
Ubay terbaring di atas tempat tidurnya, sebuah kasur sederhana yang sudah sedikit menurun di tengahnya, menandakan seringnya digunakan. Hari ini, seperti kebanyakan hari libur lainnya, dia merasa malas untuk bangkit. Matanya menatap langit-langit kamar yang hanya diterangi cahaya matahari yang masuk melalui jendela kecil di sisi kanan kamar.
Kamar kos yang ditempati Ubay memang minimalis, hanya ada sebuah meja kerja di sudut, lemari kecil, dan rak buku yang penuh dengan dokumen kerja dan buku hukum yang baru ia beli. Tapi meskipun ruangannya terbatas, kamar ini terasa nyaman dan memberi kesan tenang.
Di sudut lain, sebuah kursi plastik hitam yang sederhana tergeletak, seolah menunggu untuk digunakan, namun hari ini sepertinya hanya akan menjadi penUbayt dari hari libur yang malas ini. Pakaian kerja yang baru saja dikenakan tadi pagi terlipat rapi di atas meja, menunggu untuk dipakai lagi esok. Di sisi jendela, sebuah tanaman hias kecil menambah kesan hidup di dalam kamar, memberi sentuhan hijau yang menenangkan.
Ubay menghela napas panjang, merasakan kelembutan bantal yang mendukung kepalanya. Kamar ini setiap sudutnya memberi rasa nyaman yang membuatnya merasa lebih tenang setelah seminggu penuh dengan rutinitas baru di kantor hukum yang menuntut banyak energi dan perhatian. Hari ini, di tengah kemalasan, ia memutuskan untuk menikmati sedikit waktu untuk diri sendiri.
Ubay, seorang fresh graduate yang bekerja di sebuah Law Firm di daerah Kuningan. Ada rasa syukur di hati Ubay ketika bekerja di tempat elit, megah, dan mewah. Tapi pekerjaan yang ia lakoni menguras emosi dan tenaga yang begitu besar. Bayangkan saja, dia harus masuk kantor jam 9 pagi dan pulang paling cepat pukul 22.30 malam. Tapi Ubay menyugesti dirinya untuk tetap kuat dan bertahan, daripada nganggur, pikirnya. Ubay sendiri baru berstatus sebagai OJT atau Trainee selama tiga bulan, jika kinerjanya baik dia akan mendapat titel sebagai Junior Associate.
Beban pekerjaan Ubay makin terasa berat karena tekanan berlebih dari supervisornya. Adalah Hanna Oktavia Kusumawardhani, Mbak Hanna begitu Ubay memanggilnya, merupakan seorang Senior Associate yang menjadi supervisor dari Ubay di kantor. Di balik wajah ayu dan jilbab yang dikenakannya, harus diakui bahwa Hanna adalah salah satu orang yang intimidatif di tempat kerja. Meskipun dulu mereka satu almamater saat masih berstatus sebagai mahasiswa ternyata tidak membuat hubungan keduanya menjadi cair layaknya kakak adik.
Lamunan Ubay tentang sosok Mbak Hanna yang hampir setiap harinya “meneror” ketenangannya dalam bekerja tiba-tiba buyar. Keheningan kamar terganggu lewat bunyi panggilan telpon ponsel. Tertera tulisan di layar ponsel Ubay sebuah nama yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
"Mbak Hanna Office"
“Hmmm, panjang umur juga ni Mak Lampir.” Batin Ubay sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Halo mbak, ada apa?" Ubay mengawali percakapan.
"Bay, draft kontrak pembangunan Pelabuhan Tenayang yang Gue tugasin udah sampai mana?" tanya Hanna.
"Duh maaf mbak belum kepegang, kan beberapa hari lalu saya ditugasi bikin gugatan perdata sama Pak Indra." jawab Ubay dengan nada memelas. Pak Indra merupakan bos dari law firm tempat Ubay dan Hanna bekerja.
"Ah, banyak alesan Lo! Gue kan udah ngasih deadline kalau hari ini udah harus selesai!! Lagipula Gue ngasih tugas ke Lo dari dua minggu yang lalu kan?" hardik Mbak Hanna.
"Maaf mbak, aku segera kerjain deh habis ini." cuma itu kalimat yang keluar dari mulut Ubay.
Trainee tak ubahnya bagai spesies yang berada pada urutan terbawah dalam rantai makanan di tengah rimba dunia kerja. Daripada nasib tidak selamat lebih baik meminta maaf dan mendengar ocehan dari senior, begitu pikir Ubay meskipun dalam hatinya meruntuk kesal.
"Ah nggak percaya Gue, palingan juga Lo lagi rebahan di kosan sekarang kan?" tebak Mbak Hanna.
"Udah deh, mendingan Lo kerjain di apartemen Gue. Jangan lupa bawa lampiran-lampiran kontraknya!" perintah Mbak Hanna.
"Oke mbak, aku siap-siap dulu ya." kata Ubay kemudian telpon ditutup oleh Mbak Hanna tanpa salam sekalipun.
“Anjiirr! Hari libur pun Gue harus tetep kerja? Dasar Mak Lampir gila!” Umpat Ubay seraya melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur.
4066Please respect copyright.PENANAXaS1OORBdu
***
4066Please respect copyright.PENANA8mepr3dUhu
Setelah selesai mandi, berpakaian, dan menyiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan, Ubay menyalakan mobilnya menuju apartemen Mbak Hanna di daerah Kalibata. Jalanan cukup lengang, Pasar Kramat Jati, daerah Cililitan yang biasanya macet parah kini tidak begitu ramai. Pukul 10.45 Ubay telah tiba di apartemen Hanna. Ubay menekan tombol bel disertai perasaan cemas takut dimarahi lagi.
"Pagi Mbak Hanna." sapa Ubay ketika Mbak Hanna membukakan pintu.
"Lama amat Lu. Ayo sini masuk!" jawab Mbak Hanna tanpa memperdulikan sapaan Ubay.
Jujur Ubay tertegun melihat penampilan Mbak Hanna yang mengenakan daster tanpa lengan pagi ini. Rambut panjangnya tergerai indah, baru pertama kali Ubay melihatnya. Pandangan matanya turun ke bawah, payudara yang menggantung di tubuh Hanna pun terlihat indah, meskipun masih tertutup oleh kain daster. Nampak cukup besar untuk ukuran wanita Indonesia. Bokongnya yang semok dan pahanya yang putih terlihat lebih jelas, berbeda dengan di kantor ketika Hanna mengenakan celana panjang dan pakaian tertutup lengkap dengan hijab yang selalu menutupi kepala.
Ubay melangkah masuk mengekor di belakang Hanna. Cahaya pagi merembes lembut melalui tirai kaca transparan, membelai permukaan putih gading dinding apartemen. Ruang utama terbentang luas, seolah bernafas dengan kemewahan kesederhanaan. Lantai marmer putih pucat memantulkan bayangan ringan, menciptakan ilusi ruang tak terbatas.
Sofa tunggal berwarna abu-abu lembut berdiri tegak di atas karpet wool tipis, mendefinisikan area keluarga dengan anggun. Sebuah meja kaca tempered berbingkai titanium mengambang ringan di depannya, tidak menyentuh lantai seolah melayang dalam ruang. Di atasnya, sebuah vas tunggal berisi satu tangkai anggrek putih, simbol kesederhanaan yang membelah kesunyian berpadu dnegan sebuah laptop yang telah menyala terang.
Jendela panel lantai hingga langit-langit membuka pemandangan kota dari ketinggian, membuat batas antara interior dan eksterior nyaris tidak terlihat. Bayangan jalanan yang jauh bergerak samar di balik kaca, menciptakan lukisan hidup yang terus berubah. Dapur minimalis tersembunyi di sudut ruangan, dengan kabinet putih mengkilat yang nyaris tidak kelihatan, menyatu sempurna dengan dinding. Sebuah kompor induksi hitam mengintip samar, teknologi tersembunyi di balik kesederhanaan. Seuntai cahaya LED putih lembut menandai garis kabinet, memberikan sentuhan futuristik yang halus.
Sudut ruangan didominasi rak buku minimalis dari kayu Oak yang dipoles halus, dengan buku-buku tersusun rapi seperti karya seni. Setiap buku tampak dipilih dengan teliti, mencerminkan selera personal pemilik yang sophisticated. Dalam keheningan apartemen ini, setiap elemen berbicara dengan bahasa yang elegan. Tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang kurang sebuah komposisi sempurna antara fungsi dan estetika, antara ruang dan kehidupan. Begitu kontras dengan keadaan kamar kos Ubay yang lebih terkesan seadanya. Hanna duduk di depan laptop, melirik sekilas ke arah Ubay yang masih takjub dengan suasana di dalam apartemen.
“Lah malah bengong Lu? Ayo sini kerjain draftnya.” Ujar Hanna menegur Ubay.
“I-Iya Mbak, maaf.”
Tanpa membuang waktu Ubay segera mengeluarkan laptop dan berkas-berkas yang dibawa. Ia ikut duduk di sofa dan segera mengerjakan draft kontrak. Keduanya duduk berdampingan lalu mulai hanyut dalam lautan pekerjaan. Ubay dan Hanna nyaris tak melakukan interaksi berlebih, Hanna begitu konsentrasi terhadap draft kontrak membuat Ubay takut untuk mengganggunya dan memilih segera menyelesaikan pekerjaannya seorang diri.
"Mbak, draftnya udah selesai nih. Minta dikoreksi dong." kata Ubay setelah hampir memeras otak selama hampir dua jam.
"Oke." jawab Hanna singkat kemudian pindah menuju laptop Ubay dan mengoreksi pekerjaannya.
Dengan teliti Hanna memeriksa seluruh draft kontrak yang dikerjakan Ubay. Ia mengerutkan dahi, seolah banyak kesalahan dalam draft yang dibuat pria berambut ikal tersebut. Jarinya mengetik masukan-masukan yang nantinya harus diperhatikan Ubay untuk diperbaiki.
"Nih, banyak typo draft Lo. Perbaiki lagi ya." kata Hanna sambil menggeser laptop.
"Eh, Lo mau makan apa? Makan siang aja sekalian di sini." kata Hanna.
"Mmmm.... nggak usah deh mbak. Saya bisa beli makan sendiri nanti pas pulang." jawab Ubay disertai rasa sungkan.
"Ah elah, Lo belum sarapan juga kan? Emang Gue nggak bisa denger suara perut Lo apa daritadi." Sindir Hanna yang sedari tadi mendengar suara kemerucuk dari perut Ubay.
"Ya terserah Lo juga sih, tapi itu tandanya kalau Lo nggak punya kerjasama tim yang bagus." Mendengar ancaman itu Ubay langsung jiper. Bagaimanapun segala macam bentuk penilaian Hanna dalam pekerjaan akan mempengaruhi jenjang kariernya ke depan.
"Terserah Mbak Hanna aja deh kalo gitu. Saya ngikut aja.” Ubay akhirnya menuruti Hanna untuk sarapan.
"Makasih mbak." kata Ubay ketika Hanna sibuk mengorder makanan lewat ponselnya. Setengah jam kemudian, makanan tiba diantar ojek online di apartemen Hanna. Kemudian Ubay menyusul Hanna duduk di meja makan dan menikmati fast food ala Jepang yang dipesan.
“Mbak Hanna tinggal sendirian di sini?” Tanya Ubay memecah keheningan.
“Iya, Gue udah setengah tahun tinggal sendirian di sini. Dulu ada temen, tapi sekarang udah pindah karena dia nikah.” Jawab Hanna.
“Ouh gitu, bagus Mbak tempatnya. Saya kalo udah punya uang banyak nanti juga pengen tinggal di apartemen kayak gini. Hehehehe.” Ucap Ubay membayangkan suatu saat nanti dia bisa memiliki apartemen seperti yang dimiliki oleh Hanna.
“Makanya kerja yang bener, jangan males-malesan. Jenjang karier Lu tu masih panjang, masih banyak waktu buat berkembang.”
“Siaappp komandaann! Hehehehehe.” Ujar Ubay seraya tersenyum.
"Bay, Lo punya pacar nggak?" Ubay mengrenyitkan dahinya, tak percaya jika Hanna akan menanyakan sesuatu yang sangat privasi.
"Sekarang belum mbak, masih belum ada yang sreg. Lagipula saya masih ingin konsen ke kerjaan dulu, pacaran bikin ribet Mbak. Hehehehehe.”
"Lo jangan lama-lama dan jangan ketinggian ngasih standar. Jangan kayak Gue." kata Hanna menasehati.
Sebetulnya Ubay cukup heran dengan tingkah Hanna yang tidak seperti biasanya menanyakan urusan pribadi. Umur wanita cantik itu sudah menginjak 29 Tahun, angka yang cukup tua buat seorang perempuan dalam keadaan melajang bagi warga +62. Walaupun bagi Ubay nggak ada masalah sampai kapan perempuan harus melajang, toh menikah itu soal kesiapan bukan masalah umur. Jaman sekarang banyak wanita matang secara usia yang memilih untuk hidup melajang demi tuntutan karier, bukan sebuah hal tabu lagi sepertinya.
"Menurut Lo, Gue kayak gimana Bay?"
"Maksud Gue, anak-anak kantor mandang Gue kayak gimana?" cecar Hanna bagai seorang penyidik di depan seorang tersangka.
"Hmmm gimana ya mbak." jawab Ubay tertahan oleh rasa canggung.
"Udah Lo jujur aja jawabnya, Gue nggak akan marah kok." kata Hanna seolah ingin mengetahui jawaban Ubay.
"Jujur sih mbak, saya ngerasa Mbak Hanna agak kaku gitu. Mungkin juga karena saya juga masih baru di kantor. Saya juga nggak tau sih anak-anak kantor nilai kayak gimana, saya jarang bergaul sama mereka.”
“Gue minta maaf ya kalo selama ini terkesan keras sama Lu. Tapi Gue kayak gitu karena pengen Lu bisa kerja bener.”
“Nggak apa-apa kok Mbak. Saya justru mau bilang terima kasih karena selalu sabar sama saya meskipun masih sering nglakuin kesalahan.”
Sejenak ada jeda diantara mereka berdua. Keduanya menikmati beberapa suap makanan tanpa banyak berbicara. Selang beberepa waktu Hanna bangkit dari duduknya dan membereskan sisa makanan mereka berdua. Ubay yang sungkan berusaha untuk membantu namun dicegah oleh Hanna dan memerintahkannya untuk duduk saja. Wanita cantik itu kembali ke sofa sembari membawa sebuah asbak.
"Lu ngrokok kan?”
“Iya Mbak, emang boleh ngrokok di sini?”
“Sebat lah, santai aja. Gue dulu juga ngrokok kok.”
“Hah? Serius Mbak? Mbak Hanna merokok?” Pekik Ubay tak percaya.
“Iya, tapi dulu. Sekarang udah berhenti. Nggak sehat Bay.”
“Hehehehe, tapi ngrokok bisa ngilangin stress Mbak.” Seloroh Ubay seraya mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasnya dan menyalakannya.
Hanna kemudian menguncir rambut panjangnya, otomatis membuat ketiak putih mulusnya terlihat oleh Ubay dengan jelas. Momen itu seakan membuat dunia terhenti bagi Ubay. Benar kata orang-orang kalau perempuan lagi nguncir rambut bakal menambah level kecantikannya. Setelah beberapa saat mereka ngobrol ngalor ngidul, keduanya kembali menghadap laptop masing-masing.
"Bay, Gue rebahan bentar ya. Capek banget badan Gue." kata Mbak Hanna sembari meletakkan kedua kakinya di pangkuan Ubay.
"Ya mbak, silahkan." jawab Ubay tetap fokus menatap laptopnya sembari memperbaiki draft kontrak yang tadi telah dikoreksi oleh Hanna.
“Ntar bangunin aja kalo Lu udah selesai.”
“Siap Mbak.”
Sekitar satu jam kemudian Ubay menyelesaikan pekerjaannya, sementara Hanna ketiduran. Paha putih wanita cantik itu terlihat jelas di mata Ubay, pun dengan belahan dadanya yang tak disadari Hanna dilihat dua pasang mata yang berada di dekatnya. Melihat pemandangan seperti itu lelaki mana yang tahan?
Dengan perlahan Ubay mengangkat kaki Hanna dari pangkuannya, dan terlihat underwear warna hitam yang dikenakannya. Ubay benar-benar terangsang, untuk kali pertama dalam hidupnya dia bisa melihat kemolekan tubuh Hanna yang biasanya sangat tertutup dari dekat. Hasrat kejantanannya memuncak. Ubay tak tahan lagi, penisnya memberontak bukan main.
Tanpa membuang waktu, Ubay bergegas menuju kamar mandi untuk menyalurkan hasratnya. Setelah melepas celana panjang yang ia kenakan, penis yang sudah berdiri tenggak ia kocok sambil membayangkan bersetubuh dengan Hanna. Ia berusaha untuk konsentrasi agar spermanya segera keluar.
"Mmmhhh....Mbak Hanna..." gumam Ubay menghayati masturbasinya.
Di saat Ubay berusaha menuntaskan hajat birahinya tiba-tiba pintu kamar mandi terketuk dari luar disertai suara teriakan Hanna. Ubay panik, tangan kanannya masih memegangi batang penisnya yang menegang luar biasa.
“Bay! Lu di dalem?!”
“I-Iya Mbak! Se-Sebentar!” Ubay berusaha meraih celananya, namun belum sempat itu terjadi Hanna lebih dulu membuka pintu kamar mandi yang lupa terkunci.
CKLEKKK
"Lu lagi ngapain sih Bay?" tanya Hanna sembari membuka pintu ketika Ubay sibuk memasukkan pensinya ke dalam celana.
"EHHHH NGAPAIN LO???" Hanna tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat penis besar Ubay terhampar jelas di depan mata.
“I-Itu Mbak..A-Anu..I-Itu..”
Kegep sedang masturbasi tentu bukan dari rencana Ubay, pun begitu pula dengan Hanna yang langsung menutup pintu kamar mandi sesaat setelah melihat batang kemaluan salah satu anak buahnya di kantor itu. Ubay panik, dalam hati dia mengutuki dirinya sendiri, dan sekarang bingung harus melakukan apa. Sepertitak punya pilihan lain, Ubay bergegas merapikan pakaian serta celananya sebelum kemudian melangkah keluar dari dalam kamar mandi.
Di ruang tamu, Hanna terlihat kembali membuka laptopnya. Ubay melangkah ragu mendekati wanita berparas cantik itu, kepala Ubay dipenuhi barisan kata-kata untuk mencari alasan tepat kejadian beberapa saat lalu. Namun tak ada satupun yang mungkin terdengar masuk akal.
“Udah Bay?” Hanna melirik ke arah Ubay, raut wajahnya datar seolah tak terjadi apa-apa.
“Maafin saya Mbak…I-Itu tadi..”
“Santai aja kali Bay, Gue tau cowok kalo lagi sange pasti ngocok kayak Lu tadi.” Ubay masih berdiri, sama sekali tak menyangka jika Hanna akan berucap sevulgar dan seterbuka barusan.
“Gue cuma bingung yang bikin Lu sange apaan? Kan daritadi Lu fokus ngerjain draft kontrak? Hmmm, jangan-jangan
"Jangan-jangan Lu sange gara-gara liat Gue tidur ya? Hayo ngaku Lu!” Cerca Hanna. Ubay bak diberondong fakta yang tak bisa dia elakkan lagi.
“Eng-Enggak Mbak, tadi saya tiba-tiba pengen aja.” Elak Ubay, jika Hanna tau dirinya tergoda untuk melakukan onani setelah melihat kemolekan tubuh wanita cantik itu niscaya kariernya akan berada di ujung tanduk.
“Hahahaha! Lu lucu kalo lagi panik kayak gitu. Sini, Gue pengen ngliatin sesuatu ke Elu.”
Inilah kali pertama Ubay bisa melihat Hanna tertawa lepas. Kesan angkuh, jutek serta judes yang selama ini ditunjukkan oleh Hanna seketika luruh begitu saja. Ubay bisa bernafas lega, pria itu kemudian mendekati sisi sofa dan duduk di samping Hanna. Ubay terkesiap beberapa saat ketika di layar laptop sudah terpampang foto Hanna yang hanya mengenakan seutas hijab di kepalanya, sementara bagian tubuhnya yang lain terbuka tanpa oenutup sama sekali. Hanna berpose layaknya seorang model panas, dengan kedua paha terbuka lebar dan mimik wajah menggairahkan.
“Kalo liat ini Lu sange nggak?” Tanya Hanna seraya melirik Ubay yang salah tingkah. Hanna meraih crusor dan mengarahkan pada foto yang lebih panas lagi.
“I-Itu siapa?” Suara Ubay tercekat.
Di layar laptop kini terpampang foto Hanna sedang bersimpuh di bawah tubuh seorang lelaki berkulit hitam. Mulut Hanna penuh oleh batang penis pria tersebut. Ubay seperti kehilangan kata-kata, terlebih saat Hanna kemudian mengalihkan crusor dan mengganti foto tadi dengan sebuah video porno. Bukan video porno biasa, karena pemeran wanita dalam video tersebut adalah Hanna sendiri.
“Itu cowok yang dulu jadi roomate Gue. Dua bulan lalu dia balik pulang ke Ambon karena mau menikah.” Kata Hanna santai.
“Mbak Hanna nggak apa-apa nunjukin ini sama saya?” Ubay masih tak percaya Hanna akan seterbuka ini dengan dirinya.
“Nggak apa-apa lah, Lu kenapa sih tegang banget?”
“Sa-Saya nggak nyangka aja Mbak Hanna akan sevulgar ini.” Jawab Ubay dengan jujur.
“Lu belum jawab pertanyaan Gue Bay.”
“Pertanyaan yang mana Mbak?” Ubay mengalihkan pandangannya, kini dia menatap langsung wajah Hanna yang berjarak sekian senti dari dirinya.
“Lu sange nggak liat foto dan video bokep Gue?” Tangan Hanna terjulur dan hinggap pada paha Ubay.
“Sang-Sange kok Mbak…”
“Bener sange?” Tangan Hanna makin berani, kini malah bergerak menuju selangkangan Ubay, mengekusnya secara perlahan hingga membuat batang penis pria itu melakukan pemberontakan untuk kedua kalinya.
“Be-Beneran Mbak…” Suara Ubay terdengar parau, lidahnya kelu.
Hanna tersenyum seraya mendekatkan kepalanya. Ubay tau, inilah momen yang tak boleh disia-siakan begitu saja. Tanpa pikir panjang Ubay langsung mengecup bibir tipis nan sensual milik Hanna. Keduanya saling berkuas lidah, saling memagut mesra bak sepasang kekasih yang dihujani rindu berkali purnama.
"Sshh…Ahhhh…" desah pendek Hanna, kedua tangan Ubay meraba bagian pinggangnya.
Tak ada penolakan dari Hanna yang rambutnya terkucir. Kecupan demi kecupan Ubay lancarkan di daerah yang sangat sensitif turun hingga ke leher jenjangnya. Dengan perlahan, Ubay memutar tubuh Hanna, mereka saling pandang untuk beberapa saat. Bibir mereka saling bersentuhan. Ciuman sangat lembut dan intim. Hanna memeluk kencang tubuh Ubay.
Lidah mereka saling menari, saling bersahutan dan nafas mereka semakin kencang. Hanna merasakan tubuhnya semakin geli dan vaginanya seperti mulai mengeluarkan cairan. Penis Ubay semakin berontak. Ubay meraba tubuh Hanna termasuk meremas payudaranya. Mereka melepas kecupannya, dan lagi-lagi saling pandang. Seolah hati teman sekantor sekaligus senior-junior mulai berbicara.
"Di kamar aja yuk." Ajak Hanna sambil berbisik lalu menarik tangan Ubay menuju ke kamarnya.
4066Please respect copyright.PENANA1UNyZqvTHf
BERSAMBUNG
ns18.117.11.128da2