannya mengelus punggungnya dengan penuh kasih sayang. Aku, yang masih terduduk di lantai, hanya bisa menatap, tubuhku terlalu lemas untuk bergerak, seperti mayat hidup yang dipaksa menyaksikan kebahagiaan mereka.Mereka sayang-sayangan sangat lama, Fitri sesekali tertawa kecil, suaranya merdu namun menusuk bagiku, sementara Habib membisikkan kata-kata manis yang tak bisa kudengar.
Aku menatap lantai, air mata masih mengalir, ingus menetes ke daguku, tapi pemandangan mereka di kasur lipat seperti magnet yang memaksaku melihat. Aku harap ini cuma mimpi, berdoa dalam hati agar aku terbangun di sofa tua ini, dengan Fitri masih menjadi istriku, tapi ciuman mereka, tawa Fitri, dan kehangatan yang mereka bagi terus mengkonfirmasi bahwa ini nyata. Aku merasa seperti pria paling hina, ditinggalkan di lantai ruang tamu, sementara mantan istriku menikmati hidup baru di depan mataku.
Aku memegang wajahku, pipiku masih perih dari tamparan Habib, luka di bibirku terasa panas, tapi luka di hati jauh lebih menyakitkan. Aku teringat kata-kata talak yang kuucapkan, dipaksa oleh jambakan Habib dan tatapan dingin Fitri, dan kini, melihat mereka begitu mesra, aku merasa seperti telah kehilangan segalanya. Fitri, yang dulu tersenyum di pelukanku, kini menindih Habib, tertawa, dan menciumnya dengan penuh gairah, seperti aku tak pernah ada.
Aku ingin berteriak, menuntut keadilan, tapi tubuhku lemas, hanya mampu menangis dalam hati, berharap ini semua akan lenyap.Fitri dan Habib terus sayang-sayangan, tak peduli aku yang terduduk beberapa langkah dari mereka. Fitri sesekali melirik ke arahku, tapi matanya kosong, seperti menatap orang asing, sebelum kembali mencium Habib dengan penuh semangat.
Aku teringat doaku semalam, penuh laknat, dan hujan deras yang seperti menjawab, tapi pagi ini, doaku terasa sia-sia. Mereka begitu bahagia, seperti pasangan yang baru memulai hidup, sementara aku hanyalah bayangan yang tak dianggap. Aku harap ini cuma mimpi, tapi setiap ciuman mereka, setiap tawa Fitri, seperti palu yang menghantam kenyataan ke wajahku.
353Please respect copyright.PENANAoEMgdEOJep