Sabtu siang harusnya menjadi hari yang menyenangkan bagi sebagian besar orang, weekend sempurna untuk sekedar melepas penat setelah dihajar rutinitas keseharian yang melelahkan. Tapi itu tidak berlaku padaku, khususnya hari Sabtu ini. Aku merasa cemas, karena ada orang gila yang menerorku dengan ancaman sejak beberapa hari terakhir. Penyesalan selalu datang belakangan, andai saja waktu itu Aku tidak mengikuti nafsuku untuk bercinta dengan Chris mungkin hidupku akan baik-baik saja sampai detik ini.
Aku merasa sangat berdosa ketika melihat Mas Rasyid dan Alaika sedang bersenda gurau di ruang keluarga, suamiku terlihat begitu menikmati momen kebersamaan dengan Alaika, apalagi kelucuan Alaika seperti tak henti mengundang gelak tawa dari Mas Rasyid. Apa jadinya kalau Mas Rasyid pada akhirnya mengetahui dosa besar yang telah Aku perbuat bersama Chris?
Pikiran buruk itu terus menghantui isi kepalaku hingga membuat konsentrasiku berkurang dan moodku berantakan. Tak jarang sikapku yang tak seperti biasanya ini mengundang pertanyaan dari Mas Rasyid, tapi Aku selalu bisa memberikan alasan untuk menghindari kecurigaannya padaku, sebisa mungkin Aku harus menutupi bangkai busuk ini.
Selamat pagi istri orang, tugasmu hari ini adalah datang ke hotel Royal, di kamar 403 ada orang yang telah menunggumu. Bukankah sudah waktunya Kau kembali bercinta ?
Aku terhenyak membaca pesan singkat dari nomor asing yang mengancamku. Kali ini kegilaanya sudah di luar batas, bagaimana mungkin dia bisa menyuruhku untuk datang ke sebuah hotel dan bercinta dengan orang yang tidak Aku kenal? Ini sudah di luar batas, Aku harus berani menolaknya.
Segera aku ketik balasan penolakan dan tentu saja disertai dengan umpatan serta makian, setelah itu Aku matikan ponselku agar orang gila itu tidak bisa menghubungiku lagi. Untuk sesaat Aku bisa tenang, tidak ada lagi rasa was-was akibat pesan perintah serta ancaman dari nomor asing, tapi sepertinya ketenanganku tak bisa bertahan lama ketika ponsel Mas Rasyid berdering. Aku panik, apakah mungkin itu dari si pengancamku?
"Halo?"
Kata Mas Rasyid ketika mengangkat ponselnya, sesorang di balik panggilanku nampak sedang mengucapkan sesuatu. Mas Rasyid melirikku, jantungku langsung seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat.
"Bund, Kamu kemarin terima paketan?" Tanya suamiku beberapa saat kemudian, Aku terkejut dengan pertanyaan itu, tidak mungkin Aku jujur bahwa kemarin Aku menerima paket vibrator dari orang asing.
"Paketan? I..Iya Mas, ada apa?" Jawabku gugup.
"Ini ada kurir dari jasa ekspedisi katanya barang yang Kamu terima kemarin keliru. Dia sudah menghubungi nomor ponselmu, katanya nomormu tidak aktif." Jelas Mas Rasyid, Aku sedikit lega karena ternyata yang menelepon Mas Rasyid bukan orang gila yang Aku maksud.
"Coba deh Kamu ngomong sendiri, lagian darimana juga dia bisa tau nomor telponku?" Kata Mas Rasyid seraya menyerahkan ponselnya padaku.
"Ha..Halo"
"Jangan main-main denganku! Segera berangkat ke hotel Royal atau Aku kirimkan video itu ke suamimu!" Sahut seorang pria dari balik telepon.
"Oh, iya Pak, segera Saya antar ke sana barangnya." Jawabku berpura-pura menjawab pertanyaan dari si orang gila, Mas Rasyid masih berdiri di hadapanku. Segera Aku tutup telponnya lalu kembali menyerahkannya pada suamiku.
"Gimana Bund?" Tanya Mas Rasyid.
"Iya Mas, ternyata barang yang Aku terima kemarin salah. Pantas saja perasaan Aku membeli hijab baru, tapi kenapa yang datang malah baju. Aku harus mengantarkan barangnya kembali ke kantor ekspedisi Mas." Jawabku memberi alasan yang bisa diterima akal sehat suamiku.
"Lalu kenapa kurirnya tau nomor telponku ya Bund?" Tanya Mas Rasyid sekali lagi.
"Oh, itu mungkin karena Aku sering nyantumin nomor Kamu juga di alamat pengiriman Mas." Jawabku kembali beralasan.
Mas Rasyid nampaknya tak begitu puas dengan jawabanku, tapi seperti biasanya suamiku enggan berdebat soal masalah sepele seperti ini. Aku langsung beranjak menuju kamar, mengganti pakaian untuk segera melakukan perintah orang gila yang barusan meneleponku.
Aku tidak mau membuatnya membocorkan skandalku bersama Chris pada Mas Rasyid, apa yang telah dilakukannya dengan menghubungi suamiku sedikit banyak telah mempertebal intimidasinya kepadaku, Aku tidak punya pilihan lain untuk saat ini selain menuruti permintaan gilanya.
"Aku antar ya Bund." Kata Mas Rasyid ketika melihatku keluar dari kamar sambil menenteng sebuah bungkusan dan tas kecil yang biasa Aku bawa ketika bepergian.
"Nggak usah Mas, Aku cuma sebentar kok. Nanti Aku juga mau mampir ke tempat Nurul dulu buat ngambil pesanan hijab. Nggak apa-apa kan Mas? Lagipula kasian Alaika kalo harus ikut, kemarin malam udah jalan-jalan ke mall, takut kecapekan." Kataku beralasan.
Mas Rasyid menerimanya dan mengijinkanku untuk membawa serta mobilnya. Gara-gara 1 orang gila keahlian berbohongku mulai terasah, otakku dipaksa terus menerus untuk mencari alasan yang tidak menimbulkan kecurigaan suamiku.
***
909Please respect copyright.PENANAwQ4anKqRly
Berjalan di selasar hotel dengan mengenakan abaya hitam lengkap dengan hijab gelap cukup membuatku merasa kikuk. Ketika berpapasan dengan beberapa orang di loby hotel perasaanku mengatakan jika mereka sedang menggunjingku, bagaimana mungkin seorang wanita dengan pakaian tertutup begini bisa berada di sebuah hotel yang terkenal sebagai tempat mesum?
Hotel Royal sudah terkenal sebagai hotel dengan durasi check in per jam, biasa digunakan oleh pasangan tidak resmi untuk melepas birahi barang beberapa jam. Aku bisa mengetahuinya karena dulu semasa masa kuliah, ketika Aku masih terjerembab dalam belenggu birahi seringkali datang ke sini bersama pasangan priaku. Itu dulu, dan sekarang Aku mengulanginya kembali bukan karena kehendakku, tapi karena paksaan orang gila brengsek yang terus mengancamku.
Tibalah Aku di depan pintu kamar 403, sejenak Aku menghela nafas panjang sebelum mengetuknya dari luar. Surprise tak mengenakkan terjadi ketika pintu itu terbuka dan sosok Hilman Adiyaksa, pria 32 tahun, salah seorang penghuni kosku sudah berada di hadapanku. Pria itu juga begitu terkejut ketika melihat kehadiranku sudah berdiri di hadapannya.
"Bu..Bu Jehan?" Suara Hilman nampak tercekat, masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Mas Hilman? Kenapa bisa ada di sini?!" Balasku tak kalah terkejut, sesaat Kami berdua hanya saling berdiri mematung dan saling berhadapan.
"Lebih baik masuk dulu Bu, takut nanti kalau ada yang melihat." Ujar Hilman seraya mempersilahkan Aku masuk ke dalam kamar.
Akupun menuruti permintaan Hilman, tubuhku terasa begitu lemas, shock. Kejutan-kejutan dari orang gila yang menerorku seperti tidak ada habisnya, setelah bisa menghubungi suamiku kali ini dia malah mempertemukanku dengan penghuni kosku yang lain.
Orang gila macam apa yang bisa mempermainkan hidupku seperti ini? Hilman lalu duduk di sebuah kursi di ujung ruangan, seperti memberi Aku space yang memilih duduk di tepi ranjang menghadap televisi besar yang tertancap di dinding kamar.
"Sekarang Mas Hilman jelaskan kenapa bisa ada di kamar ini? Apa Mas Hilman orang yang mengirimkan pesan kepadaku beberapa hari ini?" Tanyaku.
Aku arahkan pandanganku pada sosok Hilman. Aku tidak mau gegabah menuduh pria gagah di depanku ini dengan tudingan tanpa bukti, Aku sudah belajar banyak bagaimana emosiku yang membabi buta telah membuat Chris menjadi kambing hitam.
"Pesan? Saya tidak pernah mengirimkan pesan kepada Bu Jehan, justru Saya juga terkejut ketika melihat wanita yang dia maksud adalah Ibu.." Ujar Hilman.
"Dia? Dia siapa?" Cercaku. Hilman menghela nafas panjang sebelum manjawab pertanyaanku.
"Ada seseorang yang menghubungi Saya semalam Bu. Orang itu menyuruh Saya untuk datang ke sini dan menemui seorang wanita. Kalau Saya menolaknya, dia mengancam akan membocorkan skandal keuangan yang sudah Saya lakukan di bank." Ucap Hilman.
Ternyata orang gila yang sudah mengancamku begitu pintar memainkan peran setiap orang yang berhubungan langsung denganku, bahkan dia bisa mengetahui setiap dosa yang telah dilakukan targetnya. Untuk beberapa saat Kami berdua hanya terdiam, kaku dan kikuk, seolah tiap dosa Kami telah ada yang mengetahuinya dan siap mengumbarnya jika Kami berdua tak mau menuruti kemauan dari orang gila itu.
"Lalu, bagaimana dengan Bu Jehan? Kenapa bisa ada di sini?" Tanya Hilman memecah keheningan diantara Kami.
"Kurang lebih sama, Aku ada di sini juga karena diancam oleh seseorang." Jawabku pasrah.
"Kalau boleh tau apa yang sebenarnya telah Ibu lakukan?" Hilman nampak menata intonasi pertanyaannya, seperti tidak mau untuk menyinggung perasaanku.
"Aku tidak bisa mengatakannya kepadamu." Jawabku singkat.
Aku tidak mungkin menceritakan penyebab hingga Aku mau menuruti semua perintah gila dari orang itu, apalagi menceritakannya kepada Hilman, orang yang mengenalku sebagai Ibu Kosnya.
"Baiklah kalau begitu Bu, Saya minta maaf, Saya tidak bermaksud untuk terlalu banyak tau urusan Ibu." Ujar Hilman.
Keheningan kembali tercipta antara Kami berdua, hingga akhirnya ponselku dan ponsel Hilman berbunyi nyaris bersamaan. Sebuah pesan singkat dari sang peneror gila.
Jangan membuang waktu terlalu banyak! Ayo segera bercinta dengan Hilman kalau tidak ingin videomu tersebar luas!
Aku dan Hilman saling bertatapan setelah membaca pesan singkat dari masing-masing ponsel Kami berdua. Tak ada keterkejutan lagi karena pada dasarnya Kami berdua sudah tau jika kedatangan Kami ke sini adalah untuk bercinta. Yang tersisa dari benak Kami berdua adalah perasaan kikuk dan canggung luar biasa ketika dipaksa melakukan sesuatu yang sama sekali tidak Kami inginkan.
"Kita tidak harus melakukan ini Bu, orang gila ini tidak mungkin bisa mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam sini." Ucap Hilman seperti berusaha menenangkan kepanikanku.
Hilman sepertinya belum tau kegilaan macam apa yang dimiliki oleh peneror ini, Aku sudah pernah mengalami fase kepercayaan diri seperti itu hingga akhirnya dipatahkan begitu saja olehnya. Benar saja tak berselang lama ponsel Hilman kembali berbunyi, sebuah pesan lagi masuk. Hilman tercekat, raut wajahnya berubah menjadi ketakutan.
Pria gagah itu lalu meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian berdiri dan melangkah mendekatiku. Aku canggung dan berusaha menggeser tubuhku untuk sedikit menjauh. Hilman menatap wajahku lekat-lekat.
"Maaf Bu, Kita harus melakukannya. Tidak ada jalan lain." Ujarnya menahan getir yang seperti menyesaki tenggorokannya.
909Please respect copyright.PENANA0YcHZ2hA6y
***
AUTHOR POV
Di sebuah ruang kerja, seorang pria nampak memandang sebuah layar monitor 17 inch yang menyala terang di hadapannya dengan sangat serius. Jari tangannya beberapa kali menggesek-gesek pinggir keyboard wireless yang teronggok di pangkuannya, raut wajahnya menggambarkan kegelisahan sekaligus antusiasme layaknya seseorang yang sedang menunggu undian lotre.
Layar monitor di hadapannya tengah menunjukan sebuah video live yang berasal dari kamera tersembunyi di sebuah kamar hotel, matanya yang terlindung kaca mata minus nyaris tak berkedip memandangi monitor itu, melihat seorang pria yang sedari tadi duduk gelisah di tepi ranjang hotel sambil berkali-kali mengganti channel tv. Hilman Adiyaksa, seorang pria berusia 32 tahun, seorang suami setia tapi juga seorang bankir korup.
Pria berpipi tirus dengan headset besar mencengkram kepala itu berdiri. Menghadang semburan udara air conditioner bersuhu 18 derajat celsius dengan wajah. Kepalanya dingin tapi hatinya tidak. Ada api gelisah yang terus menyala di jiwanya. Sudah setengah jam dia terkurung di ruangan itu. Hatinya tetap gerah, tidak seperti peralatan elektronik yang hampir memenuhi tempat itu, adem-adem aja.
Tidak ada musik yang sesuai selera. Telinganya terasa panas. Dia melepas headset. Suara kendaraan yang lalu lalang di jalan raya langsung menyerbu telinga. Bising! Dia semakin gelisah. Ekor matanya melirik ke atas meja yang berantakan, lalu kembali menghela nafas panjang.
Hingga akhirnya beberapa saat kemudian dia kembali melihat ke arah monitor ketika Hilman beranjak dari duduk lalu beranjak menuju pintu kamar hotel. Pria berkacamata itu kembali duduk, bola matanya berbinar seolah sesuatu yang ditunggunya akan segera muncul di monitor.
Ketika pintu di buka oleh Hilman, muncul wanita dengan balutan abaya hitam berbalut hijab gelap, anggun, cantik, dan tentu saja menggairahkan. Pria itu tersenyum puas ketika Jehan mulai masuk ke dalam kamar, langkahnya gemulai tapi tak selaras dengan ekspresi wajahnya yang terlihat canggung dan gelisah. Pria itu kembali tersenyum, sebentar lagi apa yang ingin dilihatnya akan segera terjadi.
"I see You.." Decaknya sembari mengambangkan senyum kemenangan.
909Please respect copyright.PENANAZ2xrTqlPdX
BERSAMBUNG
Cerita ini sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION, untuk 909Please respect copyright.PENANA9wIYpW4xlq
membaca versi lengkapnya silahkan klik LINK di bio profil
ns3.15.197.159da2