Aku duduk, dan memulai rapat pada pagi hari ini. Seperti biasa aku memberikan arahan pada timku tentang proyek yang telah kumenangkan. Sandra nampak murung, pikirannya melayang tidak memperhatikan apa yang ku ucapkan. Aku menghentikan semua penjelasan ku, aku lalu duduk dan mengambil sebatang kretek dari mejaku, lalu ku seruput secangkir teh dan berkata "temanku pernah bilang bahwa secangkir teh menyelesaikan sejuta masalah, nampaknya kalian harus meminum secangkir teh juga pagi hari ini". Semua diam dengan apa yang kututurkan, Sandra mulai kembali tersadar. Wanita itu sebenarnya sedang dalam keadaan rumit, orang tuanya bercerai 1 tahun lalu, ibunya menikah lagi, dan ayah tirinya sering melakukan kekerasan fisik padanya, dia bukanlah perokok, namun terkadang aku heran kenapa tangannya terdapat beberapa bekas sundutan, apakah karena disundut ayah nya atau memang dia perokok yang senang memutar rokok ditangannya. Sandra mestinya bisa melawan, namun Sandra bukan tipikal pribadi yang melawan, hanya patuh dan memendam deritanya, hingga senyumnya tak pernah terlihat. Wanita itu bekerja padaku karena dulu dia pernah bekerja untuk ibuku, tapi dari segi kualitas, dia bekerja dengan baik walau dalam tekanan, ironisnya itu bukanlah tekanan dariku.
Ku sudahi rapatku di pagi hari ini.
Ku duduk sambil membaca koran hari ini, hangatnya berita tentang aksi demo besar-besaran yang menuntut untuk pelaku pelecehan agama dipenjarakan. Aku tidak memihak pada siapapun, karena aku sedikit bias terhadap apa yang terjadi, tapi aku berharap semoga Tuhan mengganjar yang salah dengan sepantasnya, termasuk yang memperalat kegiatan demo tersebut demi kepentingan diluar yang Haq. Namun suara ketukan mengusik ku.
"Pak ini" Sandra menyerahkan map berwarna coklat. Ku buka map tersebut dan membaca kertas didalamnya.
"Kamu yakin?" Tanyaku memastikan keputusannya
Dia hanya diam,
"Baiklah, temui bu Sus, ambil pesangonmu"
Bukan salam perpisahan yang dia ucapkan, hanya saja sebuah pernyataan yang sedikit membuat ku terkejut
"Pak boleh saya meminta sesuatu?"
"Apa?"
"Sepertinya saya akan mati sebentar lagi... Jika saya mati, tolong biayai pemakaman saya dengan pesangon tersebut..." ucapnya lirih
Aku hanya diam sejenak, dan menyuruh nya duduk sebentar.
"Kamu ini bukan Tuhan, jangan bicara seolah kamu sendiri yang menentukan kematian mu, dan aku ini bukan keluargamu, jangan minta yang aneh-aneh padaku"
Dia nampak menangis, walau sedikit tertahan. Ruangan menjadi sunyi sejenak, aku pun bingung apa yang harus kulakukan.
"Pulanglah" ucapku pelan.
Dia beranjak tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sepanjang hari pikiranku hanya mengingat Sandra, wanita yang barusan mengundurkan diri untuk bekerja padaku. Sandra memang Cantik, namun bagiku dia hanya objek seksual semata, karena rasa tertarik atau cinta sedikit pun tidak ada, bahkan benihnya sekalipun. Tapi bukan itu yang memenuhi pikiran ku, melainkan apa yang menimpa dirinya. Umurnya masih muda, namun kenapa seolah apa yang dimiliki nya hilang, seolah-olah dirampas. Aku terkadang takut apa yang kumiliki hilang seketika, padahal aku tidak takut pada apa yang hilang, tapi rasa memiliki yang menggerogoti diriku itulah yang membuat kecamuk dalam pikiranku.
___
Jam menunjukkan pukul 5.13. CR-V itu berhenti didepanku, kaca mobil itu turun, wanita bertubuh mungil dengan senyum khasnya itu berkata "mas, buru!! Aku sudah lapar"
Aku masuk kedalam, dan membiarkan dia menyetir mobil tersebut, lagu patience-Gun n Roses mengalun dengan halus disepanjang perjalanan.
"Dian, bagaimana jika kita ke Rumah makan padang saja?"
Wanita itu tertawa dan berkata "perutmu itu sudah mulai buncit dengan daging rendang, masa Padang lagi hari ini?"
"Memang beberapa hari ini aku makan masakan padang, tapi entah mengapa aku ingin ke Warung itu lagi"
"Yaudah, yok Padang aja lah"
Kamipun tiba, aku segera turun dan memesan, sementara Dian memarkir mobil
"aku pakai Gulai Usus itu Uda", padahal aku sedikit jijik makan jeroan sapi, terutama ususnya, namun entah hari ini aku menginginkan nya.
Dian pun memesan makanan,
lalu Dian memberi tahu padaku bahwa ketika dia memarkir mobil, di ujung jalan ada seorang perempuan yang baru saja jadi korban perampokan, dan naasnya perempuan tersebut mati kehabisan darah karena ditusuk diperutnya.
Aku sedikit tidak peduli. Aku selesai lebih dahulu dari Dian. Aku ingin menyalakan kretek 234 yang sudah kulemaskan, namun baru saja ada seorang ibu dengan anak kecil yang juga makan ditempat. Akhirnya aku pergi keluar untuk merokok.
Aku menghembuskan asap yang kuisap, lalu pandangan ku tertuju pada apa yang Dian ceritakan barusan dan bertanya-tanya
"Kenapa hanya dirubungi saja?"
Aku kali ini sedikit penasaran dengan korban perampokan di ujung jalan tersebut. Aku coba memecah kerumunan, perempuan tersebut terbaring kaku, darah menggenang disekelilingnya, usus terburai dari perutnya dan seketika aku ingin muntah mengingat apa yang kumakan barusan.
Aku merasa kenal dengan wajah tersebut namun aku ragu, ku coba melihat sekali lagi tanpa melihat usus yang terburai, aku amati, walau wajahnya terdapat pasir dan darah yang tercampur, dan aku kaget bukan kepalang!
Aku langsung mengambil handphone ku dan langsung menelpon bu Sus.
"Bu, tolong siapkan pemakaman, segera"
"Siapa yang meninggal pak?"
"..." Handphone ku mati karena baterainya telah habis.
Malam semakin pekat, Dian kembali kerumahnya, dan aku hanya berbaring sambil merenung di kamar, dan lambat laun terlelap dalam lamunan yang muram.
447Please respect copyright.PENANAjgb8vnvk1o
ns18.191.136.109da2