
******
Chapter 2 :
Be His Executive Assistant
******
87Please respect copyright.PENANAwtUh6cZV0Z
Violette:
SETELAH mengucapkan kalimat itu, aku langsung pergi dari hadapannya begitu saja.
Aku tak peduli dengan apa pun yang akan dia katakan. Yang jelas, aku benar, 'kan? Dia itu menyebalkan! Dengan ekspresi datarnya itu, dia bisa menghinaku berpuluh-puluh kali hari ini. Dia bahkan tak merasa bersalah dan malah balik menyalahkanku. Apa-apaan? Justin dulu tidak seperti itu!
Aku keluar dari ruangannya, diam-diam ujung mataku melihatnya tengah mengangkat sebelah alis matanya padaku. Well, sialan! Dia masih saja bersikap seperti itu? Okay, mengapa ruangan ini mendadak terasa lebih panas daripada neraka?
Tatkala sudah keluar, aku menutup pintu ruangan itu kuat-kuat. Dalam hati aku puas karena telah menutup pintunya dengan sedemikian keras, soalnya kupikir mungkin dengan begitu dia akan bisa berpikir. Aku pulang ke rumah—tak peduli dia akan menghukumku atau apa—dan tak peduli dengan tatapan orang-orang di sini terhadapku. Keluar dari perusahaan, aku menuju ke tempat parkiran bagi karyawan dan akhirnya menemukan motorku. Bahkan rasanya ketika aku memutar kunci pun, uratku keluar semua. Aku memakai helm dengan tidak santai dan ketika motorku sudah menyala, aku berkendara dengan kencang. Gila! Mengapa tempat kerjaku menjadi tempat yang paling kubenci?
Ketika aku sampai di depan rumah, aku langsung memarkirkan motorku di halaman dan masuk ke dalam rumah dengan langkah yang lebar. Jonathan, Pamanku, memandangiku seraya melongo.
"Kau bolos kerja?" tanyanya. Dia berdiri dari sofa tempat dia biasa menonton televisi.
"Aku kabur," ujarku asal dan aku berjalan dengan mengentakkan kakiku; aku langsung masuk ke dalam kamarku. Dia sepertinya ternganga, tetapi entahlah, aku tak begitu melihatnya. Aku hanya langsung menutup pintu kamarku dan berbaring tengkurap di atas kasurku. Menenggelamkan wajahku di kasur dan berharap bahwa aku takkan bertemu dengan iblis itu lagi.
Tiba-tiba pintu kamarku terbuka.
87Please respect copyright.PENANA8yAs1C8Mw9
"Ceritakan padaku apa yang membuatmu kabur dari tempat kerjamu hari ini."
87Please respect copyright.PENANAvWdK6dn3it
Oke, itu suara Jonathan. Aku mengangkat wajahku dan langsung duduk di pinggir kasur. Dia masih bersandar di kosen pintu, tangannya tengah memegang kenop pintu.
"Aku disuruh pindah jabatan menjadi executive assistant CEO, tetapi CEO itu ternyata adalah Justin."
Nathan mengerutkan dahi; dia tampak heran.
"Justin? I mean—kau yakin? Bagaimana dia bisa menjadi seorang CEO di sana?"
"Hm. Sudahlah, Nathan. Aku pusing."
Nathan menghela napas. "Baiklah, tetapi berjanjilah padaku besok kau akan kembali bekerja. Jika tidak, aku akan menahan makan siangmu."
Mataku terbelalak. Oh please. Makan siang adalah yang terbaik! Aaarrgh! Mengapa Nathan seolah menekanku untuk kembali bertemu dengan pria itu, sih? Sial.
Nathan menutup kembali pintu kamarku dan aku membanting tubuhku ke atas kasur lagi. Ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupku dan kurasa hari ke depan akan jauh lebih buruk.
87Please respect copyright.PENANAiyfL7g6uui
******
87Please respect copyright.PENANAbPAASAGhv6
Well, kurasa aku butuh topeng untuk menutupi wajahku.
Yang benar saja? Aku kemarin telah meninggalkan Justin di ruangannya dengan kata-kata kasar seolah merasa hebat. Jadi, akan kutaruh di mana wajahku kalau aku kembali menemuinya dan meminta pekerjaan padanya? Setelah kupikir-pikir, mana mungkin aku meninggalkan pekerjaanku hanya karena satu pria yang sangat menyebalkan seperti Justin. Banyak yang harus lebih kupedulikan ketimbang pria itu.
Namun, aku malu sekali! Aku yakin pria itu akan mencercaku habis-habisan.
Aku turun dari motorku, lalu masuk ke dalam perusahaan dengan tangan yang gemetar dan dingin. Bibirku kering dan wajahku memanas. Aku sadar kalau aku malu sekali. Aku yakin seyakin-yakinnya kalau pria itu akan menghinaku yang bersikap sok hebat kemarin. Akan tetapi, ya sudahlah. Rileks, Vio. Jika dia menghinamu, kau punya high heels yang siap untuk dilemparkan ke kepalanya.
Aku berlari ke dalam lift dan langsung menuju ke lantai tiga belas. Aku merasa sangat gusar selama berada di dalam lift. Bunyi 'ding' dari lift itu terdengar seperti gong kematian di telingaku.
Aku keluar dari lift dan berjalan dengan pelan menuju ke pintu CEO yang sangat mengesankan itu. Right, mengesankan sekali.
Langkahku terasa berat sekali tatkala berjalan mendekati pintu itu. Ketika aku sampai di sana, tubuhku langsung bergetar. Aku meneguk ludah dan mencoba untuk meredakan gemuruh yang muncul di dadaku. Aku menarik napas dalam dan mengeluarkannya, begitu terus selama beberapa kali. Setelah merasa sudah tenang, aku pun mengepalkan tanganku dan mengangkatnya ke udara, ke depan wajahku.
"Sip," gumamku—menyemangati diriku sendiri—lalu aku mengetuk pintu CEO itu sembari memejamkan mataku karena takut. Aku mengetuknya sebanyak tiga kali.
87Please respect copyright.PENANAU4wgSgMJ1I
"Yes, come in."
87Please respect copyright.PENANAazOHHYfcSJ
Mataku terbelalak. Okay, sekaranglah saatnya.
Aku membuka pintu, menundukkan kepalaku karena malu, lalu menutup pintu itu kembali. Ketika aku berbalik, aku kontan terlompat ke belakang karena melihat bahwa ternyata pria itu sudah berdiri di depanku!
Dia berdiri sejauh dua meter di depanku. Dia menyipitkan matanya; tatapannya terlihat sangat tajam.
Aku meneguk ludahku.
"H—hai," sapaku, lalu aku langsung menyadari bahwa aku terdengar seperti orang tolol. Sialaaaan!!!
"Mengapa kau kembali? Bukankah aku bukan Justin yang kau kenal? Selain itu, kalau aku tidak salah, kau juga berkata seperti ini, 'Dengar, Mr. Sok Mengatur. Kau. Bukan. Justin. Yang kukenal. Titik.'
...Am I right, Nona?"
Aku menggigit bibir bawahku. Matilah aku!
"A—aku... Maaf, aku err—"
"Apakah sopan berkata seperti itu pada atasanmu, Nona?" ujarnya, dia memiringkan kepalanya seraya tersenyum sarkastis. Dia sedang menyindirku.
Aku mendengkus, lalu tanganku terkepal. "Tidak, Sir."
"Well, jika kau mengerti, mengapa kau tidak keluar?"
Dia memancing emosiku lagi, seperti biasanya. "Karena aku membutuhkan pekerjaanku. Ma—maafkan aku."
Dia lantas menatapku dengan tatapan menyelidik.
87Please respect copyright.PENANAe0wrY7Y5hx
"Kau butuh, tetapi kau sendiri yang membuangnya. Bukankah begitu?”
87Please respect copyright.PENANA4eRd47TFUa
Aku menghela napas, membuang segenap amarahku yang sebenarnya menuntut untuk dikeluarkan.
"Aku—ARGH!! BAGAIMANA LAGI CARANYA UNTUK MEMINTA MAAF, HAH?!!" teriakku dan damn! Aku gagal menjaga emosiku. Dia menaikkan sebelah alisnya.
Dia hanya terus diam dan memandangiku, menunggu reaksiku selanjutnya. Oh Tuhan, aku sudah berteriak, tetapi dia tetap tak menggubrisku? Dia benar-benar sialan.
"Okay, katakan padaku bagaimana caranya agar kau memaafkanku. Sudah cukup dengan semua ini," ujarku, mulai aku mulai jemu. Aku menggelengkan kepalaku dan mengedikkan bahu. Dia menaruh kedua tangannya di dalam saku celananya, lalu memandangiku dari atas sampai ke bawah dengan mata yang menyipit. Dia kira aku ini tong sampah, eh? Mengapa dia memperhatikanku seperti itu?
Aku mendengkus, mencoba untuk menahan amarahku.
87Please respect copyright.PENANAMidc2UCZLF
"Kelilingi ruangan ini dengan jalan cepat, tiga kali."
87Please respect copyright.PENANAb5NMW6GpZa
WHAT?
87Please respect copyright.PENANAZxzqeqrrK4
"Hah?"
87Please respect copyright.PENANASlmCp90Qho
Dia memiringkan kepalanya.
"Keluar dari ruanganku dan jangan kembali jika kau menolak."
Oh shit. Ancaman ini lagi.
Aku menghela napas, lalu memejamkan mataku sejenak. Ketika kubuka mataku, aku menggaruk dahiku sembari memutar bola mata, lalu akhirnya aku mengedikkan bahu. Ya sudahlah. Terserah saja.
Aku pun berjalan dengan cepat, mengelilingi ruangan superbesar ini. Dia tersenyum miring dan kembali ke mejanya, berkutat dengan laptopnya lagi.
Aku terus berjalan dengan cepat, tetapi diam-diam aku terkadang berhenti. Dia tidak melihatku, 'kan? Ini kesempatanku untuk bisa beristirahat sebentar.
Huah. Ruangan ini lebar sekali.
"Jangan berhenti, Ms. Morgan," ujar Justin tiba-tiba.
SHIT! Oh, God, tolong aku...
Dia itu punya enam mata, ya? Mengapa dia tahu bahwa aku berhenti, sedangkan matanya tengah fokus ke laptopnya? Oh Tuhanku. Memang susah jika berlawanan dengan iblis.
Aku kembali berjalan dengan cepat dan setelah selesai, aku pun berjalan ke mejaku dengan napas yang terengah-engah. Sial, aku harus rajin-rajin berolahraga setelah ini.
Aku langsung duduk di kursiku. Masih terengah-engah, tiba-tiba aku mendengar Justin bersuara lagi, memecah konsentrasiku saat sedang mengatur pernapasanku.
"Ini." Dia berdiri dari kursinya, menyodorkan sebuah kertas padaku. Aku sedikit menyipitkan mataku tatkala melihat ke kertas itu, lalu aku pun mendongak dan menatap Justin. Aku akhirnya meraih kertas itu.
"Itu adalah seratus peraturan yang kubicarakan kemarin padamu. Bacalah dan patuhi semuanya. Aku hafal semuanya, jadi jangan coba-coba untuk melanggar salah satunya."
APA? DIA HAFAL SEMUA PERATURAN UNTUKKU? PADAHAL, KAN, INI BARU SAJA DIA BUAT?
Wow, give him some applause.
"Wow. Kau...hafal semuanya? Hebat," pujiku, tanpa sadar mulutku menganga. Aku juga menggelengkan kepalaku karena tak menyangka.
"Hmm," dehamnya, lalu dia duduk kembali di kursinya. Ia kemudian kembali fokus pada laptopnya. Mataku mulai menyelisik satu per satu peraturan yang sudah dia buat. Well, tidak memperhatikan kata-kata pembukanya lagi, aku langsung saja pada urutan peraturannya.
87Please respect copyright.PENANAfDnyKSwIZv
1. Sampai di kantor pada pukul 06.30 pagi. Harus lebih dulu sampai daripada CEO yang bersangkutan.
2. Memakai seragam yang rapi dan bersikap disiplin.
3. Tidak merokok.
4. Tidak meminum minuman beralkohol, kecuali dengan izin CEO yang bersangkutan.
5. Menggantikan sebagian pekerjaan para assistant CEO yang bersangkutan untuk mengantarkan berkas-berkas ke direktur dan manager yang berwenang.
6. Harus menghadiri janji temu yang ditentukan oleh CEO yang bersangkutan.
7. Mengiringi CEO yang bersangkutan ke mana pun beliau pergi.
8. Hanya mengerjakan hal-hal yang CEO perintahkan dan tidak melalaikan satu tugas pun yang telah diberikan.
9. Jam makan siang atau jam istirahat kerja ditentukan oleh CEO yang bersangkutan.
10. Berhak memberi saran atau masukan dan perbaikan terhadap apa yang CEO bersangkutan kerjakan.
11. Memiliki tata krama dan solidaritas yang tinggi, terutama kepada CEO yang bersangkutan.
12. Menjaga sikap pada jam kerja maupun di luar jam kerja.
87Please respect copyright.PENANAcPuEkVyB0J
Oh Tuhan—cukup, hentikan ini! Ini ada seratus peraturan dan membacanya sampai dua belas saja sudah membuat kepalaku pusing! Apa-apaan ini? Mengapa tugas executive assistant ini jadi seolah mengorbankan hidup kepadanya? Apakah sedari dulu peraturannya memang seperti ini? Mengapa semua harus dari perintahnya dan dari persetujuannya? Sampai jam makan siang pun harus dia yang menentukan? Ini tidak masuk akal. Mataku memelotot dan aku meremas kertas itu dengan geram.
"Hei!! Mengapa peraturannya tidak masuk akal seperti ini, sih?!! Apa-apaan, aku hanya harus mengerjakan apa yang kau perintahkan—oke, ini bisa kuterima, tetapi soal makan siang dan jam istirahat? Bagaimana jika kau mempersilakanku istirahat ketika hari sudah malam? Aku bisa pingsan!!! Selain itu, aku harus mengikutimu ke mana pun kau pergi? Jangan bilang aku juga harus mengikutimu saat kau sedang pergi karaoke atau semacamnya?!"
Aku menggelengkan kepalaku, kemudian aku mengoceh lagi, "Yang ini juga: 'Tidak merokok'. Kau tahu aku tidak merokok!!! Selain itu, menggantikan sebagian pekerjaan assistant? Mengapa jadi aku yang menggantikan? Apa kerja mereka? Tugasku mengabdi padamu seperti ini sudah sangat berat dan kau membuatnya jadi semakin rumit! Ini namanya bukan executive assistant, tetapi pengawal setia! Kau benar-ben—"
"Ini, tolong antarkan berkas ini kepada manajer perindustrian yang ada di lantai dua belas, oke? Pintu yang paling ujung."
87Please respect copyright.PENANA8sRLVa4H7y
Apa?! Dia tak mendengarkanku?!
87Please respect copyright.PENANArZ9ldXCqiI
"Just—ERGHHH!!!" Aku berteriak. Namun, aku sadar kalau matanya mulai menatapku dengan tatapan yang tajam.
"Fine," ujarku pada akhirnya, setelah mengembuskan napas penuh amarahku berkali-kali dan melepaskan kepalan tanganku. Beribu kata yang keluar dari mulutku hangus begitu saja karena satu kata dari mulutnya. Hebat sekali. Hebat, sampai-sampai aku ingin menendang wajahnya sekarang juga.
Dia meminggirkan sebuah map ke bagian ujung mejanya dan aku pun mulai mengambilnya dengan ekspresi yang ogah-ogahan. Dia bahkan tak menoleh padaku!! Sialan sekali ekspresi datarnya itu. Harus kuapakan biar ekspresi wajahnya tidak datar lagi? Kutampar menggunakan panci? Kuali?
Aku berjalan ke luar dengan kaki yang dientakkan, tetapi aku menutup pintu ruangan itu dengan pelan, setengah mati mencoba untuk menahan emosiku lagi. Oke, aku tahu aku belum bisa menahan emosiku dengan baik karena terkadang emosiku masih keluar juga.
Aku berjalan masuk ke dalam lift dan turun satu lantai. Ketika keluar dari lift, aku mencari ruangan yang paling ujung dan kutemukan plang 'International Industry Manager' di depan pintu ruangan itu. Aku pun mengetuk pintu itu dengan pelan. Setelah dipersilakan masuk, aku langsung merunduk hormat, memberikan map dari Justin itu dengan sopan, lalu aku kembali ke luar. Well, aku bersikap lebih sopan pada para manajer ketimbang pada CEO, padahal CEO adalah jabatan tertinggi di sini. Namun, hey! Salah siapa? Dia menyebalkan.
Ketika aku masuk kembali ke ruangan Justin dan menutup pintunya, aku pun menghela napas lega. Namun, ketika mataku melihat ke arah meja Justin, aku kontan membulatkan mata.
87Please respect copyright.PENANAHEZbdSu8aE
Dia tertidur.
87Please respect copyright.PENANA76KlvSWyft
Aku mendekatinya dengan pelan dan aku sekarang sudah berada di dekat mejanya, berada di sampingnya. Aku masih tercengang; dia tertidur dan kepalanya tertoleh ke samping, kedua tangannya menumpu kepalanya.
Dia terlihat sangat...polos.
Aku memiringkan kepalaku tatkala memperhatikan wajahnya. Wajahnya jadi seperti wajah bayi. Well, tetapi wajah ini tampak begitu menyebalkan ketika terbangun. Dia sangat imut ketika tidur; dia menggemaskan. Aku tak menyangka dia sekejam itu ketika dia terbangun. Aku lebih suka wajahnya ketika dia tertidur. Tertidurlah selamanya, kalau begitu.
Ups.
Aku tahu itu jahat. Namun, percayalah, aku tersenyum lembut ketika aku melihat wajahnya. Dia tampak begitu lucu, damai, dan tenang. Ah...andaikan dia seperti Justin yang dulu.
Aku menggeleng dan kembali ke mejaku. Lanjut membaca peraturan itu—kesal sendiri sementara yang memberikan peraturan sedang tertidur—lalu akhirnya mataku terasa berat dan aku ikut tertidur.
87Please respect copyright.PENANAxQjW2I5CBc
******
87Please respect copyright.PENANAlb65EByvvY
Aku tersentak, tubuhku ikut merespons rasa sakit. Ada sebuah impuls yang diberikan secara tiba-tiba saat ini; seseorang sepertinya baru saja menjentik kepalaku. Aku sontak terbangun, duduk tegap, dan menggeleng-gelengkan kepalaku agar aku benar-benar terbangun. Mataku sekarang telah terbuka sempurna. Ketika aku mendongak, mataku terbelalak dan aku nyaris salto ke belakang bersamaan dengan kursiku. Hampir, oh Tuhanku.
Ini yang sukses membuatku emosi seketika. JUSTIN! Ya, Justinlah yang membangunkanku. Hell! Tidak ada cara lainkah selain menjentik kepalaku? Shit.
"JUSTIN!!! JANGAN MENJITAK KEPALA ORANG LAIN SESUKA HATIMU!!" teriakku sembari mengusap bagian kepalaku yang terasa sakit. Dia hanya menaikkan sebelah alisnya dan mengedikkan bahunya samar. Aku menggeletukkan gigiku dan menatapnya dengan tajam.
"Well, lihat peraturan nomor 86. Tidak boleh tidur sebelum CEO yang bersangkutan memberikan jam istirahat."
Aku berdecak, lalu mendengkus tak keruan. Dia hanya terus menatapku dengan tatapan dinginnya.
"Ya, tetapi jangan menjitak kepala—"
"Ikut aku ke rumahku. Ini sudah senja dan sebaiknya kita selesaikan beberapa berkas lagi di rumahku."
Hah? Mimpi buruk lagi. Ke rumahnya. "Ke—ke rumahmu?"
"Hm." Dia berdeham singkat, lalu berbalik—mengambil beberapa map dari atas mejanya—lalu memberikan map-map itu padaku.
"Bawakan ini, ya?" ujarnya, lalu dia berbalik dan berjalan ke luar begitu saja. Aku tercengang, lalu aku langsung mengejarnya dengan terbirit-birit.
"Tunggu aku!!!!" teriakku. Aku berlari mengejarnya hingga ke mobilnya yang terparkir rapi di tempat parkiran khusus VIP.
Saat aku masuk ke dalam mobilnya, wow, Bugatti merah miliknya sangat keren dan sangat cepat. Aku merasa sangat nyaman dan terkadang dia meledekku karena aku bertingkah seperti tidak pernah naik mobil.
87Please respect copyright.PENANACmZWkBbcie
******
87Please respect copyright.PENANAqtowy61XQ1
Author:
Violette hanya mengikuti langkah kaki Justin. Mereka masuk ke dalam sebuah gedung apartemen dan naik lift sampai ke lantai 23. Gedung apartemen itu luar biasa megah. Violette sudah biasa melihat yang seperti itu, apalagi mengingat dia dulunya sering melakukan aksi pencurian bersama Red Lion di gedung-gedung besar seperti itu. Namun, Violette tetap tidak bisa menjaga pandangannya; ia memutar pandangannya ke sekeliling seperti tengah memantau. Dia sampai beberapa kali tertinggal oleh Justin.
Ketika sampai di depan unit apartemen milik Justin, Justin mulai menekan nomor password-nya. Violette hanya diam ketika melihatnya. Tepat ketika mereka masuk, Violette langsung memperhatikan isi apartemen Justin. Wow, ini super elegan.
Tidak jauh berbeda dengan apartemen Justin sewaktu tinggal di Paris dahulu, hanya ini dominan berwarna abu-abu kehitaman. Kesan yang gelap dan elegannya membuat Violette meneguk ludahnya. Ada beberapa hiasan klasik di dinding-dindingnya dan ada juga lukisan-lukisan karya Michelangelo di sana. Banyak lampu kristal kecil yang tergantung di sudut ruangan dan sepertinya ketika malam di sana akan terlihat sangat...romantis. Namun, sebenarnya ruangan itu tak terlalu gelap. Itu cukup manis.
Justin mengajak Violette masuk dan melewati sebuah lorong, kemudian mereka tiba di sebuah ruang tamu. Ada empat buah sofa yang berhadapan, dua sofa besar dan dua sofa kecil. Di tengah-tengah sofa-sofa itu ada sebuah meja yang terbuat dari batu pualam. Di depannya ada sebuah televisi.
"Duduk di sini. Aku akan mengambilkan minuman untukmu." Justin berkata dengan santai dan Violette hanya bisa mengangguk. Justin pergi ke meja dapur dan mengambilkan satu botol besar Sprite, lalu mengambil dua buah gelas tangkai. Toleransi Violette terhadap alkohol sangatlah buruk, jadi Justin takkan memberikannya wine atau sejenisnya. Pria itu lalu mengambil puding yang ada di dalam kulkas dan menempatkannya di dalam dua buah piring kecil, lalu dia ke luar. Dia mengantarkan itu pada Violette dan Violette tersenyum.
"Thanks," ujar Violette. Justin ikut duduk di sebelah Violette dan menuangkan Sprite ke dalam gelasnya. Setelah itu, Justin meminum minuman tersebut dan menaruh kembali gelasnya ke atas meja. Violette menaruh map-map itu di sebelahnya.
"Mana berkas yang kusuruh agar kau bawa tadi? Ayo kita kerjakan. Bantu aku mencari berkas-berkas mana yang harus kutandatangani," kata Justin. Violette mengangguk, lalu mulai membolak-balikkan kertas itu dan Justin menghidupkan rokoknya. Ketika suara korek api itu terdengar di telinga Violette, Violette langsung menatap Justin dengan tatapan tajam.
"Aku tak suka melihatmu merokok."
"Sudah kau cari?" tanya Justin. Violette memutar bola matanya, Justin sama sekali tak menghiraukannya. Asap sudah mengepul di sekeliling mereka dan Violette terbatuk-batuk. Justin memperhatikan berkas-berkas yang baru saja diberikan oleh Violette, lalu tak lama kemudian dia mengambil sebuah pena di dalam jasnya dan mulai menandatangani berkas itu satu per satu. Violette hanya memperhatikannya dalam diam.
Justin terlihat seperti CEO yang…red flag. A bad guy. Akan tetapi...mengapa dia kelihatan keren ketika sedang merokok seperti itu? Terutama ketika dia mengembuskan napas berasapnya ke udara. Oh shit! Violette menggeleng. Bagaimana mungkin dia suka melihat orang merokok? Tidak!!
"Sudah," kata Justin tiba-tiba. "Ada lagi?"
Violette mengerjap, dia langsung mencari-cari berkas yang mungkin saja tersisa, tetapi ternyata semuanya sudah Justin tandatangani. "Sudah habis, Sir."
Justin mengangguk. "Okay. Makan pudingmu dan minumlah."
Violette mengangguk dan menghela napas, kemudian menuangkan Sprite ke dalam gelasnya. Violette meneguknya dengan cepat, dia bahkan tak menyangka kalau dia ternyata sehaus itu. Justin menyipitkan matanya, dia memperhatikan Violette dengan saksama.
"Selain cerewet, kau serampangan," komentar Justin seenaknya. Violette kontan tersedak, dia langsung melepaskan minumannya dan terbatuk-batuk. Batuk itu tak kunjung berhenti, malah jadi semakin kuat karena minuman yang diminum Violette tadi adalah minuman bersoda. Justin hanya memandangi semua reaksi Violette itu dengan ekspresi datarnya. Sialan! Dia tak ada niat sama sekali untuk menolong Violette!
Setelah batuknya mereda, Violette serta-merta menatap Justin dengan tatapan tajam. "JANGAN BERBICARA PADAKU KETIKA AKU SEDANG MINUM!!!"
Justin hanya menaikkan sebelah alisnya. "Itu salahmu."
"Kau—" geram Violette, tetapi Justin hanya mengisap kembali rokoknya dan menyandarkan tubuhnya di sofa.
Violette menghela napas; dia merasa capek sekali hari ini. Marah-marah seharian, makan hati seharian, oh. Semua hal itu membuatnya benar-benar pusing.
Hening selama beberapa saat setelah sebelumnya Violette ikut menyandarkan tubuhnya di sofa. Tadi Violette sudah menyusun berkas-berkas itu kembali ke dalam map, sebelum dia bersandar pada sofa.
Hanya suara isapan rokok yang ada. Justin terus mengembuskan napas berasapnya ke udara dan asap itu mengepul di sekitar mereka.
"Justin," panggil Violette. Justin hanya menoleh padanya. "sejak kapan kau menjadi seorang CEO? Bagaimana ceritanya?" tanya Violette. Seharusnya hal ini dia tanyakan ketika pertama kali dia bertemu dengan Justin kembali. Namun, karena saat itu Justin sangat menyebalkan, dia baru bisa menanyakannya saat mereka tengah duduk dengan tenang seperti ini.
"Perusahaan itu milik Pamanku yang ada di sini. Aku menemukan Pamanku tiga tahun yang lalu. Dia sudah pensiun, jadi dia menyerahkan semuanya kepadaku. Aku baru satu tahun menjabat sebagai CEO di perusahaan itu."
Mata Violette terbelalak, ia menoleh dengan antusias ke arah Justin. "Wah? Jadi, selama tiga tahun itu kau tinggal bersama pamanmu, ya? Kalau begitu kita sama," ujar Violette.
"Aku tak mau disamakan denganmu," ujar Justin acuh tak acuh seraya mengisap rokoknya. Mata Violette menyipit dan tatapannya pada Justin jadi setajam silet. Sialan lelaki ini, pikirnya.
"Well, kau selalu sombong. Tidak seperti Justin yang dulu."
Justin berdecak, dia tiba-tiba menegapkan tubuhnya dan menatap Violette dengan tajam. "Berhentilah membandingkanku dan berbicara bahwa aku bukan Justin yang dulu, Violette. Dengar, betapa pun buruknya aku, aku tak melupakanmu dan semua hal yang sudah terjadi di masa lalu. Dengar itu." Dia mendengkus. "Lebih baik kau jauh dariku jika kau terus membicarakan masa lalu di depanku. Aku tak menyukainya," ujar Justin dengan nada tajam.
Kedua mata Violette membeliat kaget; dia menganga tak percaya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Justin? Dia tak suka membahas masa lalu... Apa yang membuatnya jadi seperti ini? Bukankah semuanya berakhir dengan baik di masa lalu? Violette meneguk ludahnya.
Justin mematikan rokoknya di asbak dan membuang puntungnya di sana, lalu pria itu berdiri.
"Tugasmu sudah selesai. Kau boleh pulang," ujarnya, lalu dia pergi begitu saja menuju ke ruangan lain, meninggalkan Violette yang masih tercengang di ruang tamu. Violette sontak berdiri dan tatapan Violette tampak seperti ingin meminta penjelasan dari Justin.
"Justin!" teriak Violette, tetapi Justin tak tampak lagi di mata gadis itu. Violette memejamkan matanya kuat-kuat karena kesal sekaligus tak mengerti. Ini seratus persen berbeda! Dia bukan Justin yang dulu! Diam-diam Violette merasa sedih, dia kehilangan temannya yang dulunya selalu berdua dengannya sebagai rekan kerja. Dia sejujurnya merindukan Justin, tetapi Justin kini sudah berubah. Justin yang sekarang juga tak mau diingatkan dengan masa lalunya lagi. Bagaimana mungkin Justin bisa mengingat bagaimana kebahagiaan mereka dahulu bersama Red Lion dan juga Hillda jika Justin seperti itu?
Violette mengembuskan napasnya kasar, kemudian dia melangkah pergi keluar dari apartemen Justin dan menutup pintunya. Memejamkan matanya karena merasa kalut, Violette akhirnya pergi ke lift untuk turun ke lantai bawah.
87Please respect copyright.PENANAwI6JB8x6Z0
******
87Please respect copyright.PENANA8Xf5SxK8J5
Keesokan harinya, Violette kembali bekerja dan gadis itu tak menemukan Justin di dalam ruangannya. Well, Violette hanya mengedikkan bahu karena memang seperti itu peraturannya, 'kan? Dia harus datang lebih awal daripada Justin. Violette jadi lebih tenang juga karena tidak harus menerima kemarahan si Iblis itu nantinya.
Namun, Violette masih heran dengan kejadian semalam.
Dia masih kepikiran dengan masalah semalam dan ingin rasanya Violette memarahi Justin yang memutuskan untuk melupakan masa lalunya. Masa lalu itu boleh dilupakan, tetapi tidak secara total! Ambil hikmahnya saja, itu lebih baik daripada melupakannya secara total dan menganggap semua itu seperti mimpi buruk yang tak berujung. Justin harus menerima semua yang terjadi dengan ikhlas.
Setelah beberapa jam menunggu, ternyata Justin tak kunjung datang. Violette menunggu Justin dengan gusar. Ketika akhirnya gadis itu menyadari bahwa Justin sepertinya tak datang ke kantor hari ini, Violette jadi cemas. Well, tak mungkin seorang pria yang menegakkan disiplin sampai seperti itu bisa datang terlambat. Jadi, kemungkinan besar Justin tak datang hari ini. Violette mengedikkan bahu, lalu gadis itu menghela napas. Mungkin mengobrol dengan Megan akan membuatnya merasa lebih baik. Lagi pula, Justin tidak datang hari ini.
Violette masuk ke dalam lift dan turun ke lantai dua, lalu ia pergi ke ruangan marketing. Dia masuk ke dalam ruangan marketing itu dan disambut dengan tatapan aneh, heran, serta kagum dari semua orang. Violette mengernyitkan dahinya tatkala merasakan tatapan orang-orang itu terhadapnya. Agak risi, sih, tetapi begitulah tatapan orang-orang kepadanya saat ini. Violette merunduk karena mendadak dia merasa malu. Tak lama kemudian, dia mendengar suara teriakan seseorang yang familier. Suara itu terdengar mulai mendekat ke arahnya.
"VIOLETTE!!! AH, AKHIRNYA AKU BERTEMU DENGANMU!!!!"
Ah...itu Megan. Violette mengangkat wajahnya dan tersenyum semringah. Megan langsung menghambur ke dalam pelukan Violette dan Violette balas memeluknya sembari tertawa. Setelah itu, Megan menarik Violette untuk berjalan ke dekat meja kerja gadis itu dan mengambilkan satu kursi untuk Violette agar Violette bisa duduk di sebelahnya. Entah kursi siapa yang Megan ambil, yang jelas pemiliknya di sebelah sana sedang mengoceh karena kesal. Violette ternganga saat mendengarkan ocehan orang itu, tetapi Megan kembali menyadarkannya, mengguncang lengannya, lalu mengajaknya duduk. Akhirnya, Violette pun duduk di kursi itu.
Megan mulai menatap Violette dengan tatapan yang sangat antusias. Seribu kali lipat lebih antusias dari biasanya.
"Violette! Demi Tuhan... Bagaimana harimu? Aku baru dua hari tak melihatmu dan itu terasa seperti satu tahun... Apa yang terjadi? Wah... Terakhir kali aku melihatmu, kau diseret oleh seorang pemuda tampan! Terakhir kali juga, kuketahui bahwa ternyata dia itu adalah CEO kita. CEO kita!! Ya Tuhan...!"
Violette hanya terkekeh dengan canggung, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Megan mencolek pinggang Violette dan gadis itu sontak terkesiap karenanya. "Hei... Ayolah... Ceritakan. Dia itu benar-benar tampan!! Aku sampai tak bisa bernapas dengan baik waktu itu!" kata Megan, ia bercerita dengan mata yang melebar dan mulut yang menganga. "Aku tak habis pikir jika aku jadi kau. MUNGKIN AKU AKAN KEJANG-KEJANG DI TEMPAT!!!!!" teriak Megan hingga seluruh mata mulai tertuju pada mereka berdua.
Violette meringis, ia panik dan mengisyaratkan 'jangan-keras-keras' pada Megan lewat mimik wajahnya. Megan pun menganga lagi, membentuk mulutnya seperti 'O' besar, dan bertingkah seolah-olah dia terkejut bak orang tolol. Violette memutar bola matanya dan menggeleng-geleng melihat Megan. Namun, Megan hanya tertawa.
"Namun, demi Tuhan... Rambut spike keemasannya, tubuh berototnya, pakaian rapinya, aroma maskulinnya, wajah tirusnya, ekspresi bekunya, gerakan tubuhnya..." Violette menutup paksa mulut Megan dengan telapak tangannya.
"Sudah, Meg, sudah. Jangan berlebihan," ujar Violette, dia langsung mencoba untuk menenangkan Megan. Megan mulai memegangi tangan Violette yang tengah menutup mulutnya itu; Megan menggeliat tak keruan. Akhirnya, Violette melepaskan tangannya dari mulut Megan.
"HAHAHA. Well, kau mungkin biasa saja karena kau sudah sering melihatnya, Violette. Nah, KALAU AKU? AKU BARU MELIHATNYA SEKALI DAN KURASA ADA YANG BERBEDA DI SINI," ujarnya, dia menunjuk tepat ke arah hatinya. Rasanya Violette mau muntah. Megan sontak tertawa kencang.
"Oke, bercanda. TAPI SERIUS, AKU KAGUM PADANYA!!! APA YANG KALIAN LAKUKAN KEMARIN? APA SAJA? APA, VIO? AYO CERITA!!! AHH, AKU BEGITU SEMANGAT UNTUK MENDENGARNYA!!!"
Violette meringis lagi, mulai menyerah dengan sikap Megan yang superhisteris dan juga hyperactive. Ergh…apakah ada tissue di sini? Violette membutuhkannya untuk menyumpal mulut Megan.
"Tidak melakukan apa pun, Megan. Aku justru selalu bertengkar dengannya."
Megan mengernyitkan dahi, ekspresinya kelihatan agak terkejut karena Violette ternyata menceritakan hal yang tak ia harapkan. Kenyataannya justru berbanding terbalik dengan harapannya.
"Mengapa?" tanyanya dengan nada kecewa.
"Entahlah... Dia tak suka jika aku mengungkit masa lalu dan ya...begitulah. Dia selalu membuatku kesal dan kami selalu beradu mulut," ujar Violette sembari mengedikkan bahu.
Megan ternganga, dia semakin mendekati Violette.
Ia heran sekaligus antusias.
"Wah, mengapa seperti itu, ya? Sepertinya, hubunganmu dengannya tidak berjalan dengan baik," kata Megan. Violette mengangguk.
"Ya, begitulah. Dia menyebalkan dan...kami tak pernah akur."
Megan mengusap punggung Violette. "Bersabarlah... Mungkin nanti seiring dengan berjalannya waktu kau akan terbiasa dan tidak bertengkar lagi," ujarnya. Dia mencoba untuk menenangkan Violette. Violette pun menghela napasnya.
"Ya... Mudah-mudahan seperti itu."
Megan mengangguk dan Violette akhirnya tersenyum padanya.
87Please respect copyright.PENANAB3QmY2btnE
******
87Please respect copyright.PENANAfBvLkhXyzi
Keesokan harinya, Violette pergi lagi ke kantor dan masuk ke ruangan Justin. Dia menunggu hingga beberapa jam lamanya dan Justin tetap tak kunjung datang. Ada apa sebenarnya dengan pria itu? Kemarin Violette tak terlalu memedulikan apa yang terjadi padanya. Namun, jika sudah dua hari? Tidak mungkin orang disiplin seperti itu jadi lalai, apalagi ini sudah dua hari! Violette menggigit kukunya, dia mulai merasa panik. Ada apa dengan Justin?
Violette keluar dari ruangan CEO itu, masuk ke dalam lift, turun ke lantai dua belas, lalu mencari ruangan salah satu manajer dan mengetuk pintu ruangan manager itu dengan pelan. Dia harus tahu apa yang terjadi pada Justin! Dia executive assistant-nya Justin, bagaimanapun juga. Jika Justin membutuhkan bantuannya dalam hal pekerjaan, sudah seharusnya, 'kan, Violette membantunya? Jadi, dia harus tahu keadaan Justin. Mengapa Justin tak mengatakan apa pun?
Setelah ada perintah berupa: 'Masuk' dari manajer personalia itu, Violette masuk ke dalam ruangan dan merunduk hormat. Setelah itu, Violette mulai bertanya dengan sopan soal apakah manajer itu tahu tentang apa yang telah terjadi pada Justin.
Huh, Violette benar-benar harus berani menanyakan hal semacam ini kepada orang lain, padahal executive assistant seharusnya lebih tahu soal Justin! Violette akan dicap sebagai executive assistant yang abal-abal kalau begini! Lagi pula, Justin ke mana, sih? Dia bahkan tak memberikan kabar apa pun pada Violette.
"Apa? Sakit?!" teriak Violette tak percaya setelah mendengar penjelasan dari manajer personalia itu.
Well, Justin ternyata bisa sakit juga. []
87Please respect copyright.PENANACFxa3OmYin